“ISLAM, ISLAMIS DAN ISLAMISME” (Mengurai Dikotomik Meluruskan Cara Pandang)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Kekhawatiran yang sangat berlebihan akan semakin masifnya gerakan ummat [Islam], ditambah dengan kesadaran mereka akan tanggung jawabnya sebagai insan beragama dalam rangka menunaikan hak-haknya serta menjalankan kewajibannya, kini telah melahirkan suasana baru yang dirasakan bagi sebahagian kalangan justeru lebih terasa menegangkan. Munculnya pengkotak-kotakkan idiom Islam dengan penafsiran yang lebih tendensius membuat Islam sebagai tertuduh dalam berbagai sisi.
Untuk menggambarkan kekhawatiran itu, sangat nampak dalam sejumlah karya dan penelitian yang nyata-nyata menggiring pada kesimpulan bahwa puritanisme Islam menjadi sebab dari segalanya. Khaled Abou el-Fadhl [Profesor Hukum Islam di UCLA Amerika Serikat] yang mendudukkan muslim puritan tak peduli pada “Islam yang hidup” di masa kini maupun dalam sejarah. Mereka malah menggandrungi “Islam yang dibayangkan”, baik sebagai mitologi masa silam maupun utopia masa datang. Mereka agresif, bersuara lantang dan didanai dengan baik. Yang terburuk dari semua itu, mereka berhasil melakukan aksi kekerasan mengerikan sehingga menyentak kesadaran semua orang, termasuk non muslim. [Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. The Great Teft: Wrestling Islam from the Extremists, 2005].
Dalam pendekatan yang sedikit beda, Tariq Ali [seorang atheis yang tinggal di London], dengan pandangannya yang “kiri” membawakannya dengan seolah-olah penuh rasa keadilan. Pengagum Bung Karno dan Pramoedya Ananta Toer ini mengajak kita untuk melawan fundamentalisme Amerika dan fundamentalisme Islam, dan menciptakan sebuah ruang di dunia Barat dan Islam di mana kebebasan berpikir dan berimajinasi bisa dipertahankan. [Tariq, Benturan Antar Fundamentalis, terj. The Clash of Fundamentalisms; Crusades, Jihads and Modernity, 2004].
Dalam konteks tanah air, Mun’im A. Sirry [alumnus Islamabad Pakistan] menyuguhkan temuannya dalam rangka merespon issue-issue kekerasan dengan menyimpulkan, bahwa agama memiliki dua warisan; warisan pertama adalah pencerahan, sementara warisan kedua adalah kebrutalan. Di satu sisi, agama memunculkan dan mengembangkan etika, hukum dan gagasan-gagasan yang luhur seperti pemihakan pada kaum mustadh’afin, cinta kasih, pemuliaan martabat manusia, pemaafan dan pengampunan, serta keadilan sosial. Di sisi lain, agama menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah, kebencian dan intoleransi. [Mun’im, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, 2003].
Pandangan agama menjadi sumber ketegangan, seolah mendapatkan tempatnya, hal ini bisa dilihat dari hasil riset The Wahid Institute yang menyebutkan bahwa kepentingan dan penguasaan terhadap resources tertentu tidak selalu bersifat material dan besar, namun bisa juga yang bersifat sangat spiritual dan tak seberapa berharga. Di samping hal-hal bersifat materiil-ekonomis, ketegangan juga bisa terjadi karena problem penguasaan atas keseragaman praktik ritual keagamaan yang menjadi ciri khas kelompok tertentu untuk membedakan dengan kelompok lain, hingga pada penguasaan tempat ibadah. [Tim Penulis, Agama dan Pergeseran Representasi; Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, 2009].
