AGAR CINTA TIDAK BERTEPUK SEBELAH TANGAN (Narasi Cinta Bagi Baginda Nabi yang Mulia)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Setiap tiba bulan Rabi’ul Awwal, di sebahagian negeri berpenduduk Muslim (terutama di Asia Tenggara) penyambutan akan hari kelahiran Nabi akhir zaman sangat meriah. Apabila ditanya mengapa hal itu dilakukan? Maka jawabannya adalah: “karena kami mencintai Rasulullaah shalallaahu ‘alahi wasallam”.
Sungguh jawaban yang luar biasa, di mana kecintaan terhadap seseorang yang dicintai melahirkan sikap yang sangat penuh perhatian. Terlebih-lebih Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan: “Al-mar’u ma’a man ahabba; seseorang itu akan berkumpul (di hari kiamat) bersama yang dicintainya” (HR. Bukhari 6169 dan Muslim 2640 dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh). Namun apa jadinya, apabila yang dicintai tidak mencintainya? Bukankah cinta itu hadir karena perkenalan, bersemi karena kerinduan dan menjadi kuat karena kesetiaan. Artinya, agar cinta tidak bertepuk sebelah tangan, diperlukan kiat-kiat menuju kesuksesan perjuangan cintanya. Demikian pula dalam mencintai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam yang teramat mulia.
Tiga Prinsip Ajaran Islam
Di samping bagaimana seseorang dapat mengenal dan memahami siapa Tuhannya (ma’rifatullaah) dan mengerti apa itu Islam berdasarkan argumen-argumen agama (ma’rifatul Islaam bil adillah), juga diwajibkan mengenali sosok Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul yang dapat memberikan bimbingan kepada ummat manusia. (Lihat Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimy dalam Al-Ushuul as-Tsalaatsah).
Kaitannya dengan pembahasan ini, yaitu bagaimana agar seseorang dapat bersemi cintanya, timbul rasa rindunya dan mau berkorban untuk seseorang yang dicintainya. Semua itu dapat terjadi, apabila kita benar-benar mengenal sosok idaman sang teladan tersebut, terlebih lagi sosok baginda Rasul yang mulia. Inilah yang ditempuh para ulama dalam berbagai karyanya untuk mengenalkan lebih dekat akan sosok sejarahnya. Imam Tirmidzi misalnya, menyusun riwayat-riwayat hadits tentang kelengkapan peribadi Nabi dalam kitabnya Syamaail al-Muhammadiyah. Lalu kitab ini diringkas oleh Syaikh Muhammad Jamil Zeeno menjadi Mukhtashar Lis Syamaail al-Muhammadiyah. Masih banyak lagi, puluhan bahkan ratusan kitab sejarah lainnya yang bersifat penanggalan (taarikh) atau pun perjalanan peristiwa (sierah). Di antara kitab yang mewakili dan direkomendasikan banyak ulama untuk dibaca adalah Ar-Rahiequl Makhtuum karya Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury (pemenang pertama penulisan sierah Nabi Raabithah al-‘Alam al-Islaamy).
Taaruf Singkat bersama Sang Baginda
Mengenal Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam, berarti mengenal peribadi Muhammad sebagai manusia biasa, juga mengenal Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul. Mengenal sang panutan, tentu sangat dianjurkan, bahkan wajib. Karena dengan mengenalnya, kita akan tahu dan semakin yakin bahwa dia adalah Rasul akhir zaman.
Di antara yang harus diketahui, bahwa dirinya memiliki nasab atau silsilah keturunan. Yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim. Bani Hasyim merupakan suku Quraisy dan suku Quraisy termasuk bangsa Arab. Adapun bangsa Arab merupakan turunan nabiyullah Ismail, dan Ismail adalah turunan nabiyullah Ibrahim ‘alaihimas salaam. Maka, sangatlah wajar ketika Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh, “Bagaimana kami harus bershalawat kepadamu yaa Rasulallaah?” Jawabannya adalah: “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa Ibraahim wa ‘alaa aali Ibraahim. Wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarakta ‘alaa Ibraahiem wa ‘alaa aali Ibraahiem. Fil ‘aalamiena innaka Hamiedun Majied”.
