Rabu, November 13MAU INSTITUTE
Shadow

BERHIZB, BERMANHAJ DAN BERMADZHAB (Memilah Kelompok Mengurai Keberpihakan)

BERHIZB, BERMANHAJ DAN BERMADZHAB (Memilah Kelompok Mengurai Keberpihakan)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Ada pertanyaan yang sering muncul di tengah-tengah ummat; “apakah kamu punya golongan?”, “manhaj kamu apa?” atau “kamu madzhabnya siapa?”. Semua ini menjadi penting untuk didudukkan agar tidak salah faham karena disebabkan tidak tepat menggunakan istilah.

Apabila dikatakan hizb [artinya: golongan, jamaknya ahzaab], maka ada dua kategori yang dipopulerkan Al-Qur’an; golongan pengikut Alloh [hizbullaah] dan golongan pengikut syaitan [hizbus syaithaan]. Dikatakan manhaj, ada dua cara pandang yang saling berseberangan; cara pandang yang selamat atau lurus [saliem, shahieh] dan cara pandang yang rusak atau menyimpang [faasid, inhiraaf]. Adapun dikatakan madzhab, secara garis besar menjadi; pijakan argumen yang benar dan tepat [shawaab] dan pijakan argumen yang salah atau keliru [khatha’].
A. BERHIZB

Dalam Al-Qur’an [Qs. Al-Maidah/5:56 dan Qs. Al-Mujadilah/50:19] disebutkan, yang membedakan hizbullah dengan hizbus syaithan adalah; hizbullaah, mereka para pemenang yang menunjukkan loyalitasnya [wala’] kepada Alloh ‘azza wa jalla, rasulNya dan orang-orang beriman. Sedangkan hizbus syaithaan, mereka orang-orang yang merugi karena dikuasai syaitan dan melupakan Alloh ‘azza wa jalla.

Sejauhmana kebolehan berhizb, Ahmad Husnan [Alumnus senior Madinah University] dalam bukunya Negara dan Partai dalam Perspektif Islam memberikan jawabannya. Menurutnya, argument yang dapat dijadikan pijakan adalah disebutkannya kata hizbun dalam Al-Qur’an sebanyak 7 kali, kata ahzaab sebanyak 11 kali, hizbahu dan hizbaini masing-masing 1 kali. Perang Khandaq [artinya: parit] dan kaitannya dengan berbagai kelompok [konfederasi, ahzaab] yang terlibat diabadikan dalam Qs. Al-Ahzaab/33: 9-27. Demikian pula naskah “Piagam Jakarta” yang menggambarkan kebinekaan kelompok Muslim [Quraisy Makkah/ Muhajirin, Yatsrib/ Anshaar]. Semua itu menunjukkan kelompok-kelompok itu sebuah niscaya adanya.

Munculnya Ikhwaanul Muslimin Mesir dengan tokohnya Imam Hassan Al-Banna, Jama’at Islami Pakistan dengan tokohnya Sayyid Abul A’la al-Maududi dan Masyumi Indonesia dengan tokohnya Dr. Mohammad Natsir salah satu buktinya dalam pergumulan gerakan dakwah modern di dunia Islam.

B. BERMANHAJ

Mengenai manhaj [atau minhaaj], para ulama semisal Ibnu Manzhur dalam Lisaanul ‘Arab mengartikannya dengan jalan atau jalan terang [tharieqah, sabiel dan sunnah]. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh ketika menafsirkan Qs. Al-Ma’idah/5:48: “Likullin ja’alnaa minkum syir’atan wa minhaajan; Bagi setiap ummat di antaramu Kami jadikan syir’ah dan minhaj” Menurutnya, “syir’ah” adalah segala yang datang dari kitaabullah, sedangkan “minhaaj” adalah segala yang datang dari Rasulullaah shalalloohu ‘alaihi wa sallam.

Lebih luas Hassan bin Fallah al-Qahthani memaparkan dalam kitabnya Haqieqatul Manhaj, bahwa jalan yang dimaksud meliputi metode pemahaman dalam akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak di segala zaman; cara beragama zaman kenabian [minhaajun nubuwwah], cara beragama zaman generasi terdahulu [manhajus salaf] dan cara beragama generasi yang mengikutinya [shahabat, taabi’ien dan taabi’ut taabi’ien].

