KEMUNGKARAN BERFIKIR MENURUT PARA ULAMA ‘AQIEDAH
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Pertarungan antara yang haq dan yang batil (as-shiraa bainal haq wal baathil) akan senantiasa terjadi sepanjang zaman, karenanya agama mengajarkan adanya al-amru bil ma’ruuf wan nahyu ‘anil munkar. Hakikatnya, tantangan dan problem yang terjadi di zaman salaf, itu pula yang terjadi di zaman khalaf, tidak terkecuali di zaman kita ini. Adapun kemungkaran dan penyimpangan yang terjadi, lebih disebabkan karena berfikir yang keliru dalam menjadikan sumber kebenaran di samping keluar dari fithrah.
Lahirnya sikap berlebihan dan ekstrim (ghuluw), mengikuti kehendak hawa nafsu (ittibaa’ul hawaa) dan mengikuti praduga (ittibaa’uzh zhann) dalam beragama merupakan salah satu penopangnya.
Akhir-akhir ini ada pandangan yang cukup mengemuka, bahwa pendekatan ajaran agama bisa didekati dari tiga sisi; pendekatan teks/ dalil (bayaani), pendekatan alam fikir (burhaani) dan pendekatan alam rasa (‘irfaani). Tidak ada yang salah dengan pembagian ini, namun akan menjadi keliru manakala ketiga-tiganya dipahami secara terpisah dan tidak dibatasi ruang geraknya.
Apabila hanya bayaani saja, bisa menyebabkan agama dipahami secara apa adanya saja (letterlijk, zhahiriyyah). Apabila hanya burhani saja, bisa menyebabkan agama selalu harus dipaksa masuk aqal (rasional, ‘aqlaniy). Apabila hanya ‘irfani saja, bisa menyebabkan agama dipahami berdasarkan isyarat-isyarat rasa semata (isyariy, dzauq). Tentu, agama akan menjadi paripurna apabila didekati dari semua sudut pandang selama pendekatannya memiliki batas-batas dan sumber-sumber yang jelas.
Kaum salaf, sebagai cerminan generasi terbaik ummat, dan kaum khalaf sebagai generasi yang mengikutinya, telah memberikan rambu-rambunya (ma’aalim), di antaranya:
1) As-Syaathibi dalam kitabnya Al-Muwaafaqaat bertutur: “Kedudukan wahyu itu diikuti (matbuu’), sedangkan aqal itu mengikuti (taabi’)“. Maka Ibrahim bin Saif al-Mazruu’i berkomentar dalam kitabnya Durus fiel ‘Aqiedah wal Manhaj sebagai berikut: “Dalam penentuannya aqal tidaklah berlebihan, melainkan apa yang dijelaskan wahyu.” (Al-Mazru’i, Duruus fiel ‘Aqiedah, 2005: hlm. 142).
2) Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawaaiq al-Mursalah menegaskan: “Keyakinan adanya kontradiksi antara aqal dengan wahyu, merupakan pokok yang sama dari sumber kesesatan Bani Adam.” (Ibnu Qayyim dalam Nashir ‘Abdul Kariem, Manaahij Ahlil Ahwaa wal Iftiraaq wal Bida’ wa Ushuuluhum wa Simaatuhum, 1994: hlm. 147)
3) Syaikh Utsman Ali Hassan mengutip pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fataawaa: “Sesungguhnya aqal merupakan syarat dalam mengetahui ilmu pengetahuan dan paripurnanya ilmu dan amal.” (Utsman Ali Hasan, Mashaadirul Istidlaal ‘alaa Masaailil I’tiqaad, 1413: hlm. 70)
4) Syaikh Abdul Hadi al-Mishri menjelaskan dalam kitabnya Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah Ma’aalimul Inthilaaqatil Kubra berikut ini: “Ciri Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah adalah tidak mempertentangkan al-Qur’an, as-sunnah, aqal atau qiyas.” (Al-Mishri, Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah, 1998: hlm. 67)
5) Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’ad as-Syahriy dalam kitabnya Ad Dalielul Aqliy ‘indas Salaf menyimpulkan: “Dalil-dalil wahyu itu mencakup di dalamnya dalil-dalil aqal.” (As-Syahriy, Ad-Dalielul ‘Aqliy, 2011: hlm. 50 – 69)
6) Prof. Dr. Musthafa Hilmi dalam kitabnya Manhaj Ulama’il Hadits was Sunnah fie Ushulid Dien mengklarifikasi: “Sesungguhnya sumber dalil agama, tidak berdalil berdasarkan naqli saja, melainkan termasuk pula dengan dalil aqal, di mana al-Qur’an menyebutkan dengan cukup jelas dan kuat.” (Hilmi, Manhaj Ulamaail Hadits was Sunnah, 2005: hlm. 191 – 192).
Jauh sebelum para ulama berkomentar, Amierul Mu’minien Khaliefah ‘Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anh pernah mengingatkan: “Jauhilah para pengagung aqal, sesungguhnya mereka memusuhi sunnah. Mereka mengobral kata-kata buruk yang mereka hafal, lalu berkomentar dengan rasionya, maka menyebarlah kesesatan itu.” (‘Abdil Kariem az-Zaid, Taujihaat Manhajiyyaat fie Tahshielil ‘Ilm, 2002: hlm. 66).
Benar apa yang pernah disampaikan Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’ien (tp. thn) dan Ighaatsatul Lahfaan (2003) terkait dengan apa yang disebut dengan aqal yang selamat (al-‘aqlus saliem) , bahwa: “Pandangan yang benar sangat ditentukan oleh cara berfikir yang lurus, berfikir yang lurus sangat ditentukan oleh aqal yang selamat dan ciri aqal yang selamat adalah tunduknya al-‘aqlu pada al-wahyu. Sebaliknya, pandangan yang batil sangat ditentukan oleh cara berfikir yang keliru, berfikir yang keliru sangat ditentukan oleh aqal yang rusak dan ciri aqal yang rusak adalah menolaknya al-‘aqlu pada al-wahyu.”
Dengan gambaran berbagai pandangan singkat tadi, dapat kita simpulkan, bahwa berpijak pada al-Qur’an dan al-Hadits (al-wahyu), aqal yang selamat (al-‘aqlus saliem) dan kebenaran bawaan (al- fithrah) merupakan sumber kebenaran yang mampu mengawal ajaran agama dari berbagai “kegenitan intelektual dan kemungkaran berfikir”.
Allah ‘azza wa jalla menuturkan dalam firmanNya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. Al-Jaatsiyah/ 45: 23).
Semoga Rabbul ‘Aalamien senantiasa menjaga kefahaman kita dalam mempelajari agamaNya.Allaahumma faqqihnaa fied dien … Aamien.
___________________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
👍
Jazaakumullahu khairan ustad