Senin, September 9MAU INSTITUTE
Shadow

KEBENARAN DAN “AKAL MERDEKA” (Menyelami Pandangan Seorang Pak Natsir tentang ‘Aqal)

KEBENARAN DAN “AKAL MERDEKA” (Menyelami Pandangan Seorang Pak Natsir tentang ‘Aqal)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Apa itu Kebenaran?

Sebagian orang mengatakan, kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang mengatakannya, yang lain menyebutkan tergantung bisa dibuktikan atau tidak. Sementara lainnya, menegaskan kebenaran itu muthlaq adanya.

Apabila dikaji dari sisi etimologi, benar itu sendiri disebut dalam Al-Quran dengan kata al-haq, yang menurut para ahli kamus semisal Ibnu Manzhur dalam kitabnya Lisaanul ‘Arab, Ibrahim Unais dan kawan-kawan dalam kitabnya Mu’jamul Wasieth memiliki makna yang beragam; ketetapan, kewajiban, penjelasan, bagian tertentu atau kebalikan dari perkara batil. Al-Jarjani dalam kitabnya At-Ta’riefaat mendefinisikannya dengan “As-tsaabitu laa yasuughu inkaarahu”, yaitu “Sesuatu yang tetap yang tidak bisa diingkari”. Karenanya, ketika kita mengatakan “Pada hakikatnya” (tertulis dengan kata ‘Arab: haqieqat), artinya “Pada dasarnya” atau “Kebenaran yang sesungguhnya”.

Dalam kajian falsafah ilmu, kita mengenal ada tiga jenis kebenaran;
1) Kebenaran religius; yaitu kebenaran atas dasar credo atau keyakinan dan kepercayaan.
2) Kebenaran ilmiah; yaitu kebenaran atas dasar rumusan-rumusan, methoda-methoda dan kesimpulan-kesimpulan.
3) Kebenaran filosofis; yaitu kebenaran atas dasar pencarian apa? (ontologis), bagaimana? (epistemologis) dan seperti apa hasilnya? (aksiologis).

Para ulama klasik, seperti Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiyah al-Harani dan Ibnu Qayyim al-Jauzy ketika membahas hakikat kebenaran, mereka tidak melepaskan pembahasan dari ‘lmu dan yaqien. Karena kebenaran itu identik dengan ilmu dan berujung dengan keyakinan. Para ulama ushul fiqih menuturkan dalam qaidah: “Al-yaqienu laa yuzaalu bis syakk”, artinya keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan.

Apabila dikaitkan dengan tiga pembagian sebelumnya, dan kita ingin mengetahui sifat kebenaran itu; relatifkah (tajriebi)? atau absolut (muthlaq)? , maka takarannya adalah harus timbangan “Kebenaran yang Maha benar” yakni kebenaran Allah ‘azza wa jallasebagaimana firmanNya: “Al-haqqu min Rabbika falaa takuunanna minal mumtarien.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 147), sedangkan dalam QS. Alu ‘Imran/ 3: 60 dengan kalimat yang berbeda “falaa takun”. Pengertian “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka jangan sekali-kali kamu menjadi dari golongan orang-orang yang ragu”. Yang pertama bicara soal konsepsi ajaran, dan yang kedua bicara soal identitas manusia.

Dengan demikian, bagaimana pun ilmiahnya menurut manusia; prosedurnya sudah benar menurut manusia, keputusannya sudah bulat menurut manusia. Semuanya itu bersifat relatif, bisa iya dan bisa juga tidak, bisa benar dan bisa juga tidak. Namun kebenaran di sisi Allah ‘azza wa jalla yang berdasar pada wahyu, itulah bersifat muthlaq dan itulah kebenaran yang sesungguhnya. Yaitu kebenaran yang sejati dan keyakinan yang sebenarnya (haqqul yaqien), bukan sekedar keyakinan atas dasar observasi dan penelitian semata (‘ainul yaqien dan ‘ilmul yaqien) manusia yang masih semu.

