MASAAILUL JAAHILIYYAH; DULU DAN SEKARANG
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Laksana seseorang yang menggemgam bara api di malam hari; dipegang panas dan membakar, tidak dipegang menyebabkan berjalan dalam kegelapan. Sungguh sebuah kondisi yang sangat membingungkan, ketika sebagian penyeru atas nama agama menebar kedustaannya. Jangankan membela kehormatan agamanya, yang terjadi justeru sebaliknya; agama bisa menjadi rusak, ummat pun dibuat ragu karenanya. Inikah yang disebut beragama di akhir zaman? Di mana semakin banyak kaum intelektual yang berani menafsirkan agama sekehendak fikirannya. Dengan logikanya, ia bermain kata-kata dan dengan sederet gelar akademiknya bisa menyihir jiwa yang lemah pemahamannya.
Berkaca pada sejarah dengan merenungkan kembali taujieh nabawi berupa dialog bersama shahabatnya, dapatlah kiranya diambil pelajaran, keteladanan dan sekaligus kewaspadaan.
Inilah seorang shahabat yang dikenal sebagai “Shaahibus sirri” (pemegang rahasia berita kenabian), yakni Hudzaifah Ibnul Yamaan radhiyallaahu ‘anh yang pernah bertanya langsung kepada Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terkait kekhawatirannya. Ia pun memulai pembicaraannya kepada Rasulullaah, seraya mengatakan: “Mayoritas orang bertanya kepadamu mengenai perkara-perkara baik saja, sementara aku ingin bertanya kepadamu mengenai perkara-perkara buruk, karena khawatir perkara buruk itu menimpa diriku. Wahai Rasulullah, dulu kami jahiliyah dan ada pada zaman keburukan. Lalu Allah datangkan zaman kebaikan, apakah setelah zaman baik akan datang lagi zaman yang buruk?” Nabi menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah zaman buruk akan ada lagi zaman baik?” Nabi menjawab: “Ya, namun kebaikan di saat itu diselimuti kabut (dakhan)”. Aku bertanya, “Apa kabutnya?” Nabi menjawab: “Suatu kaum yang menyeru ummat tanpa petunjukku, engkau mengambilnya dan engkaupun menolaknya (karena ragu)”. Aku bertanya lagi, “(Kalau demikian) Apakah setelah zaman baik yang dipenuhi kabut itu akan datang lagi zaman yang lebih buruk?” Nabi menjawab: “Ya, akan muncul “du’aatun ‘alaa abwaabi jahannam”, yaitu para penyeru yang menggiring ke pintu- pintu jahannam. Siapa yang membenarkan ucapannya, mereka akan terperosok ke dalamnya.” Aku bertanya lagi “Wahai Rasulullah, tunjukkan sifat-sifat mereka pada kami? Nabi menjawab: “Kulit mereka sama seperti kita dan mereka bicara sama seperti bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Apa yang akan engkau perintahkan pada kami jika hal itu terjadi?” Nabi menjawab: “Hendaklah jangan terlepas dari jama’ah muslimin dan imam kaum muslimin”. Aku bertanya lagi, “Jika jama’ah muslimin dan imam kaum musliminnya tidak ada, bagaimana?” Nabi menjawab: “Jauhilah olehmu mereka (para penyeru yang menggiring kepada kesesatan itu) sekalipun kamu harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitab Al-Imaarat).
Kata kunci yang dapat dijadikan pelajaran berharga dari hadits yang mulia ini adalah:
1) Senantiasa berdialog dengan para ulama pewaris Nabi dalam melihat berbagai persoalan seperti halnya yang dilakukan shahabat terhadap Rasulullah merupakan sikap keteladanan dalam melihat berbagai persoalan.
2) Senantiasa waspada akan munculnya zaman yang lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya di tengah-tengah problematika yang ada.
3) Senantiasa tetap mewapadai munculnya kaum yang bersifat munafiq di tengah-tengah ummat (mereka tampaknya Islam, namun lebih membela kepentingan orang-orang di luar kaum muslimin).
4) Hendaklah saling menjaga soliditas dan menghidupkan ukhuwwah kaum muslimin di tengah-tengah hampanya kepemimpinan.
5) Di sela-sela ikhtiar perjuangan, berpegang pada kitabullah dan sunnah rasulNya merupakan kunci keselamatan dan kenyamanan beragama dalam kondisi apa pun.
Bagaimana dengan Jahiliyyah Modern?
Hakikatnya, istilah “jahiliyah” tidaklah terkurung dan dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu (bangsa Arab misalnya), melainkan berlaku umum di segala zaman dan tempat. Ummat masa lampau terlena dalam kejahilan sebelum sempurnanya pengutusan kenabian (bi’tsah nubuwwah), sedangkan ummat masa kini terlena dalam kejahilan setelah sempurnanya kenabian. Wajarlah bila sebahagian orang mengatakan, bahwa secara nilai bila kejahilan saat ini disebut “jahiliyah murakkab”, alias kejahilan yang sangat akut.
Ketika menafsirkan QS. Al-Maidah/ 5: 50, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik selain hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.” Menurut Imam As-Syaukaani dalam kitabnya Fathul Qadier, ayat ini mengandung sindiran bagi orang-orang yang berpaling dari hukum Allah dan menunjukkan loyalitasnya pada hukum buatan “ahlul jahli wal ahwa”, yaitu orang bodoh dan pengumbar nafsu. Imam Ibnu Katsier menukil hadits dalam kitabnya Tafsierul Qur’aanil ‘Azhiem, hadits riwayat Imam Bukhari dari lbnu ‘Abbas dan Abil Yaman radhiyallaahu ‘anhum: “Manusia yang paling aku benci adalah mereka yang mengharapkan hukum jahiliyah dan menyukai pertumpahan darah tanpa haq.”
Sementara Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam kitabnya Taisierul Kariemir Rahmaan Fie Tafsieri Kalaamil Mannaan menuturkan: “Yang membedakan hukum jahiliyah dengan hukum Allah adalah; yang pertama dibangun di atas pondasi kejahilan, kezhaliman dan kesesatan. Sedangkan yang kedua dibangun di atas landasan ilmu, keadilan, kearifan serta hidayah Allah ‘azza wa jalla.”
Adapun istilah “jahiliyah modern”, ditujukan kepada perilaku kejahilan abad ini yang sama sekali tidak berbeda sifat dan karakternya dengan kejahilan di masa lalu sebagaimana diuraikan Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab dalam kitabnya Masaailul Jaahiliyyah. Al-Ustaadz Muhammad Quthb menyebutnya dengan “jaahiliyyatu qarnil ‘isyrien”, yaitu jahiliyah yang terjadi di abad 20.
Namun demikian, menurut Syaikh Shaalih Fauzan dalam kitabnya Aqiedatut Tauhied memberikan peringatan: “Tidak boleh men-generalisir dengan sebutan ‘jahiliyah abad ini’ atau semisalnya, karena kejahilan secara umum sudah lenyap seiring dengan diutusnya Rasulullaah shalallaahu ‘alahi wa sallam. Adapun kejahilan yang terjadi saat ini bersifat khusus dan sebahagian saja, maka lebih tepatnya disebut “jahiliyah sebahagian orang yang hidup di abad ini.”
Semoga Rabbul ‘Aalamien senantiasa menjaga ketauhidan hamba-hambaNya dan melenyapkan kejahilan dengan ilmuNya yang Maha mulia dan Maha tinggi. Wallaahul musta’aan … Amien.
__________________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
Allahu Akbar