[1:23 PM, 11/20/2017] Ust Dr H Teten Romly: Sidang lanjutan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Ahmadiyah, 23 Oktober 2017 dimulai pukul 11.30 sampai 13.30 digelar. Sebagai pemohon, pihak Ahmadiyah kini menghadirkan kembali dua ahli; Dr. Imdadun Rahmat, M.Si dan Dr. Jayadi Damanik (Keduanya merupakan penggiat HAM). Selain itu, kuasa hukum yang terdiri dari tiga orang ini menghadirkan pula saksi pemohan dua orang dan dihadiri belasan peserta lainnya. Sedangkan dari pihak terkait, terdiri dari empat kuasa hukum yang dipimpin Rangga Lukita, SH. dan empat peserta lain terdiri dari H. Amlir Syaifa, MA (wakil ketua Dewan Da’wah), H. Avid Sholihin, MM (sekum Dewan Da’wah), Teten Romly Qomaruddien, MA dan H. Syamsul Bahri Ismail, MH (keduanya dari Pusat Kajian), serta Yudhiardi (Humas) dan satu orang dari Tim GNPF MUI. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat ini, masih berfocus pada mendengarkan keterangan ahli pemohon dan dua saksi yang dihadirkan dari Parakan Salak Sukabumi dan Sawangan Depok.
[1:26 PM, 11/20/2017] Ust Dr H Teten Romly: Menurut Imdadun, “Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dipersepsikan oleh beberapa pihak secara multitafsir sebagai dasar larangan terhadap keyakinan, pengamalan dan seluruh aktivitas penganut aliran yang dituduh sesat”. Sehingga menurutnya, UU ini kerapkali digunakan sebagai alat untuk melakukan diskriminatif.
Ahli pemohon lainnya, Damanik menegaskan, pengrusakan fasilitas Ahmadiyah, itu merupakan akibat salah tafsir masyarakat dan tokoh-tokohnya terhadap ajaran suatu golongan atau sub golongan lain. Seraya memetik ungkapan Luthfi Syaukani, Damanik menuturkan: “Salah tafsir terhadap Ahmadiyah seperti halnya awal kemunculan Kristen yang dianggap sesat oleh Yahudi dan kemunculan Islam dengan Nabi Muhammad di Arabia yang dianggap gila”.
Adapun dua orang saksi pemohon, lebih menyoroti perilaku orang yang mereka sebut muslim non ahmadiyah kurang menghayati hablun minan naas sehingga tidak sesuai dengan apa yang diajarkan ahmadiyah selama ini, “love for all, hatred for none” (artinya: “cinta untuk semua, dan benci tidak untuk siapapun”). Nampaknya, kata-kata ini dipopulerken pertama kali oleh Mirza Nashir Ahmad tahun 1980 dalam peresmian tempat ibadah di Spanyol (pen.)
Sementara itu, Dewan Da’wah sebagai pihak terkait diberikan waktu untuk bertanya kepada ahli pemohon. Melalui kuasa hukumnya Dewan Da’wah, Teten Romly Qomaruddien menyodorkan makalah beberapa prinsip ajaran ahmadiyah menurut Ahmadiyah untuk ditanyakan sebagai landasan teologis yang memang bertentangan dengan prinsif pokok ajaran Islam (ushuuly), namun sama sekali ahli pemohon tidak menyinggungnya dalam pemaparan. (Lihat Makalah “Khatamun Nabiyyien; Keimanan yang Digugat”). Syamsul Bahri mempertanyakan tentang kedudukan perkara yang sudah dianggap final seperti halnya ahmadiyah, ia pun menandaskan, agar pemohon menengok kembali kepada putusan-putusan sebelumnya, baik secara internasional atau pun nasional (Putusan OKI tahun 1985, Fatwa Liga Muslim Dunia tahun 1974, Majma’ Fiqih tahun 1975, Putusan Ulama Pakistan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2005).
Jalan perjuangan masih terbentang panjang, semoga Rabbul ‘Aalamien memberikan kekuatan kepada siapa pun yang menjaga agamaNya. Aamiin … Wallaahul musta’aan (# TRQ, Gedung Mahkamah Konstitusi, 23/ 10/ 2017#)