Benar, apa yang disampaikan Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’ien dan Ighaatsatul Lahfaan, bahwa:

1) Pandangan yang benar, sangat ditentukan oleh cara berfikir yang lurus, berfikir yang lurus sangat ditentukan oleh akal yang selamat (al-‘aqlus saliem) dan ciri akal yang selamat adalah ketundukkannya pada wahyu.

2) Pandangan yang bathil, sangat ditentukan oleh cara berfikir yang keliru, berfikir yang keliru sangat ditentukan oleh akal yang rusak (al-‘aqlul faasid) dan ciri akal yang rusak adalah penolakkannya pada wahyu.

Bagaimana dengan Akal Merdeka?

Mohammad Natsir (1988) memberikan pandangannya dalam hal ini sebagai berikut:
“Sudah tak syak lagi bahwa salah satu dari jasa Islam bagi manusia dan kemanusiaan, ialah “mobilisasi akal”, pembukaan dan penggerak akal manusia yang lama tidak mendapat tempat yang semestinya dalam peri kehidupan rohani dan jasmani manusia. Bukalah Al-Qur’an di halaman mana jua pun. Sudah tentu akan terasa oleh tiap-tiap seseorang yang membacanya, bagaimanakah dorongan Islam yang tak kurang-kurangnya untuk memakai akal, mempergunakan pikiran sebagai satu nikmat Tuhan yang tak ternilai harganya. Kita orang Islam diwajibkan memakai akal untuk memikirkan ayat-ayat Qur’an supaya mengerti akan maksud dan maknanya: lantaran ayat-ayat al-Qur’an itu diturunkan untuk yang mau berfikir, mau mengambil makna, mau mengetahui, mau beristinbath, mengambil konklusi.” (Lihat M. Natsir [disunting H. Endang Saifuddin Anshari, Pendahuluan oleh Ajip Rosidi], Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, Giri Mukti Pasaka, 1988: 231)

Masih menurutnya; “Jauh sebelum Baco Van Verulam mengemukakan teori inductive method dalam berfikir, Rasulullaah SAW (shalallaahu ‘alaihi wa sallam, pen.) sudah mengajarkannya beberapa abad sebelum itu. Mengajarkan satu cara berfikir, yang sampai sekarang menjadi dasar bagi tiap-tiap penyelidikan yang berhak dinamakan ilmiah (scientific).” (Lihat: Kebudayaan Islam, 1988: hlm. 233)

Dengan menggunakan beberapa pertanyaan, Mohammad Natsir melanjutkan pandangannya sebagai berikut: “Dalam Islam akal mendapat tempat yang mulia. Dalam Islam akal tidak ditindas melainkan dipergunakan dan diberi jalan, diberi aliran kemanfaatan kita manusia. Tetapi, apakah ini juga berarti bahwa Islam memberikan kemerdekaan berfikir tak terbatas? Apakah ini juga berarti bahwa orang Islam harus melemparkan semua paham-paham yang dianggap “lama” dan harus menjadikan “akal merdekanya” sebagai hakim yang tertinggi dalam semua hal?.” (Lihat: Kebudayaan Islam, 1988: hlm. 234)

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Mohammad Natsir membagi akal merdeka menjadi beberapa bagian:
Pertama, akal merdeka yang terpimpin. Adalah akal merdeka yang telah memerdekakan kaum muslimin dari kekolotan yang membekukan otak, melepaskan kaum muslimin dari kebekuan berfikir.
Kedua, akal merdeka yang tersesat. Adalah akal merdeka yang tidak mau tahu dengan al-Qur’an dan al-Hadits dan membelokkan makna keduanya dengan menyesuaikan akalnya.
Ketiga, akal merdeka yang lepas dari patokan agama. Yaitu akal yang merdeka dari spirit agama, di mana semua khurafat, semua bid’ah dan semua takhayyul dilogiskan dan dirasionalkan. (Lihat: Kebudayaan Islam, 1988: hlm. 236-237)

