Selasa, September 10MAU INSTITUTE
Shadow

SAFARI DA’WAH KEPULAUAN SEPEKEN (Agar Kenangan Tak Mudah Sirna dari Ingatan)

SAFARI DA’WAH KEPULAUAN SEPEKEN (Agar Kenangan Tak Mudah Sirna dari Ingatan)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

“Berita duka mujahid-mujahidah belia Pesantren Persatuan Islam Abu Hurairah Sepeken yang terhempas ganasnya ombak samudera, mengingatkan lawatan kami sepuluh tahun silam. Betapa mereka kader-kader tangguh yang memang dipersiapkan untuk dakwah”

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Ketika membuka peta Nusantara, sulit menemukan titik pulau Sepeken. Hal ini menunjukkan betapa kecilnya pulau tersebut. Namun siapa nyangka, tempat jauh nun di sana itu menyimpan pesona yang menakjubkan. Bukan karena pemandangannya yang indah atau pelabuhannya yang ramai semata, melainkan berdirinya pondok pesantren yang telah turut serta menyemai benih-benih dakwah kawasan Timur Indonesia. Menjangkau pulau-pulau kecil, mulai Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, hingga Papua. Sekalipun lebih dekat ke Bali (12 hingga 13 jam perjalanan laut), Pemerintah memasukkannya ke wilayah Kabupaten Sumenep.

Pulau dengan luas daratan 3 km2 di ujung timur Madura ini, dihuni sekitar 32.000 jiwa dengan beragam suku; Bugis, Mandar dan Bajo. Adapun suku lainnya dapat dihitung jari. Pulau yang menurut sejarahnya sebagai kota pelabuhan, di mana raja-raja dan para saudagar kapal biasa berlabuh dan transit dengan saling menukar barang (barter) dagangan mereka di setiap pekannya, menjadikan pulau pelabuhan ini disebut “Sepeken”. Adapun pulau-pulau lain yang mengitarinya tidak kurang dari 20 pulau yang telah memiliki nama; Sekala, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Sadulang Besar, Sadulang Kecil, Saular, Setabok (diproyeksikan menjadi kawasan khusus untuk tamu-tamu Timur Tengah), Salarangan, Paliat, Sabuntan, Sepangkur Besar, Sepangkur Kecil, Saur, Saibus (pantai putih), Sasiil, Saredeng Besar, Saredeng Kecil, Sepanjang dan Tanjung Kiraok.

Pesantren Tengah Laut

Laksana mutiara mutu manikam, pulau kecil yang menyimpan harta karun tak ternilai ini. Tidak semua orang tahu, kalau di tengah-tengah pulau tersebut, berdiri tegak sebuah pesantren. Sekalipun tidak begitu megah, namun tidak sesederhana visi dan misinya. Seiring cita-cita pendirinya, KH. Abu Hurairah (ulama yang bertalian nasab dengan Mufti Kerajaan Islam Bone) dan dilanjutkan KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (kini pimpinan pesantren) dan para asatidz lainnya telah menetapkan visi: “Membangun sistem pembelajaran Islam terpadu yang berkualitas tinggi, komitmen terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta peduli terhadap nasib ummat”. Sedangkan misinya: “Melahirkan da’i dan mujahid potensial di bidang intelektual, pembinaan mental-spiritual, skill dan propesional yang ikhlas dan bertekad melaksanakan tugas dan pengabdian yang tahan uji, serta siap menghadapi tantangan dengan derita dan pengorbanan”.

Pesantren yang berdiri sejak tahun 1976 ini, kini telah memiliki lebih dari 2000 alumnus yang telah menyebar ke setiap pelosok. Mereka tergabung dalam Lembaga Dakwah Pengabdian Alumni Santri (LDPAS). Di antara wasiat dakwah yang tertuang dalam “Enam wasiat dakwah mujahid dan mujtahid” adalah: “Menjadikan para lulusan dapat menguasai Al-Qur’an dan As-Sunnah secara totalitas dari sumbernya yang asli, tidak ada jihad yang paling besar melainkan memperjuangkan denyut nadi Al-Qur’an dan As-Sunnah di setiap kehidupan dalam gerak dan kiprah, mengangkat ummat ke derajat paling tinggi dengan jihad, ijtihad dan kepedulian”. Untuk mewujudkan cita-cita luhurnya itu, pesantren tidak segan-segan mengambil ikrar dengan “bai’at perjuangan” para calon lulusan dan sekaligus wali santrinya untuk senantiasa istiqamah di jalan dakwah, siap menanggung resiko apa pun yang menimpa anak-anak mereka sebagai perwujudan mewakafkan diri berjuang untuk Allah dan rasulNya. Tidaklah heran, sampai hari ini belum pernah ada kasus orang tua santri yang complaint menuntut pihak pesantren perihal anak-anak mereka, sekalipun “sesuatu yang tidak diinginkan” menimpa anak-anak yang disayanginya.

Haflah Tahunan

Melengkapi acara pelepasan kader LDPAS, pihak pesantren mengajak seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam hajat tahunan. Selama 40 hari masyarakat pun disibukkan dalam pesta pesantren yang sekaligus pesta rakyat itu. Hiburan Islami dan beragam perlombaan antar pulau digelar; mulai sepak bola antar pulau, balap perahu layar, hingga tata boga ibu-ibu nelayan. Semuanya dikemas dengan semangat shilaturrahim yang sangat erat demi mewujudkan masyarakat kepulauan yang menjunjung tinggi persahabatan.

Demikian salah satu pengakuan yang disampaikan tokoh setempat H. Mohammad Daeng Sandre (Kepala Desa Kalihun waktu itu) yang disaksikan Dan Ramil setempat. Dengan penuh khidmat namun penuh semangat, KH. Ad-Dailami Abu Hurairah memimpin langsung pragmen dakwah yang melibatkan santri-santri mungilnya (yang masih usia SD). Tidak cukup sampai di situ, kyai yang pernah berguru dan mulaazamah kepada Ustadz Abdul Qadir Hassan ini, juga membuka diklat “tazwiedud du’aat” bagi para kader-kader mudanya. Disaksikan Ustadz Jeje Zainuddin (PP. Pemuda Persatuan Islam waktu itu), H. Mohammad ‘Asyur (alumni yang menjadi Anggota DPRD kabupaten Sumenep) dan juga penulis, dengan penuh kharisma KH. Ad-Dailamy mengajak semua kalangan untuk tsiqah dalam perjuangan. Kalimat akhir yang terlontar dari lisannya: “Gerbong dakwah merupakan kapal besar, jangan sekali-kali merusaknya. Perhatikan dengan seksama, kemana arah kapal melaju. Raihlah tawaran Allah, karena tawaran Allah lebih hebbat ketimbang tawaran manusia”.

Yaa syabaab … sieruu ‘alaa baarakatillaah … Laa tazaalu thaaifatun min ummatii zhaahiriena ‘alal haq laa yadhurruhum man khadzalahum hattaa ya’tiyallaahu biamrih
_______

✍ Penulis adalah: Praktisi pendidikan dan pegiat kemasyarakatan

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!