KULIAH ‘AQIEDAH DAN MANHAJ; MENUJU TAUHIED YANG MENGGERAKKAN
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Madrasah Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah, hari selasa, tertanggal 29 Sya’ban 1439 H./ 15 Mei 2018 kembali menyuguhkan sajiannya menyongsong Pra Ramadhan 1439 H berupa bedah buku karya aktivisnya. Paparan ringkas (mulakhash) yang diberi judul Kuliah ‘Aqiedah dan Manhaj ini terdiri dari 27 materi bahasan yang menitik beratkan pada permasalahan teologis dan kaitannya dengan persoalan kontemporer (mu’aashirah) yang terjadi saat ini. Sebagaimana disampaikan dalam pengantar, penulisan ini dilakukan guna menghidupkan kembali tradisi intektual yang pernah dirintis generasi sebelumnya, di mana “babad alas” yang telah dilakukan mereka, tidak terputus di tengah jalan dan redup, bahkan mati tidak berlanjut.
Sebut saja buku Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi (1974) yang ditulis Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Kuliah Tauhid oleh Dr. ‘Imaduddin Abdurrahim (1989) dan Kuliah Aqiedah oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas (1993). Bahkan ada buku-buku lain yang belum disebutkan, semisal Studia Islamika oleh Prof. Supan Kusuma Atmaja dan Beragama Secara Dewasa oleh KH. Ahmad Azhar Basyier, MA. (1983). Buku-buku tersebut cukup memberikan pengaruh terhadap ghairah keagamaan anak-anak kampus di era-nya. Estafeta pun berlanjut, dengan munculnya buku 10 Kuliah Agama Islam oleh Dr. Adian.Husaini (2015). Agar sanad sejarah tidak terputus, gayung pun tetap bersambut, maka penulisan Kuliah ‘Aqiedah dan Manhaj ini pun dilakukan. Hal ini, ditegaskan oleh Al-Ustadz H. Syamsul Bahri Ismail, MH. (Sekretaris Majlis Fatwa dan Pusat Kajian) dalam kata sambutannya. Menurutnya, “Estafeta itu memang harus berlanjut, sekalipun jauh dari sempurna”. Ibarat Imam Syafi’i rahimahullaah yang mengakui dan menyadari ketidak sempurnaan kitab Ar-Risaalah-nya. Lalu beliau mengatakan: “Yang sempurna itu hanyalah al-Qur’an …”.
Apresiasi ditunjukkan KH. Syuhada Bahri, dalam keynote speak-nya, beliau menegaskan: “Tauhied itu adalah ruh, intinya ‘aqiedah. Apa jadinya badan tanpa ruh? Demikian pula dengan Islam, Islam itu terbentuk oleh ‘aqiedah dan da’wah”. Karena itu, menurutnya tauhied dan ‘aqiedah itulah yang mampu menjadikan da’wah menjadi sebuah gerakan bukan sekedar kewajiban. Demikian imbuh da’i senior yang pernah memimpin Dewan Da’wah setelah generasi Allaahu yarhamh H. Hussein Umar ini.
Sementara Al-Ustadz Mohammad Hafizh, dengan pengalamannya keluar dan masuk kampus sejak digulirkannya da’wah kampus oleh Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir, mengingatkan: “Agar sebuah tulisan dapat melahirkan ruh gerakan, maka harus ada ideologisasi dalam bentuk pelatihan dan uji lapangan. Lahirnya lembaga-lembaga kaderisasi da’wah kampus, pelatihan kepemimpinan ummat, latihan mujahid da’wah dan latihan dasar perjuangan tidak bisa dilepaskan dari ruh tauhied itu”. Beliau menegaskan, sekaligus mengkritisi kehidupan da’wah kampus dan gerakan da’wah yang ada saat ini. Menurutnya, “Ada pergeseran yang signifikan, di mana manhaj-manhaj yang ada lebih mengedepankan pendekatan-pendekatan fiqih ketimbang pendekatan gerakan. Kondisi ini sangat wajar, di mana euforia penerbitan buku-buku fiqih saat ini lebih dominan, sementara dulu belum begitu marak. Yang dikhawatirkan adalah, para aktivis hanya larut dan asyik dalam pengkajian, namun tidak mampu melahirkan gerakan”. Berikutnya, beliau pun menasihatkan, “Harus ada keberanian membaca buku-buku lawan, agar mampu mengkritisinya (tentu secara terukur dan tidak meninggalkan buku-buku pegangan pokok yang mu’tabar). Dengan demikian, kaderisasi kepemimpinan di kampus-kampus bisa lahir kembali seperti dulu”.
Al-Ustadz H. Kamaluddin Iskandar Ishaq, Lc. yang turut meramaikan perhelatan ini, turut menanggapi dengan serius dan mewanti-wantikan; “Dalam perjuangan ummat ini, yang harus dijaga adalah “persatuan”, kader-kader ummat harus mampu menenggelamkan egonya dan menghindari kegenitan-kegenitan agar persatuan terwujud, dan itu adalah keteladanan tokoh kita Pak Natsir” tuturnya.
Di belakang layar, KH. Ahmad Cholil Ridhwan, Lc. (Wakil Badan Pembina Dewan Da’wah) menyampaikan harapannya. Dengan dialek khas Betawi-nya, tokoh yang digelari khalayak “kyai politik” ini mengatakan: “Ente musti bertanggung jawab dengan buku ini memahamkan ummat (soal pemikiran)”, sambil mengacungkan bukunya sebelum diskusi dimulai di ruang makan.
Sementara Ayahanda Prof. Dr. Ir. AM. Saefuddin (Ketua Badan Pembina) dan Drs. Mohammad Siddiq, MA. (Ketua Umum) berhalangan hadir. Namun Pak AM. menyampaikan dorongannya melalui pesawat selulernya: “Buku nanda sudah dibaca, goresan tintanya khas, inovatif dan kreatif untuk pergumulan pemikiran zaman milenial”.
Sebagai kalimat akhir, sebenarnya buku yang dibedah ini sangat jauh dari sempurna, bahkan beberapa catatan dari Al-Ustadz Abdul Wahid Alwy, MA. (Musyrief Majlis Fatwa dan Pusat Kajian) belum sempat dimasukkan. Tiada gading yang tak retak, semoga amalan sederhana ini, paling tidak, dapat mengingat kembali fikiran dan “menggedor” kesadaran kita, betapa tanggung jawab kaderisasi ummat ke depan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di antara keberhasilan tokoh-tokoh pendahulu dalam menjadikan soko guru perjuangannya adalah tidak lepas dari “Tauhied yang mampu menggerakkan”. Semoga …
Qif duuna ra’yika fiel hayaati mujaahidan, innal hayaata ‘aqiedatun wa jihaadun; “Berdiri tegaklah dalam pendirianmu untuk menjadi seorang mujahid, sesungguhnya kehidupan ini hanya bisa diperjuangkan dengan ‘aqiedah dan jihad”.
__________________
✍ Penulis adalah: Pegiat dan peminat Kajian ‘Aqiedah, Manhaj dan Pemikiran Islam.-
Subhanallah kitab ustadz H Teten Romly berjudul aqidah,manhaj jadi rujukan para ulama..dan juga sangat membantu kami saat laksanakan haji dan umroh