Babak berikutnya, sasaran tembak sudah mengarah pada lembaga keagamaan tertentu dan tuduhan pun semakin fokus. Munculnya dugaan, Islam Indonesia mengalami conservative turn, yaitu pembelokan ke arah konservatif bisa dilihat dari berbagai upaya dan pergerakan; upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam tubuh konstitusi, pemberlakuan Perda Syari’ah di daerah-daerah, konflik internal kubu puritan dan kubu progresif di tubuh organisasi Islam arus utama, munculnya gagasan dan praksis Islam radikal yang bersifat transnasional, konservatisme MUI dan lain-lain. Maka, ramai-ramailah melakukan berbagai upaya penangkalannya. Buku editan Martin van Bruinessen dengan judul: Conservative Turn; Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme terbitan Mizan, tahun 2014 adalah salahsatunya. Kemudian disusul oleh buku Fawaizul Umam, Kala Agama Tak Lagi Merdeka, terbitan Kencana Prenamedia Group, tahun 2015 yang menyoroti MUI dalam praksis kebebasan beragama. Bahkan sebelumnya, buku senada pun sudah muncul sebagaimana ditulis M. Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama, terbitan Walisongo Press, tahun 2010.
Di samping idiom yang disematkan pada Islam itu menggunakan istilah-istilah yang bersifat “keras” (Islam Radikal [Khamami Zada, 2002], [M. Imdadun Rahmat,2002], [M. Zaki Mubarak,2007], [Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan, 2012], Radikalisme Agama [Bahtiar Effendi, 2007], [Zuly Qadir, 2014], Islam Garis Keras [Youssef M. Choueiri, 1990], Islam Jihadi [Nur Khaliq Ridwan, 2002] dan Unholy War; Teror Atas Nama Islam [John L. Esposito, 2003]). Ada pula yang menggiring dengan pendekatan istilah yang bersifat “lembut” dan “renyah”, namun esensinya sama, yaitu menolak cara pandang Islam yang fundamental. Di antaranya: Satu Islam [Redaksi Mizan, 1986], Islam Jalan Tengah [Tim Dian Rakyat, 2012], Islam Madzhab Cinta [Mukti Ali, 2015] dan Islam Tuhan Islam Manusia [Haidar Bagir, 2017].
Kaitannya dengan bahasan yang sedang kita diskusikan adalah adanya legitimasi terhadap pandangan-pandangan tersebut sebagai puncak cita-cita dari Islamisme yang terlahir dari amal laku para Islamis dalam menjalankan Islam tanpa mengklasifikasikan kembali positif dan negatifnya menurut sudut pandang siapa yang menilainya. Sebagai contoh, pandangan Jalaluddin Rahmat yang kini tengah gencar-gencarnya dalam pembahasan ini, di mana dirinya menjadikan pandangan Bassam Thibi [Pemikir asal Suriah berkebangsaan German] dalam bukunya Islamism and Islam. Menurutnya Islam itu agama, sedangkan Islamisme itu meng-agamakan politik. Lalu Kang Jalal [panggilan JR] memberikan contoh sederhana; Khutbah jum’at itu adalah Islam, sedangkan berpolitik melalui mimbar jum’at itu adalah Islamisme. Secara sekilas nampak benar, namun apabila ditelisik lebih jauh nampak ganjilnya. Bukankah politik [dalam makna as-siyaasah as-syar’iyyah] pun tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan dakwah yang di dalamnya ada al-amru bil ma’ruuf wan nahyu ‘anil munkar? tak terkecuali khutbah jum’at dan forum-forum mimbar lainnya. Namun demikian, adab mimbar dan etika publik hendaklah menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan oleh para penyampai pesan sebagai wahana edukasi selama pengaturannya memenuhi azas otoritatif sehingga menjadi pesan yang mencerahkan ummat. Dengan demikian, para penyampai pesan akan mendapatkan arahan dan ummat pun semakin mendapatkan kepahaman tanpa harus menciderai terminologi keagamaan (semisal membiaskan istilah-istilah ke-Islaman).
Semua itu terjadi, meminjam bahasa Dr. Muhammad ‘Imarah [Pemikir Muslim asal Mesir] merupakan perang terminologi atau perang istilah [ma’rakah musthalahaat], sebagaimana yang pernah dirinya kritikkan kepada George Graudy [seorang pemikir Prancis yang masuk Islam] ketika menyamakan istilah fundamentalis Kristen dengan fundamentalis Islam. Menurut ‘Imarah, tidak bisa dipaksakan sama, mengingat latar belakang sejarahnya juga berbeda. Yang tepat, untuk menyebut perilaku yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam adalah Islamis, tidak yang lain. Wallaahu a’lam bis shawwaab
Allaahumma faqqihnaa fied diin …
_______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Kaprodi KPI STAIPI-UBA Jakarta