KONSENSUS ULAMA-UMMAT TENTANG PEDOMAN IDENTIFIKASI ALIRAN-ALIRAN DESTRUKTIF
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Ada banyak aspek permasalahan [qadhaayaa], yang satu sama lain saling berkaitan dalam merubah tatanan ummat, di antaranya:
1) Aspek sosial-budhaya; salah satunya adalah maraknya kembali sekularisme, materialisme dan nativisme.
2) Aspek pendidikan; masih adanya pandangan dikotomik terhadap ilmu, antara ilmu dunia dan ilmu agama.
3) Aspek dakwah dan informasi; terjadinya rekayasa sosial, penggiringan opini dan perang media.
4) Aspek kejama’ahan dan ukhuwwah; belum optimalnya fungsi organisasi-organisasi Islam [jam’iyyah] sebagai kekuatan jama’ah yang mampu merakit, merekat dan meroketkan ummat.
5) Aspek politik; adanya penurunan kwalitas peranan politik Islam [as-siyaasah al-Islaamiyyah] dan terjadinya rekayasa politik yang datang dari luar.
6) Aspek ekonomi; minoritasnya penguasaan terhadap ekonomi kuat tidak sebanding dengan mayoritas ummat Islam.
7) Aspek ilmu dan teknologi; belum optimalnya Islamisasi ilmu yang mengakibatkan menggelembungnya gelombang rasionalisme, di mana iptek seolah-olah menjadi “Tuhan”. (Khittah Da’wah Islam Indonesia, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2001)
Dari semua problematika [musykilaat] dan tantangan [tahadiyyaat] yang ada, semuanya tidak lepas dari penyimpangan berfikir [inhirafaat fikriyyaat] yang bisa membuka pintu-pintu kesesatan. Maraknya aliran pemikiran dan ideologi yang dapat mengancam prinsip-prinsip dasar ke-imanan dan ke-Islaman, menjadi bukti nyata yang tampak di permukaan. Dengan semakin masifnya kemunculan aliran-aliran keagamaan yang destruktif, maka ummat perlu mendapatkan bimbingan, dan ajaran agama pun perlu pengawalan.
Apabila dicermati, mayoritas aliran keagamaan itu selalu menyandarkan dan mengatasnamakan Islam [baca: “menyempal”]. Artinya, menyempal dari pemahaman-pemahaman Islam yang mapan [establish], di mana para ulama-ummat telah menyepakatinya dalam bentuk konsensus [ijma’].
Adapun konsensus yang dimaksud, meliputi:
1) Mengimani ke-Esaan Alloh.
2) Meyakini dan mematuhi keseluruhan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup semua nabi.
3) Meyakini rukun iman yang enam.
4) Mematuhi rukun Islam yang lima.
5) Berkiblat ke ka’bah.
6) Menerima ketentuan halal dan haram yang ditetapkan konsensus ummat Islam.
7) Mengikat persaudaraan sesama muslim. [M. Ridhwan Lubis dalam “Memaknai Kembali Kebebasan Beragama”]
Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia [MUI] dalam ketetapannya tertanggal 25 Syawwal 1428 H./ 6 November 2007 M. telah menegaskan dengan menyusun pedoman identifikasi, bahwa sebuah gerakan/ aliran dinilai sesat apabila mencakup di dalamnya:
1) Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam
2) Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i
3) Meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an
4) Mengingkari otentisitas dan kebenaran al-Qur’an
5) Menafsirkan al-Qur’an yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir
6) Mengingkari hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7) Menghina, melecehkan dan/ atau merendahkan Nabi dan Rasul
8) Mengingkari Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir
9) Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at
10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.