Berikutnya, dalam tulisannya Quo Vadis Akal Merdeka? (1988), Mohammad Natsir menetralisir pemahaman akal merdeka yang sering berlawanan; di satu sisi akal merdeka dapat melepaskan dari taqlid yang amat berbahaya, namun di sisi lain akal merdeka bisa melemparkan hukum dan aturan Islam itu sendiri. Akal merdeka dapat melemparkan semua yang ada dalam tradisi kuno dan beralih selaras dengan spirit of Islam, namun bisa jadi dengan akal merdeka pula semangat Islam berubah menjadi spirit of the west. Dengan akal merdeka dapat memperdalam dan memperteguh iman, menambah khusyu tawadhu’ terhadap kebesaran Ilahi dalam mencari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan ajaran-ajaran agama, mempertinggi dan memperluas perasaan agama. Namun dengan akal merdeka pula bisa membikin-bikin ibadah dan upacara baharu, pandai menghapus khurafat kuno akan tetapi cakap pula mengadakan khurafat modern. Akal merdeka bisa membersihkan agama dari kutu-kutu berbahaya untuk kemajuan, membuka jendela lapangan pikiran supaya bertukar udara yang busuk dengan yang bersih, namun pandai pula membongkar tiang-tiang agama. Bukan saja memasukkan udara yang sepoi-sepoi basah, akan tetapi juga memasukkan angin topan yang dapat menghancurkan apa yang ada. Dalam pandangannya, “Akal merdeka ibarat api; mungkin ibarat lampu yang gemerlapan, memimpin kita dari gelap gulita ke terang benderang. Seringkali mungkin pula menyala berkobar, menyiar bakar menghapuskan apa yang ada di sekitarnya.” (Lihat: Kebudayaan Islam, 1988: hlm. 240).

Kaitannya dengan agama, beliau menyimpulkan bahwasanya Islam datang meluruskan akal merdeka. Dengan bahasa interogatif, beiiau menuturkan: “Bagaimana kita hendak bertahkim kepada akal merdeka semata-mata? Akal merdeka tanpa disiplin mengakibatkan chaos centang perenang. Maka agama datang, bukan semata-mata memerdekakan akal. Agama datang membangunkan akal, membangkitkan akal, menggemarkan orang memakai akal sebagai satu nikmat Ilahi yang Maha Indah. Agama datang mengalirkan akal menurut alur yang lurus, jangan melantur ke sana kemari merompak pagar dan pematang.” (Lihat: Kebudayaan Islam, 1988: hlm. 240-241).

Bagaimana pandangannya tentang “Rasionalisme” dalam Islam dan reaksi atasnya, serta sikap “Islam” terhadap “Kemerdekaan berfikir”, Pak Natsir telah membentangkannya dalam kitab monumentalnya Capita Selecta 1 Bab III yang telah dicetak sejak tahun 1955 oleh Yayasan Bulan Bintang Abadi Jakarta.

Apa yang disampaikan Allaahu yarhamh Pak Natsir ini, sungguh telah sejalan dengan pandangan para ulama yang mu’tabar, di mana kedudukkan akal dalam Islam wajib sesuai dan selaras dengan fungsi yang sebenarnya, yaitu “mengawal kebenaran” dan “mengendalikan manusia” agar tidak keluar dari rel kebenaran itu. Oleh karenanya, diharapkan keduanya saling sinergi dan saling melengkapi. Apabila terjadi penyimpangan pada diri manusia, maka sudah bisa dipastikan, ada kerusakan pada kendalinya. Dengan demikian, “kendali” dalam bahasa ‘Arab sering kali disebut ‘iqaal seperti halnya ungkapan bahasa ‘Arab: “Sumiyal ‘aqlu bil ‘aqli kamaa yu’qalul hishaanu ‘alal asyjaar.” Artinya adalah: “Disebut akal itu dengan kata ‘aqal sebagaimana seekor kuda yang ditambatkan (yu’qalu: diikat) pada pepohonan.” Demikian disampaikan oleh para ulama ahli bahasa dan kamus baik kalangan klasik maupun kontemporer. Kalau demikian, masihkah kita mau mempertentangkan agama dengan “akal merdeka” yang selamat?. … Fa’tabiruu yaa uulil albaab.
_______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!