Usianya 63 tahun; 40 tahun sebelum diutus menjadi Nabi dan Rasul, 23 tahun setelah diutus menjadi Nabi dan Rasul (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah). Diangkat menjadi Nabi dengan ditandai turunnya wahyu pertama (QS. Al-‘Alaq/ 96:1-5), dan diangkat menjadi Rasul dengan ditandai turunnya wahyu berikutnya (QS. Al-Mudatsir/74:1-7). Sedangkan yang menjadi tugas risalah dan nubuwwah adalah: menyampaikan tugas kerasulan kepada seluruh ummat manusia (QS. Al-A’raf/7:158), menegaskan misi kerasulan “beribadah hanya kepada Allah dan menjauhi thaghut, yaitu menghindari segala bentuk yang menyimpangkan dari tauhidullah” (QS. An-Nahl/16:36), meyakinkan manusia bahwa ajaran Islam telah sempurna (QS. Al-Maidah/5:3), menjalankan trifungsi kerasulan (tilaawah: membacakan ayat-ayat Allah, tazkiyah: mengikis nilai-nilai jahiliyah dan ta’liem: mengajarkan kitabullah dan hikmah, yakni sunnah dan ilmu) sesuai bunyi kalam Allah QS. Alu ‘Imran/3:164.
Di samping itu, banyak pula cerminan hidup lainnya yang menunjukkan dirinya “benar-benar peribadi panutan” sepanjang zaman (QS. Al-Ahzab/33:21). Berikutnya ditegaskan pula, bahwa dirinya “benar-benar Rasul Allah” dan “pamungkas para Nabi” (QS. Al-Ahzab/33:40). Sementara dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi yang menjadi saksi percontohan (syaahidan), pemberi kabar gembira (mubasysyiran), pemberi kabar ancaman (nadzieran), menjadi penyeru (daa’iyan) dan menjadi penerang (siraajan munieran) (QS. Al-Ahzab/33:44-46).
Ber-Uswah Tandanya Cinta
Merenungkan paparan sebelumnya, begitu sempurnanya sosok Nabi akhir zaman (khaatamun nabiyyien) dan penghulu para Rasul (sayyidul mursalien), sebagai suri tauladan (uswah hasanah) yang wajib diikuti; Apa yang menjadi perintahnya harus diterima dan apa yang dilarangnya harus ditinggalkan (QS. Al-Hasyr/59:7). Atas dasar inilah, lahir qaidah yang menyebutkan: “Al-ashlu fie af’aalin nabiy al-iqtidaau illaa maa dallad dalielu ‘alal ikhtishaashi; Asal perbuatan Nabi wajib diikuti kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhusussannya”. Selain itu, para ulama mengurai bahwa “keteladanan” itu mencakup tiga kategori; Pertama, bersifat qurbah (meneladani perkara-perkara ibadah yang wajib mengikuti Nabi, menyalahinya berarti menyalahi sunnahnya, seperti sifat wudhu, sifat shalat, sifat shaum, sifat haji dan ibadah mahdhah lainnya). Kedua, bersifat thaa’ah (meneladani perkara-perkara yang berhubungan dengan kepatuhan, yang apabila dilakukan mendapatkan keutamaan karena mengikuti sifat kebiasaan baik Nabi, seperti sifat makan-minum, berpakaian dan urusan keseharian lainnya) dan Ketiga, bersifat jibiliyyah (meneladani perkara-perkara yang bersifat manusiawi, yang apabila seseorang mengikutinya merupakan sesuatu yang terpuji, seperti Nabi apabila tertawa beliau tersenyum dan apabila bersedih tidak berlebihan).
Dengan demikian, “mencintai Nabi” tidak dapat dilepaskan dari “mematuhi sunnah Nabi”, keduanya ibarat dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mencintai dan mematuhinya ditegaskan lagi oleh Allah ‘azza wa jalla merupakan bukti kecintaan kepada Rabbul ‘Aalamien (QS. Alu ‘Imran/3: 31-32).
Sangatlah ironis, apabila seruan akan cinta Nabi diiringi dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan sunnahnya. Atau, bersemangat dengan sesuatu yang dapat membangkitkan gelora cinta kepada Nabi, namun nabinya sendiri tidak menyukainya. Demikian pula orang-orang hebat yang tidak diragukan lagi cinta mereka, baik para shahabat, taabi’ien, taabi’ut taabi’ien dan generasi yang mengikuti jejak langkah mereka dari para imam pemberi petunjuk. Kalaulah ada amalan sunnah di zaman ini, tentu mereka sudah terlebih dahulu melaksanakannya. Lau kaana khairan lasabaquunaa ilaihi …
_______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
[…] ✍ Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya: “Agar Cinta Tidak Bertepuk Sebelah Tangan (Narasi Cinta Bagi Nabi yang Mulia)” […]