Bahkan ada pula yang menisbatkan langsung pada peribadi tokohnya seiring keilmuan yang digelutinya, seperti halnya manhaj Imam Syafi’i, manhaj Imam Ahmad dan lain-lain dalam hal fiqih. Manhaj Imam Bukhari, manhaj Imam Muslim dan lain-lain dalam hal hadits. Manhaj Imam Qurthubi, manhaj Imam Thabari dan lain-lain dalam hal Tafsir, juga manhaj Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, As-Syaukani, Muhammad bin ‘Abdil Wahhab dan lain-lain dalam hal ‘aqiedah. Adapun manhaj yang menggunakan nama-nama kelembagaan [institute] semisal “madrasah ahlil hadits” di Madinah atau pun “madrasah ahlir ra’yi” di Kufah sudah lama ada sepanjang sejarah intelektual Islam. Karenanya, bukanlah hal yang mengherankan apabila belakangan muncul madrasah-madrasah yang berpegang pada manhaj-manhaj perorangan seperti halnya manhaj Al-Albani, manhaj Al-Banna, manhaj Muhammad al-Faqi, manhaj Al-Wadhi’i, manhaj Al-Qaradhawi, manhaj An-Nabhani dan lain-lainnya lagi.

C. BERMADZHAB

Madzhab [kata dasarnya dzahaba; pergi, menuju]. Disebut madzhab, berarti tujuan yang dituju atau tempat bertitik tolak. Dalam istilah hukum Islam, “kesimpulan hukum yang dijadikan pijakan dari seorang ahli ijtihad”. Karenanya, Ibnu ‘Abidin ketika menjelaskan ayat “fas’aluu ahlad dzikri in kuntum laa ta’lamuun” menuturkan: “ahli ijtihad [mujtahid] itu sangat erat hubungannya dengan pencarian dan penyimpulan dalil”. Sedangkan yang disebut ‘awwam, menurutnya: “siapapun yang memiliki hak bertanya kepada mujtahid”. Karenanya, seorang ulama madzhab dia mesti ahli ijtihad, yaitu “seseorang yang memiliki kemampuan mencurahkan fikiran dalam menyimpulkan hukum syara’ dari kitabullah dan sunnah nabiNya”.

Menurut Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili (ulama Damascus) yang menulis Al-Fiqhul Islaamy wa Adillatuh, ulama-ulama madzhab fiqih yang empat masuk pada peringkat mujtahid mustaqil [mandiri], kemudian diikuti peringkat-peringkat lain; mujtahid muthlaq ghair mustaqil [seperti Abu Yusuf, As-Syaibani, Ibnu al-Qasim, Asyhab dan Al-Muzani], mujtahid takhriej [disebut juga fiel madzhab, seperti Hassan bin Ziyad, Al-Kurakhi, Ibnu Abi Zaid, As-Syairazi dan Al-Maruzi], mujtahid tarjieh [seperti Al-Quduri, Al-Qinany] dan mujtahid fatwa [baik fardi atau jamaa’ie].

Ketika ditanyakan mengapa mereka harus bermadzhab?, jawabannya seperti yang diungkapkan Syaikh Amru Wardani [Daarul Ifta Mesir] yang menyebutkan keunggulannya bermadzhab adalah: madzhab lebih memiliki sanad [musannadah], madzhab lebih memiliki landasan/ argument [mudallalah], madzhab lebih memiliki metode berfikir yang terkodifikasi dalam kitab-kitab ushul fiqih [muasshalah], madzhab lebih dikhidmat oleh ratusan, bahkan ribuan ulama [makhduumah], madzhab lebih memiliki kaidah-kaidah fiqih [muqa’adah], madzhab lebih memiliki manhaj yang jelas [mumanhajah], madzhab lebih memiliki tingkat amanah ilmiah [muttasiqah] dan madzhab lebih memiliki cara berfikir terbuka dan toleran [munfatihah].

Dengan demikian, beberapa hal yang dapat disimpulkan sementara:

  1. Berhizb [bergolongan, berserikat, berkongsi, berpartai atau berorganisasi] bukanlah perkara yang terlarang dalam agama, selama mission [hadaf, ghaayah] yang diembannya memenuhi kriteria hizbullaah dan jauh dari kriteria hizbus syaithaan.
  2. Bermanhaj yang benar adalah ikhtiar menemukan cara pandang yang sesuai dengan sunnah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersama generasi yang mengikuti jejak langkahnya di segala zaman, tak terkecuali zaman kita sekarang ini.
  3. Bermadzhab merupakan kenyataan sejarah yang pernah ada dalam sejarah hukum Islam. Adapun wajib dan tidak wajibnya bermadzhab, sampai saat ini masih terjadi silang pendapat [fiehi maqaal].
  4.  Baik berhizb, bermanhaj dan bermadzhab selama tidak diikuti fanatisme buta yang banyak didominasi hawa nafsu [ittibaa’ul hawaa] dan sangkaan belaka tanpa ilmu [ittibaa’uz zhann] merupakan hal yang mubah. Allaahumma faqqihnaa fied diin …
    _______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!