Di balik ikhtiar MUI, ada pula upaya-upaya pendangkalan dan pementahan [tasykiek] terhadap berbagai keputusan-keputusannya, di antaranya adanya bantahan terhadap Fatwa MUI tentang “haramnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme” dalam buku Membendung Despotisme Agama; Kritik atas Otoritarianisme Fatwa MUI oleh M. Mukhsin Jamil [2010], lalu buku Kala Agama Tak Lagi Merdeka oleh Fawaizul Umam [2015] dan paling teranyar adalah Fikih Kebinekaan oleh Ma’arif Institute-Mizan, juga masih banyak yang lainnya buku-buku yang mendukung gagasan-gagasan “penyatuan agama-agama” seperti halnya Abrahamic Faiths karya Jerald F. Dirks, Kesatuan Ideal Agama-Agama karya Hazrat Inayat Khan dan Teologi Abraham; Membangun Kesatuan Iman [Yahudi, Kristen dan Islam] karya Mahful M. Hawary.
Kini lembaga pertahanan akidah dan pembinaan ummat ini pun dibully kembali dengan bahasa “mengkritisi”. Bagai tak mau ketinggalan kereta, lembaga-lembaga kontra MUI dan tokoh-tokoh tertentu “ramai-ramai” mengaminkannya dan menuduh “fatwa ulama” sebagai cikal bakalnya intolerance dalam beragama dan anti kebinekaan. Bahkan istilah “aliran sesat” atau “aliran menyimpang” mereka turunkan frekuensinya menjadi “aliran bermasalah”. Padahal apa yang dilakukan MUI sudah benar, di mana pendekatan teologis-ideologis lebih diutamakan ketimbang yang lainnya [normatif idealistik].
Jangan Lewatkan :
MENCINTAI NABI SHALALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM DAN AHLUL BAITNYA TIDAK HARUS MENJADI SYI’AH
Nampaknya, kita harus banyak belajar kepada pemilik kaidah “Laa Islaama illaa bil hujjah wal jihaad”, sang maestro pembaharuan Ibnu Taimiyyah. Ketika para filosuf Yunani berulah, dia menangkisnya dengan Fashiihatu Ahlil Iemaan Fie Radd ‘alal Manthiqil Yunaan; Ketangkasan Pendukung Keimanan dalam Menangkis Logika Yunani. Ketika Yahudi dan Nashara di zamannya bertingkah, dia menyergahnya dengan Al-Jawaabus Shahieh Liman Baddala Dienal Masiih; Jawaban yang Benar Terhadap Orang yang Menggantikan Agama al-Masih. Ketika Rafidhah/ Syi’ah menunjukkan pongahnya, dia menghadangnya dengan Minhaajus Sunnah; Pedoman Sunnah. Ketika maraknya wali-wali gadungan dan menyimpangkan agama dari kalangan Tashawwuf bathil dengan beragam sektenya, dia mematahkannya dengan Al-Istiqaamah, Iqtidhaa as-Shiraath al-Mustaqiim; Kesesuaian Jalan Lurus, Al-Furqaan Bainal Haq wal Baathil; Pembeda antara Hak dan Batal dan Al-Furqaan Baina Auwliyaair Rahmaan wa Auliyyaais Syaithaan; Pembeda antara Wali Allah dengan Wali Syetan. Ketika para pemuja akal “berpesta alam pikir”, dia melumpuhkannya dengan Dar’ut Ta’aarudhil ‘aqli wan Naqli auw Muwaafaqatis Shahiehil Manquul Lishariehil Ma’quul; Tidak ada Kontradiksi antara Dalil Akal dengan Dalil Wahyu. Tak ketinggalan, ketika para penista, penggugat dan penghujat “berani menari” dan “menabuh genderang perang”, dia melenyapkannya dengan As-Shaarimul Masluul ‘alaa Syaatimir Rasuul; Pedang Terhunus bagi Siapa saja Penghina Rasul.
Semoga para penuntut ilmu, aktivis da’wah, para mujaahid fie sabielillaah … dapat belajar pada keagungan Madrasah Ibnu Taimiyyah Allaahumma faqqihnaa fied diin.
________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta