Sabtu, November 2MAU INSTITUTE
Shadow

HAM Perspektif Islam

“HAM yang ada sekarang, lebih berpijak pada humanisme sekuler dan menjadi senjata kaum sekuler untuk mengobrak-ngabrik agama,” ujar Teten Romly Qomaruddien.

Wartapilihan.com, Jakarta –Mantan Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, agama dapat menjadi destruktif atau konstruktif ketika dimasukkan ke dalam ranah politik. Menurutnya, agama tidak dapat digabungkan ke dalam politik, karena dapat melanggar hak asasi manusia dan memberikan diskriminasi kepada kelompok tertentu.

“Misalkan, dalam hukum Islam bukan fiqih atau Al-Qur’an yang diformalkan ke dalam konstitusi, tetapi di ekstraksi menjadi Undang-Undang. Apabila kita hendak mengharamkan alkohol, bukan terletak pada hukum fiqihnya, tetapi alkohol yang tidak baik untuk kesehatan harus dikurangi. Bukan syariat Islam yang diformalkan menjadi Perda (peraturan daerah), karena itu akan melahirkan treatment tidak sama dan rasa ketidakadilan,” ujar Imdadun dalam seminar nasional dengan tema “Agama dalam Pemilu 2019; Membangun atau Meruntuhkan?” di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (14/13).

Artinya, lanjut dia, keputusasaan sosial bukan hanya disebabkan kesenjangan ekonomi, tetapi juga karena aspirasi kelompok tertentu tidak di akomodasi. Maka, prinsip non diskriminasi, kata Imdad, harus diakomodasi dalam menetapkan Undang-Undang.

“Dalam konteks pemilu, agama sebaiknya menahan diri. Sebaiknya engkau simpan saja dan keluarkan moral etik. Itulah nilai-nilai universal dimana semua agama menganutnya. Aturan partikular cukup di keep menjadi dapur sendiri. Hari ini kita melihat fatsun politik semakin menipis, silakan agama hadir pada tata krama politik,” paparnya.

Selain itu, dia menjelaskan, agama tidak boleh dijadikan bahan provokasi kebencian, intimidasi, hate speech, hate crime, kekerasan, dan ujaran yang dapat berujung konfrontasi. Agama, tandasnya, tidak boleh dijadikan komoditas untuk melakukan kontrak politik dengan kelompok minoritas.

“Keyakinan orang yang mengatakan perempuan dan non muslim tidak dapat menjadi pemimpin, tidak boleh ditangkap, tapi dibatasi speech-nya. Misalkan saya menyampaikan hal itu dalam khutbah Jumat dan terlepas dari pretensi kebencian, di dalam norma hukum HAM itu boleh, selama tidak dibarengi dengan (ujaran) kebencian. Tetapi secara kode etik ini tidak etis, tidak sopan dan tidak wise,” tandasnya.

Menanggapi hal di atas, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Dakwah Ustaz Teten Romly Qomaruddien kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com) menuturkan, sejak digelindingkannya Universal Declaration of Human Rights (DUHAM/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948, hal itu menjadi angin segar dan juru penolong bagi sebagian kalangan untuk melakukan sekularisasi (pemisahan agama dan negara).

“Sehingga orang itu hanya meributkan HAM-nya saja. Padahal dia memiliki dua arah yaitu KAM (kewajiban asasi manusia). Kewajiban asasi manusia dalam Islam itu jelas dan absolut. Diantaranya beribadah, tidak boleh keluar dari syariah dan merujuk pada sumber yang pokok,” ujar Teten.

Hal itu, lanjutnya, melatarbelakangi Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia (KISDI), yaitu lembaga yang digagas Allaahu yarham Dr. Mohammad Natsir dan dinakhodai Allaahu yarham H. Ahmad Sumargono, SE. mulai membicarakan pentingnya Hak Asasi Manusia perspektif Islam, yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 1996 di auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta dalam rangka mengenang detik-detik sejarah disahkannya piagam universal HAM di PBB.

“Hal ini dirasakan sangat penting, mengingat HAM yang ada lebih berpijak pada humanisme sekuler dan menjadi senjata mereka untuk mengobrak-ngabrik agama. Sehingga dalam prakteknya seringkali kontradiksi dengan ajaran agama. Terlebih, menurut Allaahu yarham Hussein Umar (Tokoh Dewan Da’wah) konsep Islam sebenarnya sangat berpijak pada kewajiban, bukan pada hak. Islam mengajarkan pada ummatnya untuk mendahulukan apa yang wajib dilakukannya, bukan apa yang harus dituntutnya,” papar Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam itu.

Namun, seiring perjalanannya, Wakil Sekretaris KDK-MUI (Komisi Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia) Pusat menerangkan, DUHAM yang dicetuskan PBB itu, menjadi perdebatan sengit di kalangan pemikir Muslim seperti Zafrullah Khan (Pakistan) dan Jamil al-Barudi (Saudi Arabia). Kendati di dalamnya mencakup pasal-pasal Deklarasi Universal HAM menurut Agama-agama (DUHAMA), namun belum memuaskan dahaga jiwa mereka.

Selanjutnya, kata Teten, DUHAMA disempurnakan oleh para cendikiawan dan pemimpin Muslim menjadi Universal Islamic Declaration of Right di London (1981) yang diikrarkan secara resmi oleh UNESCO di Paris. Lalu diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990 dan menghasilkan lima intisari.

“Pertama, HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam dimana manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. Sebagaimana Allah jelaskan dalam Surat Al-Isra ayat 70,” ungkapnya.

Kedua, HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia. Artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate (fithrah). Ketiga, HAM dalam Islam bersifat komprehensif termasuk di dalamnya hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya.

“Keempat, HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syari’ah, dan HAM dalam Islam tidak absolute karena dibatasi oleh objek-objek syari’ah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang di dalamnya terdapat individu-individu,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Sumber: wartapilihan.com

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!