KH. E. ABDURRAHMAN; WAJAH DAN WIJHAH ULAMA NUSANTARA YANG MUTAFAQQIH FIED DIIN
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Sudah tentu bukan maqamnya bilamana diri ini harus berbagi kisah sejarah tentang sosok Ustadz Abdurrahman. Demikian ustadz luhung pangaweruh ini akrab dipanggil (istilah saya ini mungkin semacam kyai khash atau ulama langitan dalam budaya pesantren-pesantren tradisional atau ulama kibaar dalam istilah lingkungan Al-Lajnah ad-Daaimah KSA atau Jabhatul ‘Ulama Mesir). Di samping tidak pernah berguru dan bertemu walaupun masih sezaman, juga kurangnya literatur yang dimiliki dari karya-karya beliau dan kurangnya pesan kisah yang disampaikan kecuali sedikit saja yang bisa diketahui.
Sekedar menakar pengetahuan tentang beliau ini, karya-karya yang sempat dibaca meliputi: Risalah Wanita (Bandung, Sinar Baru: 1988), Risalah Jum’at (Bandung, Sinar Baru: 1990), Istifta; Tanya Jawab Masalah Agama (Bandung, Husaba: 1991), Perbandingan Madzhab (Bandung, Sinar Baru: 1991), Mernahkeun Hukum Dina Agama (Bandung, TB. Al-Huda: Tp. Tahun), Renungan Tarikh (Bandung, Algesindo: 1993), Recik-Recik Dakwah (Bandung, Sinar Baru: 1993), Hukum Qurban, Aqiqah dan Sembelihan (Bandung, Algesindo: 1995), Sekitar Masalah Tarawih, Takbir dan Shalat ‘Id/ dilengkapi Khutbah ‘Idul Fithri (Bandung, Algesindo: 1996), Petunjuk Praktis Ibadah Haji (Bandung, Algesindo: 1996) dan tulisan-tulisan beliau yang bertebaran di Majalah Risalah dan Majalah Bahasa Sunda Iber. Adapun karya-karya penelitian tentang tokoh ini, baru membaca: KH. E. Abdurrahman; Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam oleh Fauzi Nurwahid (Jakarta, Skripsi Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), Fiqhud Da’wah KH. E. Abdurrahman oleh U.A. Saefuddin (Bandung, TB. Al-Huda: 1996) dan Yang Da’i Yang Politikus oleh Dadan Wildan (Bandung, Rosdakarya: 1999).
Membaca satu demi satu karya beliau, memang benar teu nginjeum panon jeung pikiran batur bahwa tulisan-tulisan Al-Ustadz begitu berhujjah, berwawasan dan mudah dipahami. Maka sangat wajar, bila para santri-santrinya begitu sangat terpesona dengan keilmuan beliau, terlebih dengan sikap laku dan disiplinnya dalam memberikan atikan pada santri-santri dan jamaahnya. Tidak salah bila gurunya Tuan A. Hassan pernah bertutur: “Abdurrahman, anta akan menjadi murid saya yang pintar dan akan melebihi anak kandung saya”.
Dipuji dan disanjungnya beliau oleh sang guru, tidak lantas membuat dirinya jumawa atau adigung adiguna, melainkan semakin bertambahnya semangat mengembangkan pendidikan dan dakwah dalam gerakan Persatuan Islam. Dengan dilibatkannya beliau di Pendidikan Islam (PENDIS) bersama Mohammad Natsir dan kawan-kawannya, semakin kuatlah barisan intelektual ini. Kepiawaian ilmu yang dimilikinya (meliputi teologi, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alat) membuat kagum dan penilaian positif rekan seperjuangannya M. Natsir: “E. Abdurrahman mempunyai kelebihan dalam kecermatannya menetapkan hukum dari ijtihadnya, dengan landasan dalil yang selalu kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Ulama seperti ini termasuk langka, bahkan jarang ditemui di luar negeri sekali pun” (Nurwahid, 1988:74).
Tanpa bermaksud berlebihan, nampaknya sosok ulama yang satu ini begitu membekas di hati para guru, murid dan jamaahnya. Sudah tentu, sisi kekurangan pasti ada karena beliau manusia biasa. Plus minus ijtihadnya itulah yang sampai saat ini masih terus menarik diangkat di forum-forum intelektual jam’iyyah ini, baik di kalangan “konservatif” atau kalangan “progressif” bila mengikuti teorinya Prof. Gerry van Klinken dari Leiden Amsterdam Belanda (tentu pembagian semacam ini pun banyak yang tidak setujunya). Kalau pun ada, dentumannya tidak sekuat dengan “ledakan pemikiran” yang terjadi di lingkungan seperti halnya Muhammadiyah dan NU. Di samping imaamah dan imaarah-nya cukup kuat, juga nilai-nilai puritanisme-nya masih kokoh. Mudah-mudahan demikian.
