AL-WASATHIYYAH; SIKAP PERTENGAHAN DALAM ISLAM
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Wasath, artinya tengah-tengah, i’tidaal/ adil, atau tawaazun/ seimbang. Dari segi zaman, Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam berada pada posisi tengah antara Nabi-nabi terdahulu dan ummat setelahnya.
Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajarkan keseimbangan kebaikan dunia dan akhirat sebagai inti keselamatan dan kebahagiaan dalam Islam [sa’aadatud daarain]. Maka sudah seharusnya keteladanan hidup diambil secara seimbang; antara sikap bijak mengambil kebaikan masa lalu, namun tidak menghilangkan semangat masa depan. Artinya, bagaimana kita menimba keelokkan generasi masa lalu yang shalih [as-salaf as-shaalih] untuk dijalankan dalam kehidupan kekinian yang dihiasi dengan keshalihan, sehingga lahirnya manusia-manusia zaman kini yang shalih pula [al-khalaf as-shaalih].
Karenanya, Syaikh Prof. Dr. Abdurrahman as-Sudais menuturkan, di antara makna wasathiyyah adalah “seimbang dalam mengambil hikmah kebaikan antara generasi salaf dan generasi khalaf sekaligus”. Demikian dituturkan dalam risalahnya Al-Wasathiyyah; ahammiyyatan wa manhajiyyatan.
Ini sejalan dengan pandangan para ulama al-fudhalaa sebelumnya, seperti halnya Imam Ibnul Qayyim yang menuturkan: “Tidaklah suatu urusan yang dihadapi, melainkan padanya ada godaan dari syaithan yang melahirkan dua tarikan; baik menarik-narik pada sesuatu yang lebih keras atau menarik-narik pada sesuatu yang lebih lembut. Yang terbaik adalah tengah-tengah di antara keduanya”.
Maka kaidah bermanhaj pada hari ini, dapat kita ringkaskan sebagai berikut: “Kembali kepada manhaj salaf tidak berarti harus kaku, berpegang pada manhaj khalaf tidak berarti harus bebas”. Dalam kata lain adalah: “Untuk menjadi puritan dan fundamental tidak harus ekstrim, karena puritanisme bukan ekstrimisme”. Sebagaimana halnya “bolehnya toleran/ tasaamuh, tidak berarti harus liberal dan mengumbar kebebasan”.
Alloh ‘azza wa jalla berfirman: “Dan demikian [pula] Kami telah menjadikan kamu [ummat Islam] ummat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu … ” (Qs. Al-Baqarah/2:143).
Semoga Rabbul ‘Aalamien menjadikan kita, termasuk ummat Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam yang adil itu. Wallaahu a’lam bis shawwaab.
______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA