MEREKA YANG “BERSAING” KETAT DALAM BERINFAQ (Jihad Harta di Penghujung Bulan Mulia)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Sudah dimaklumi, di samping ramadhan sebagai bulan berkah dan bulan penuh semangat, juga ramadhan menjadi bulan yang menjadi faktor penggerak (driving factor) dalam beragam amal kebaikan. Di antara amalan yang dilipat gandakan itu adalah memperbanyak shadaqah dan infaq (taktsierus shadaqaat wal infaaq), karena itu pula ramadhan menutup aktivitas amaliahnya dengan zakat fithri. Yaitu zakat badan yang dikeluarkan setiap Muslim (baik laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak, bahkan anak yang masih dalam kandungan) di penghujung bulan.
Betapa para shahabat yang mulia berlomba-lomba dan bersaing ketat untuk mendapatkan keutamaan yang satu ini. Satu sama lain seolah tidak mau diungguli oleh yang lainnya dalam mengeluarkan apa yang mereka miliki.
Sebut saja shahabat mulia Abu Bakar as-Shiddieq dan ‘Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhumaa sebagaimana diceritakan Zaid bin Salim radhiyallaahu ‘anh, bahwasanya ‘Umar bin Khatthab bermaksud menyerahkan setengah dari harta yang dimilikinya. Namun ketika ditanya, “Kalau setengah dari hartamu engkau infaqkan, lalu mana harta yang untuk keluargamu?” ‘Umar bin Khatthab pun menjawabnya, “Setengah harta lagi, itulah untuk keluargaku”. Lalu datang Abu Bakar as-Shiddieq yang berniat menginfaqkan seluruh harta yang dimilikinya, Ketika ditanya, “Kalau seluruh hartamu engkau infaqkan, bagaimana dengan bagian keluargamu?” Abu Bakar pun menjawabnya, “Aku tinggalkan Allah dan rasulNya”. Sungguh Abu Bakar shahabat tauladan yang selalu berada di garda terdepan dalam amalan yang sulit diungguli shahabat lainnya.
Demikian pula dengan Thalhah bin Yahya bin Thalhah radhiyallaahu ‘anh yang menceritakan neneknya, bahwasanya Su’da binti ‘Auf al-Murriyah merasa heran dengan suaminya Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallaahu ‘anh yang terlihat bermuka kusut. Ketika ditanya, “Apakah gerangan yang terjadi pada dirimu? Adakah sesuatu yang kurang dariku?” Sergah istrinya. Thalhah pun menjawab, “Sama sekali tidak, sungguh engkau seorang istri Muslim yang baik”. Lalu apa yang membuatmu seperti itu? Kejar istrinya. “Hartaku sudah terlampau banyak, membuat diriku susah karenanya”, jawab Thalhah. “Jangan dibuat susah seperti itu, bagikan saja hartamu”, tutur istrinya. Thalhah pun membagi-bagikannya … Aku (Thalhah bin Yahya, cucunya) bertanya pada penjangga gudang, “Berapa banyak harta kakeknya?”. Penjaga pun menjawabnya, “Sebesar 400 ribu dirham”, tuturnya. (Syaikh ‘Abdullah Shalih, Kaifa Naiesyu Ramadhan, hlm. 15 – 16).
Masih banyak shahabat lain yang sangat dikenal kedermawanannya seperti halnya Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhumaa. Mereka semua adalah orang-orang mulia yang begitu yakin betapa Allah akan menurunkan anugerah yang lebih dan senantiasa mendapatkan alunan do’a para malaikatNya: “Allaahumma a’tie munfiqan khalafan wa a’tie mumsikan talafan; Wahai Allah berikanlah gantinya bagi mereka yang berinfaq dan datangkanlah kehancuran bagi orang-orang yang menahan hartanya” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
Sungguh zakat, infaq dan shadaqah menjadi amalan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kenabian (nubuwwah), demikian pula masa khulafaur rasyidin dan masa-masa berikutnya. Khalifah Abu Bakar as-Shiddieq yang dikenal kelembutannya sekali pun, mengambil tindakan tegas dan memerangi kelompok sparatis yang dengan sengaja menolak zakat. Menolak zakat, sama kedudukannya dengan menolak shalat dan menghancurkan bangunan Islam yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya. Karena itulah, di zaman-zaman berikutnya Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziez selalu mendorong rakyatnya dengan membaca berulang-ulang QS. Al-A’laa/ 87: 14 yang berbunyi “Qad aflaha man tazakkaa; sungguh beruntung orang yang membersihkan diri” ketika memerintahkan untuk membayar zakat.
Di samping zakat, infaq dan shadaqah mampu membersihkan jiwa pribadi pelakunya, juga memiliki dampak sosial bagi kehidupan orang lain yang lebih luas; mulai dari kemiskinan material (sangat kurang materinya walau mentalnya cukup), kemiskinan spiritual (sangat kurang mentalnya walau materinya cukup), hingga kemiskinan absolut (sangat kurang materi dan mentalnya). Artinya, mereka merupakan keluarga atau masyarakat yang belum memiliki kestabilan dan kesejahteraan.
Adanya keseimbangan antara material dan spiritual menjadi sangat penting, mengingat dampak sosiologis dan ideologis-nya. Mengapa demikian? Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawy menuturkan dalam Musykilatul Faqri wa Kayfa ‘Aalajahal Islaam sebagai berikut: “Tidak sedikit orang yang keluar dari ‘aqiedah Islam, lalu memilih keyakinan lain yang batil karena kemiskinan yang menghimpit dirinya”.
Ada benarnya sebuah renungan nasihat dari Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari, yang menyebutkan bahwa “tiang pancang” kokohnya perkara dunia itu tidak lepas dari empat perkara yang saling bersinergis; ilmunya para cerdik pandai, keadilannya para penguasa, kedermawanannya orang-orang kaya dan do’anya orang-orang miskin.
Maha benar Allah ‘azza wa jalla yang telah mengutus rasulNya. Seiring dengan ikhtiar manusia mencari keridhaanNya dengan mencari nafkah, untaian do’a pun tidak boleh ditinggalkannya. Demikian tutur sabdanya agar kekayaan yang melimpah dan kemiskinan-kefaqiran yang mendera tidak berubah menjadi badai fitnah dan keburukan yang membinasakan jiwa: Allaahumma innii a’uudzu bika min fitnatin naar wa adzaabin naar wa min syarril ghinaa wal faqri; “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari fitnah api neraka dan adzabnya, (berlindung pula kepadaMu) dari keburukan kekayaan dan kefaqiran”. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin …
_______
✍ Penulis adalah; Pegiat dan pemerhati sosial-keagamaan Madrasah Ghazwul Fikri