Kamis, April 25MAU INSTITUTE
Shadow

“FALAA TAMUUTUNNA ILLAA WA ANTUM MUSLIMUUN”; MENEGASKAN KEMBALI IDENTITAS KEISLAMAN KITA

“FALAA TAMUUTUNNA ILLAA WA ANTUM MUSLIMUUN”; MENEGASKAN KEMBALI IDENTITAS KEISLAMAN KITA

________

RISALAH ‘IEDUL ADHHA 1439 H.

Bersama:

H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah, Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

 

Ikhwaani fied diin a’azzakumullaah …

Kita berkumpul di pagi yang cerah ini; diiringi sinar mentari dan disaksikan cahaya siang, seakan semua menjadi saksi betapa rendah dan hinanya kita di hadapan Pencipta yang Maha agung dan Maha perkasa.

Patut disyukuri, atas kasih dan sayangnya Alloh ‘azza wa jalla pula sampai saat ini kita semua berada dalam nikmat Iman, Islam dan Ihsan, yaitu kenikmatan hidup di bawah lindungan anugerah Alloh dengan bimbingan kehaniefan ajaranNya. Namun demikian, kenikmatan tersebut; damai dan sejahteranya kita di hari ini, bukanlah sesuatu yang bersifat spontanitas tanpa proses, melainkan proses panjang mengarungi samudera nan luas dengan segala tantangan dan rintangannya sehingga membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan dan pengorbanan inilah sebagai bukti konkret yang diwariskan generasi pendahulu para nabi dan hawariyun-nya dalam mengantarkan Al-Islaam kepada kita. Oleh karenanya, marilah kita pandai mendulang hikmah dan belajar dari kejadian masa silam untuk sama-sama kita terapkan dalam kehidupan sekarang ini. Fa’tabiruu yaa ulil abshaar.

Alloh ‘azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran [‘ibrah] bagi orang-orang yang memiliki akal pikiran” (Q.S. Yusuf/12 :111)

 

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

Saudara-saudara kaum Muslimien a’azzakumullaah

Bulan Dzulhijjah, yang di dalamnya penuh dengan nuansa ibadah; dari amalan awwal bulan, shaum ‘arafah, shalat ‘iedul adhha, udhhiyyah dan manasik haji mengingatkan kita semua kepada sosok piawai yang patut kita jadikan teladan, karena hakikatnya apa yang kita lakukan hari ini sebagai sunnah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam merupakan ajaran millah sebelumnya, yaitu sunnah Ibrahim ‘alaihis salaam dengan ajarannya al-hanifiyyah as-samhah, yaitu agama yang lurus dan lapang. (Ibnu Katsier dalam Sa’id Hawwa, Al-Asaas fiet Tafsier, 1989: 8, 3605).

Walaupun demikian, kalangan Orientalis Barat yang phobia terhadap Islam semisal H.A.R. Gibb menuduhnya bahwa Muhammad sebagai pengecat agama atas tradisi bangsa Arab. Menurut Al-Buthy, ini merupakan tuduhan tak berdasar. (Sa’ied Ramadhan al-Buthy, Sierah Nabawiyyah, 1990: 1, 35).

Sampainya ajaran tauhied kepada kita merupakan bukti keberhasilan sang pembawa ajaran, yaitu pemimpin yang memiliki keperibadian yang kuat dan karakter yang prima, sebagaimana Alloh gambarkan dalam ayat berikut: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan lagi patuh pada Alloh dan hanief, sekali-sekali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, selalu mensyukuri nikmat-nikmat Alloh. Alloh telah memilihnya dan menunjukkinya ke jalan yang lurus” (QS. An-Nahl/16 : 120-121).

Demikianlah nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salaam, yang dengan segala kebesaran dan kwalitas peribadinya bukanlah sekedar menjadikan dirinya terangkat sebagai kekasih Alloh [khalielullaah] dan bapak para nabi [abul anbiyaa], melainkan nama Ibrahim senantiasa disejajarkan dengan nama Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam dalam shalawatnya. (H.R. Muslim, 1992: 1, 191).

Sementara kalangan ahlul kitab [Yahudi dan Nashrani] masa itu, telah mengklaim dan Ge-eR atas kebesaran nabiyullah Ibrahim dengan mengatakan bahwa dirinya seorang Yahudi atau Nashrani. [Q.S. Alu ‘Imran/3 : 66], sehingga Alloh menjawab dalam ayatNya: “Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani, akan tetapi dia seorang yang hanief/ lurus lagi berserah diri kepada Alloh, dan sekali-kali dia bukanlah dari golongan orang-orang musyrik” (Q.S. Alu ‘Imran/3 : 67).

Ayat tersebut turun, menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh berkenaan dengan berbantah-bantahannya dua orang pendeta [Yahudi dan Nashrani] Najran yang saling berebut claim akan kedudukkan nabiyullah Ibrahim. (Muhammad ‘Ali as-Shabuny, Shafwatut Tafaasier, tp. tahun: 1, 207).

Terlepas dari pertentangan mereka, semua sepakat bahwa Ibrahim tercatat sebagai orang bersih yang menyebabkan Alloh turunkan barakahNya kepada ummat sesudahnya. Segala harapan dan cita-cita serta do’anya dikabulkan Rabbul ‘Aalamien, di antaranya:

  1. Negeri Mekkah menjadi negeri yang aman, tentram dan penuh limpahan keberkahan.
  2. Bangunannya berupa ka’bah, tetap tegak menjadi perhatian ummat manusia sedunia.
  3. Anak keturunannya, menjadi orang-orang shalih, bahkan menjadi nabi-nabi pemimpin ummat manusia.
  4. Jejak langkah peribadatannya dijadikan anutan bagi generasi yang datang kemudian hingga akhir zaman.
  5. Prosesi perjalanan hidupnya menjadi tuntunan ibadah yang utama dalam manasik haji dan lain-lainnya.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah, Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

Saudara-saudara kaum Muslimien a’azzakumullaah

Merupakan sunnatullah, sebuah perjuangan dakwah senantiasa dihiasi ujian dan rintangan yang menghalangi keberhasilannya, termasuk menegakkan kalimat tauhied yang menjadi landasan ‘aqidah dan ketundukkan serta kepasrahan terhadap Alloh semata sebagai identitas semenjak zaman para nabi terdahulu hingga sekarang ini dan akhir zaman. Oleh karenanya, semata-mata Alloh tidak akan bertanya tentang sebuah hasil dari kerja dakwah kita, melainkan Alloh bertanya tentang sebuah proses usaha dari amal dakwah kita selama ini dan Itulah fungsinya dakwah. Karenanya, sangatlah wajar apabila seorang Syaikh Muhammad Rasyid Ridha [ulama pembaharu Mesir] mengatakan: “Laa Islaama illa bid da’wah, wa laa da’wata illaa bil hujjah, wa laa hujjata ma’a baqaait taqlied”. Untaian kalimat indah ini, sering kali dipetik oleh bapak-bapak Muslim kita [tokoh-tokoh Masyumi khususnya] yang apabila diartikan kurang lebih seperti ini: “Islam tidak akan berdiri tegak kecuali dengan dakwah, dakwah pun tidak akan berdiri kokoh kecuali dengan hujjah dan hujjah pun akan sia-sia kalau ummatnya masih taqlid ngak mau berubah”.

 

Lebih dari itu, dalam kondisi apa pun dakwah wajib ditegakkan, bahkan Rasulullah menyebut al-amru bil ma’ruuf wan nahyu ‘anil munkar dan memberikan kedamaian kepada keluarga [tasliemuka ‘alaa ahlika] sebagai tanda Islamnya seseorang setelah beliau merincikan rukun Islam yang lima. (Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak, Shafwatul Bayaan Li Ma’aanil Qur’aan, 1994: 64).

 

Dalam konteks gerakan dakwah, Syaikh ‘Ali ‘Abdul Halim Mahmud [ulama Al-Azhar Mesir] menegaskan: “Al-amru bil ma’ruf dan an-nahyu ‘anil munkar merupakan langkah penting dalam manhaj Islam untuk kehidupan. Manhaj Islam tidak akan tegak kecuali ummat menjadikannya aktivitas pokok dalam gerakannya”. (Lihat Ma’al ‘Aqiedah wal Harakah wal Manhaj Fie Khairi Ummah Ukhrijat Lin Naas, 1992: 167).

Kembali kepada Sierah Jihad Ibrahim dan keluarga besarnya, perjalanan tauhied tidak lepas dari gangguan gerakan perusak [destruktif, haddaamah] yang menebarkan fitnah melancarkan perang urat syaraf [ghazwul fikri] dengan berbagai strateginya; mulai dari perang ideologi, perang intelektual, perang istilah, perang media, sampai perang identitas yang mampu meluluh lantahkan tatanan ekolisosbudhankam suatu bangsa yang bermartabat sekalipun. Dengan ghazwul fikri, identitas Islam menjadi tidak jelas, maknanya kabur dan bias. Munculnya istilah-istilah dengan pengkotak-kotakkan Islam menjadi bukti hakiki betapa masifnya gerakan ini [di antaranya dimunculkannya benturan Islam Konservatif-Islam Progressif, Islam Puritan-Islam Toleran, Islam Fundamental-Islam Liberal, Islam Radikal-Islam Humanis, Islam Garis Keras-Islam Garis Lembut, Islam Intoleran-Islam Ramah Lingkungan, Islam Madzhab Cinta-Islam Amarah, Islam Tuhan-Islam Manusia dan Islam-Islam lainnya. Dan akhirnya muncullah istilah paling teranyar; “Islam Jalan Tengah” dan “Islam Benang Merah” dengan tafsiran masing-masing kepentingannya.

Hal ini mengingatkan kita akan propaganda berhalaisme [watsaniyah] yang pernah digulirkan melalui dalang intelektualnya ‘Amr bin Luhay bin Qam’ah bin Khandaf [nenek moyang Bani Khuza’ah] bersama  kamerad-kamerad-nya berhasil mengelabui penganut ajaran Ibrahim untuk kembali kepada ajaran jahiliyyah. Komitmen untuk menyebarkan ajaran sesatnya dibuktikan dengan penuh semangat, kerja keras sehingga berhasil membawa berhala hubbal yang diminta dari negeri Syam dan dibawa ke Mekkah untuk dilestarikan sebagai ta’abbudi. Menurut Al-Maraghi menukil Ibnu Jarier dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh bahwa ‘Amr bin Luhay adalah orang yang pertama kali merusak agama Ismail; menggunting telinga unta dan mengeramatkan kambing atas nama kearifan lokal [local wisdom] tentunya. Karena sikap nativisme-nya itu, maka diperlihatkan pada Rasulullah bahwa ‘Amr bin Luhay menyeret perutnya di neraka. (Lihat Al-Buthy, 1990: 1, 29. Lihat pula KH. E. Abdurrahman, Renungan Tarikh, 1993: 308).

Gerakan mereka mendapatkan dukungan hingga menjadi gerakan mapan [establish] yang mampu melibas gerakan hanief. Banyaknya dukungan itu, tidak sekedar membahayakan secara kwantitas, melainkan secara kwalitas pula sedikit demi sedikit menggeser nilai-nilai ketauhidan penganutnya sehingga terjadilah perubahan [tahrief] dan percampuran [iltibaas, mixing]; dari ajaran satu Tuhan [monotheisme] menjadi banyak Tuhan [polytheisme], dari tauhied menjadi syirik dan dari ajaran samawi menjadi ideologi iblis [diabolisme]. Dua atau banyak ajaran yang bertolak belakang dipaksa berbaur menjadi satu sehingga terjadinya “satu selera satu rasa”. Itulah sinkretisme ajaran-ajaran, penyatuan agama-agama [wihdatul adyaan, pluralisme agama] seperti halnya munculnya fenomena Komunitas Millah Abraham di negeri ini atau pun Abrahamic Faith di negara-negara Barat.

Para ahli sierah mencatat, bahwa Bani Kinanah dan suku Quraisy sejak dulu telah mempopulerkan talbiyyah jahiliyyah-nya sebagai berikut: “Aku sambut seruanMu ya Alloh, aku sambut seruanMu, tiada sekutu kecuali sekutu yang memang [pantas] bagiMu, yang Engkau dan dia miliki …”. Setelah talbiyyah ini, mereka membaca talbiyyah yang men-tauhidkanNya dan memasuki ka’bah dengan membawa berhala-berhala mereka. (Al-Buthy, 1990: 31).

Dalam kondisi seperti inilah, sangat diharapkan munculnya tokoh-tokoh kritis seperti pemuda Ibrahim dengan membawakan missi utama untuk kembali ke pangkuan tauhied, yaitu kembali kepada orisinalitas ajaran agama sebagai identitas manusia ber-Tuhan. Oleh karenanya, bentuk perubahan apa pun [Reformation atau Revolution] tanpa dilandasi aqiedah yang kuat, cepat atau lambat menjadi hancur dan sia-sia belaka.

Inilah sepenggal kisah sejarah, dialog pemuda Ibrahim dengan ayahandanya Azar yang melibatkan masyarakat dan penguasanya untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar. Ibrahim berkata kepada ayahanda dan ummatnya: ” … Berhala-berhala apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya?”. Mereka menjawab: “Kami mendapatkan bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”. Mereka menjawab: “Apakah kamu Ibrahim, datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang yang bermain-main?” Ibrahim berkata: “Sebenarnya, Tuhan kamu adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Alloh, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kalian pergi meninggalkannya” Maka Ibrahim pun membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping, kecuali berhala induknya. Mereka pun mulai bertanya: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami?, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang aniaya”. Mereka pun menyebutkan: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” Mereka menegaskannya: “Kalau demikian, bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka dapat menyaksikan”. Mereka bertanya: “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?”. Ibrahim pun menjawab: “sebenarnya berhala yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Mereka telah kembali kepada kesadarannya, lalu berkata: “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri”. Kemudian kepala mereka tertunduk, lalu berkata: “Sesungguhnya kamu hai Ibrahim telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”. Ibrahim menjawab: “Maka mengapakah kalian menyembah kepada selain Alloh, yang sesuatu tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi madharat kepada kalian. Celakalah kalian, mengapa kalian menyembah sesuatu selain Alloh? Apakah kalian tidak berakal?” Demikianlah Alloh paparkan dalam bentangan ayatNya Q.S. Al-Anbiya/ 21: 52 – 57.

Saudara-saudara kaum Muslimin a’azzakumullaah

Itulah penggalan episode tentang kekritisan pemuda Ibrahim dalam menepis logika-logika sesat dan gagal fikir yang dituduhkan padanya, telah mampu dia jawab dengan cerdas dan ilmiah sehingga membuat murka Raja Namrudz dan jajaran kabinetnya. Kekalahan kekuatan logika Namrudz, tidak berarti sikap arogannya menjadi berkurang. Dengan menyembunyikan rasa malu dia pun mengeluarkan jurus barunya, yaitu “logika kekuatan”. Mereka pun menyeru: ” … Bakarlah dia [Ibrahim], dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar akan melakukan tindakan”.

Sepadan dengan amal jihadnya yang gigih, penuh dengan optimisme, peristiwa aneh kembali terjadi yang mengagetkan orang-orang musyrik itu dan sekaligus membuat mereka semakin geram dikarenakan kobaran api yang diharapkan dapat melumatkan jasadnya tak mampu membakar dan melukai kulitnya, bahkan rambutnya sekalipun. Dengan kekuasaanNya, Yang Maha agung menolong pembela ajaran agamanya dengan cara yang tidak mungkin manusia dapat melakukannya. Alloh ‘azza wa jalla menyerukan pada api: “Wahai api, menjadi dinginlah! … dan keselamatan bagi Ibrahim”. (Lihat Q.S. Al-Anbiya/ 21: 68 – 69).

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah,   Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

Saudara-saudara kaum Muslimin A’azzakumullaah

Di sisi lain,  militansi Ibrahim tidak cukup dinilai sosok tegar yang berkobar-kobar, sosok kritis yang berapi-rapi, dia pun seorang sosok yang berair-air, yaitu figur seorang bapak yang dapat membawa kesejukkan, kelembutan serta memberikan nasihat yang bijak sehingga kaderisasi tetap berjalan dan dapat melahirkan generasi-generasi unggulan yang diharapkan melanjutkan estafeta perjuangan dalam menegakkan da’wah ilallaah mengajak manusia ke jalan Islam. (Lihat Q.S. Al-Baqarah/ 2: 132).

Keberhasilan dakwahnya, tidak dapat dilepaskan dari dukungan para hawariyun, yakni anak-anaknya sendiri [Ismail dan  Ishaq ‘alaihimassalaam] yang mendapatkan sokongan para ibunda mereka Sayyidah Sarah dan Sayyidah Hajar serta anak cucunya yang setia mengibarkan panji tauhied sampai kemunculan Nabi akhir zaman Rasululloh Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Q.S. Al-Baqarah/ 2: 133 dan Q.S. Alu ‘Imran/ 3: 68).

Hal ini merupakan cerminan sebuah Gerakan Da’wah yang baik, adalah gerakan yang mendapatkan dukungan dari dalam dan mengakar dalam pengkaderan sehingga mampu melahirkan kesinambungan gerakan [ittishaalul haraky] yang berjalin dan berkelindan, saling mengisi dan melengkapi demi kokohnya bangunan nubuwwah. Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wasallam menuturkan: “Perumpamaanku dengan para nabi sebelumku laksana seseorang yang tengah membangun sebuah gedung, lalu ia memperindah dan memperelok bangunan tersebut, kecuali satu tempat batu bata di salah satu pojoknya. Ketika orang-orang mengitarinya dengan penuh kagum, mereka pun berkomentar: alangkah indahnya batu bata itu apabila diletakkan pada tempatnya. Akulah batu bata itu dan aku penutup para nabi” (H.R. Bukhari dan Muslim dalam Musthafa Muhammad ‘Amarah, Jawaahirul Bukhaari wa Syarhul Qasthalani, hlm. 213).

Kesinambungan itu, merupakan buah yang dipetik dari rangkaian do’a Ibrahim ‘alaihis salaam dalam memohon pada Alloh Jalla wa ‘Alaa agar kiranya Alloh jadikan mereka, keluarga dan keturunannya menjadi orang-orang yang berserah diri kepadaNya, serta hidup di bawah aturan dan naungan maghfirahNya. (Lihat Q.S. Al-Baqarah/2: 128).

Maka Alloh pun mengabulkan permohonannya, berupa diutusnya seorang Rasul yang dapat menjalankan trifungsi kenabian; yakni memaparkan ayat-ayatNya [tilaawah], mengikis nilai-nilai jahiliyyah dengan pensucian jiwa [tazkiyah] dan mengajarkan mereka dengan bimbingan kitabullah dan hikmah/ sunnah [ta’liem]. (Lihat Q.S. Al-Baqarah/2: 129, Alu ‘Imran/3: 164 dan Al-Jumu’ah/62: 2).

 

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Ilallaah, Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

Saudara-saudara kaum Muslimin a’azzakumullaah

Perjuangan nabiyullaah Ibrahim dan para pengikutnya memberikan dampak yang sangat berarti [atsar] bagi jalan juang berikutnya, di mana Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam dengan penuh kesungguhan pula telah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dan mampu mengembalikan kevacuman ‘aqiedah kepada pangkuan ajaran yang hanief, yakni Al-Islaam, karena pada dasarnya agama para nabi terdahulu adalah sama. Itulah rahasianya, mengapa Alloh Jalla wa ‘Alaa menyebut para penganutnya dengan sebutan Al-Muslimien dan sangat mewanti-wantikan agar kita tidak mengakhiri hidup ini, melainkan dalam keadaan berserah diri. Falaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun (Lihat Q.S. Al-Hajj/22: 78 dan Al-Baqarah/2: 132). Bahkan penamaan ini, menurut para mufassir telah tercamtum dalam kitab-kitab sebelum Al-Qur’an. (Marwan Suwar, Mukhtashar at-Thabary, 1991: 341).

 

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah, Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar, Walillaahilhamd

Saudara-saudara kaum Muslimin a’azzakumullaah

Dengan melihat kembali kepada bentangan ayat-ayat sejarah, juga diingatkan kembali dengan peristiwa demi peristiwa bulan mulia Dzulhijjah, semoga Alloh yang Maha gagah dan Maha perkasa semakin mengokohkan iman kita untuk diberikan kemampuan meluruskan dan meneguhkan hati kita dalam memegang teguh agamaNya, serta diberikan kemampuan untuk mengambil keteladanan sierah jihad Ibrahim dalam rangka merefleksikan kemenangan ‘aqiedah dan mempertegas kembali identitas ke-Islaman kita. Aamiin ...

_________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

  • Alhamdulillah taushiyyah ustadz sungguh menenangkan. Saat saya hanya bisa menulis artikel di Harian Republika dan media massa lain.Da’wah bilhaq membutuhkan pengorbanan..masyarakat kerap menentang saat kita taushiyyahi.bisa jadi pendekatan kita yang kurang pas.Sementara untuk orang yang beda pendapat dengan kita, mereka kadang menggunakan orang-orangnya untuk mengintimidasi dan mengucilkan kita.Ini sudah bertahun-tahun ustadz.Akhlaq manusia Indonesia itu sebagian besar perlu dipertanyakan.

Tinggalkan Balasan ke Fauzan Suhada Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!