Rabu, Februari 12MAU INSTITUTE
Shadow

QAD AFLAHA MAN ZAKKAAHAA WA QAD KHAABA MAN DASSAAHAA

QAD AFLAHA MAN ZAKKAAHAA WA QAD KHAABA MAN DASSAAHAA
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Melanjutkan pembahasan hakikat tazkiyatun nafs, berikutnya kita perhatikan beberapa pandangan para ulama, di antaranya:

1. Syaikh Muhammad bin Sa’ied bin Salim al-Qahthani, ketika mentahqiq kitab Tazkiyatun Nafs Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Tidak akan bisa merasakan keagungan dan kedalaman tazkiyah imaniyah melainkan orang yang mengetahui kejahiliyahan. Karena itu, generasi awwal merupakan generasi yang paling baik ditaqdirkan mendapatkan nikmat ini dengan sebaik-baiknya. Mereka mendapatkan pemisah yang dapat menjauhkan antara iman dan kufar, antara ibadah kepada Allah dengan ibadah kepada taghut, dan antara kebebasan dalam mensucikan jiwa kepada Rabb dan kekakuan antara rabb-rabb yang menghinakan.” (Al-Qahthani, 1994: hlm. 13-14)

Karenanya, tazkiyatun-nufus sebagai sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyyah yang diajarkan kepada Nabi, memiliki peranan sangat penting, karena dia sangat berpengaruh terhadap baik atau buruknya satu ummat, di samping itu tazkiyatun nufus menjadi landasan tegaknya perintah-perintah Allah ‘azza wa jalla dalam jiwa manusia.

2. Menurut Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali dalam kitab Manhajul Anbiyaa Fie Tazkiyatin Nufus menuturkan: “Jika jiwa manusia dibiasakan dengan akhlaq yang mulia dan lurus, niscaya jiwa tersebut akan senang dan merasa bangga dalam mengagungkan syiar-syiar Allah ‘azza wa jalla dan senantiasa berjalan di atas manhajNya.” (Al-Hilali, 2005: hlm. 17)

Sebelumnya, Ibnu Qayyim menjelaskan hal ini dalam Risaalah Fie Amraadhil Quluub (1403: hlm. 51) dengan menukil pandangan jumhur mufassirin sebagai berikut:

1. Qatadah rahimahullaah berkata: “Kalimat qad aflaha man zakkaahaa, memiliki pengertian barangsiapa beramai kebaikan, maka Allah akan membersihkannya disebabkan ketaatan kepadaNya”. Atau dalam kalimat lain, Qatadah menyebutkan: “Sungguh bahagia orang yang mensucikan dirinya dengan amal shalih.”

2. Al-Hasan rahimahullaah berkata: “Sungguh bahagia orang yang mensucikan dirinya, lalu dia berbuat kebaikan dan berjalan di atas ketaatan kepada Allah, dan sungguh merugi orang yang berbuat kerusakan dan dia berjalan di atas kemaksiatan kepada Allah.”

3. Ibnu Qutaibah rahimahullaah bertutur: “Yang dimaksud orang yang bahagia karena mensucikan dirinya adalah orang yang berusaha mengembangkan dan meninggikan ketaatan kebaikan serta hal-hal kebaikan lain yang mampu dilakukan. Adapun orang yang merugi adalah orang yang mengurangi dan meringankan amalannya dengan meninggalkan bermacam kebaikan dan terjerumus dalam beragam kemaksiatan.”

Terlepas perbedaan pendapat sebagian ulama, mengenai dhamir yang ada dalam kata zakkaahaa. Apakah kembali kepada Allah, berarti jumlah kalimatnya adalah Aflahat nafsun zakkaahaallaahu ‘azza wa jalla wa khaabat nafsun dassaahaa atau kembali kepada fail aflaha, yaitu huruf man (sama saja sebagai maushul atau maushuf) sesungguhnya dhamir apabila kembali kepada Allah, maka jumlah kalimatnya menjadi qad aflaha man zakkaahu wa qad khaaba man dassaahu.

Namun kelompok pertama berpandangan bahwa kata man jika lafazhnya mudzakkar masuk kepada mu’annats, maka boleh mengembalikan dhamirnya menjadi mu’annats karena menyesuaikan makna, demikian pula dengan lafazh mudzakkar menyesuaikan dengan lafazh mudzakkar. Kedua-duanya merupakan kalimat yang benar (fashih), yaitu benar menurut ilmu fashaahah. (Ibnu Qayyim, 1403: hlm. 50)

Sementara itu, para pentarjih menguatkan pandangan yang pertama, dengan alasan hadits riwayat Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anh yang mengatakan: “Aku pernah mendatangi Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam, lalu aku mendapatkannya bahwa Rasulullaah sedang berdo’a Rabbi a’thi nafsie taqwaahaa wa zakkaahaa … Anta khairun man zakkaahaa … Anta waliyyuhaa wa maulaahaa. Do’a ini seperti tafsir ayat yang menyebutkan bahwa Allah-lah yang menjadikan diri seseorang menjadi bersih. Maka Allah disebut Muzakki dan hambaNya disebut mutazakki.” (Ibnu Qayyim, 1403: hlm. 50)

Demikian pula, Muhammad Uwais al-Nawawi dalam Tafsir al-Qayyim yang ditahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi menegaskan bahwa makna qad aflaha man zakkaahaa wa qad khaaba man dassaahaa adalah: “Sungguh beruntung orang yang mengagungkan dan meninggikan dengan ketaatan kepada Allah, serta menjalankannya. Dan sungguh merugi orang yang meringankan, meremehkan, serta menganggap kecil dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah.” (Uwais al-Nawawi, 2007: hlm. 397)

Dari berbagai pemaparan para ulama, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat tazkiyatun-nafs adalah sebuah upaya mensucikan jiwa dengan melakukan ketaatan kepada Rabbul ‘Aalamien dan mengendalikan nafsu dari beragam kemaksiatan. Siapa yang dapat mengupayakannya berarti orang tersebut telah berhasil mentauhidkan Allah dengan cara membersihkan jiwa dan mengagungkan syari’at-Nya dengan kepatuhan dan ketundukan kepadaNya. Wallaahu a’lam bis shawwaab
_______________
Penulis adalah: Pengasuh Kajian Intensif di madrasahabi-umi.com. Disampaikan pada Renungan Shilaturrahiem di Kawasan Puncak Darajat Samarang Garut

Print Friendly, PDF & Email

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!