Dalam beberapa persoalan, nampak ada perubahan dalam berbagai wacana pergerakan pendidikan dan dakwahnya; mengurainya definisi tafaqquh fied diin, dakwah itu mengajak bukan mengejek, dakwah itu bukan hanya meng-amang-amang tapi meng-iming-iming dan lain-lain. Walau pun terjadi perubahan di sana-sini, namun tetap masih terlihat berpegang pada nilai-nilai fiqhut tarbiyah dan fiqhud da’wah para pendahulunya. Antara yang berpegang “kade ulah kitu” dengan “kieu oge meunang” nampak seimbang, yang penting “tong sagala meunang”. Atau dulu sempat mengemuka, antara generasi “kurung batok” dengan generasi “loba piknik kaluar”. Kini sepertinya sudah mulai terurai dengan semakin banyaknya kader muda yang al-indimaaj bainas tsaqaafatain, artinya senyawa dalam dua peradaban sebagaimana ditunjukkan Allahu yarham Mohammad Natsir, yaitu tidak pernah mendikotomikan ilmu agama dengan ilmu dunia, membenturkan antara Timur dan Barat dan mengkontradiksikan Islam dengan Timur dan Barat itu. Menurut Pak Natsir, timur dan barat keduanya milik Alloh Jalla Jalaaluh. ( Notulasi FGD Pemikiran Da’wah Mohammad Natsir, di DMI & Pusat Kajian Dewan Da’wah Pusat, bersama Dr. Shohirin Moh. Sholihin dari IIUM Malaysia).
Kembali pada peng- i’tirafan tokoh Al-Ustadz Abdurrahman, di samping mengambil butir-butir mutiara berharga nan mulia sebagaimana digambarkan Allaahu yarham KH. Eman Sar’an (sesepuh PERSIS Jakarta): “euweuh masalah agama nu teu tuntas paragat jeung ustadz Abdurrahman mah …” kenangnya. Lain lagi dengan Allaahu yarham KH. Usman Sholehuddin (Grand Syaikh Gumuruh): “ayeuna mah hiji masalah direreyang ku salarea dina TMD Risalah teu gampang nuntaskeunnana, ustadz Abdurrahman mah baheula ku sorangan” tuturnya sambil menitikkan air mata. Allaahu yarham KH. Ikin Shodiqin (Kyai senior PERSIS Buah Batu Bandung) lain lagi: “mun maca tulisan Ustadz Abdurrahman nerangkeun kedokteran jiga dokter, nerangkeun tata ruang angkasa jiga ahli astronomi, komo deui nerangkeun tafsir, fiqih jeung hadits mah …”. Suatu waktu ada mahasiswa bertanya kepada Ustadz Ikin, “kalau ustadz Abdurrahman itu ahli apa? kitab apa yang dibacanya?” Ustadz Ikin spontan menjawab: “pertanyaan anta salah, kuduna pertanyaanna, kitab naon nu can kabaca ku ustadz?” sergahnya sembari ngekeh tersenyum penuh kenangan. Berbeda dengan guru kami “Ibunda para santri”, Allaahu yarhamh Ustadzah Aminah Dahlan (Senior Ketua UG Pesantren PERSIS no. 01 Padjagalan Bandung dan pendamping setia Allaahu yarham KH. Sjihabuddin/ Sesepuh dan Pimpinan Pesantren PERSIS Tarogong Garut) yang lebih senang membawakan petuah moral tentang pandangan hidup dan pendidikan gurunya itu, di antaranya: “mun teu ngakal moal ngakeul”, “silahkan anda ke pasar, kami mengajar”, “mun hayang pinter kudu ngajar”, dan pitutur-pitutur lainnya. Adapun Ustaadzunal faadhil KH. Aceng Zakaria (Ketua Umum PP. PERSIS sekarang), menurut kesaksian para orang tua, tulisan-tulisannya mengingatkan pada ustadz Abdurrahman. Sedangkan H.M. Amin Djamaluddin (Ketua LPPI), punya kisah tersendiri, menurutnya: “ustadz Abdurrahman itu sayang sama murid-muridnya, saya bukan alumninya namun pernah ditepuk-tepuknya bahu saya ini”, akunya. Masih banyak tentunya, kesaksian murid-murid lainnya yang tidak disebutkan di sini. Yang penulis sampaikan di sini, hanyalah yang penulis dengar secara langsung (sima’) sebagai hubungan ustadz dan santri atau menjadi jama’ah ketika mengikuti pengajiannya. Yang pasti, dengan jargon dakwahnya: “kita itu mencari jelas, bukan mencari puas” kini telah melahirkan persemaian dakwah tarbiyah yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya Pesantren Persatuan Islam dan teguhnya khittah jam’iyyah serta kukuhnya pendirian para aktivisnya.
Namun hal ini, tidak berarti sepi dari persoalan dan kekurangan atau mungkin peran jam’iyyah nyaris tak terdengar di kancah nasional, terlebih internasional. Justeru dengan secara rutinnya setiap tokoh jam’iyyah ini dikaji satu persatu, diharapkan kita semua, khususnya kader-kader muda dapat mengambil faidah dari kelebihan tokoh-tokoh masa lalu dan mengevaluasi kekurangannya.
Sebagai generasi cicit, hanya ini yang bisa penulis haturkan. Berupa jentikan jempol (gantinya goresan pena), yang mudah-mudahan dapat mengantarkan adek-adek kami, khususnya para santri, pemuda-pemudi dan para mahasiswa-mahasiswi. Berulang kali penulis petikkan nasihat Dr. Musthafa as-Siba’iy dalam Min Rawaa’i Hadharaatinaa: “Membanggakan masa lalu secara berlebihan dengan segala kebaikannya, itu tandanya orang pemalas. Sedangkan meremehkan masa lalu dengan segala plus minusnya, itu tandanya orang bodoh”. Semoga tetap seimbang (tawaazun) dalam menyikapinya; Menjadi mujaddid yang progressif tidak berarti harus jadi liberal, tsiqqah dan ketat (indhibaath) terhadap hujjah, tidak berarti harus jadi rigid. Semoga … Allaahumma faqqihnaa fied diin.
_______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persis (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta.