PETUAH TARBAWI SANG PERINTIS (Tujuh Pesan Moral Untuk Para Pencari Oase Tafaqquh fied Dien)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Secercah Iftitah Renungan Sejarah
“Sungguh telah berlalu pengalaman ummat sebelum kalian; maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat yang dialami oleh orang-orang yang suka mendustakan.” (QS. Ali Imraan/ 3: 137)
Firman Allah ‘azza wa jalla yang mulia ini mengisyaratkan pada kita bahwa dalam perjalanan (sunanun, bentuk jamak dari sunnatun) kita ini tidak lepas dari pembabakan sejarah. Ada generasi terdahulu (mutaqaddimien), ada pula generasi belakangan (muta’akhirien) atau kontemporer (mu’aashirien). Dalam bahasa para ulama, ada generasi salafiyyien, ada pula generasi khalafiyyin. Artinya adalah ada generasi masa silam dan ada juga generasi masa kini atau masa yang akan datang (tidak terkecuali era milenial yang kita kenal hari ini).
Dulu ataupun sekarang di mata Allah ‘azza wa jalla sama kedudukannya apabila mereka yang hidup di dalamnya menghiasi dirinya dengan kemuliaan iman dan amal shalih. Dengan demikian, hendaknya perjalanan sejarah menjadi penjelas (bayaan), petunjuk (hudan) dan nasihat (mauizhah) bagi orang-orang muttaqien sebagaimana dijelaskan pada ayat lanjutannya (Lihat: QS. Ali Imraan/ 3: 138).
Dengan mengambil pelajaran dari sebuah perjalanan sejarah, maka kita semua akan menjadi orang-orang bijak dalam menyikapi masa lalu dan optimis menapaki hari ini dan menerawang zaman yang akan datang. Agar kita termasuk orang-orang yang pandai menghargai masa lalu yang baik, juga pintar memanfaatkan masa yang ada sekarang, kiranya sebuah alunan nasihat dari tokoh abad ini, Dr. Musthafa as-Syiba’i (seorang pakar hadits, akademisi dan mujahid asal syiria) layak untuk kita renungkan.
Ia menuturkan:
“Meratapi masa lalu merupakan kesibukan orang-orang malas, sedangkan meremehkan masa lalu berikut kebaikan yang melingkupinya adalah sifat orang-orang dengki dan bodoh.” (As-Syiba’i, Muqaddimah min Rawaa’i Hadhaaratinaa: 1993).
Itu artinya, kita semua tidak dibenarkan menjadi orang yang sekedar memiliki masa lalu, namun tidak memiliki atau kehilangan masa depan. Hendaknya kita menjadi orang-orang yang pandai menjaga dan merawat masa lalu yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Para cerdik pandai mengatakan: “al-muhaafazhatu bil qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah.”
Dengan berkumpulnya kita dalam kesempatan yang berbahagia ini, semoga “Shilaturrahim dan Reuni Akbar” ini dapat menjadi titik tolak (nuqthatul inthilaaq) perjuangan dalam menerpa diri sebagai insan yang memiliki karakteristik pejuang (mujaahid), pemikir (mujtahid) dan bermental pembaharu (mujaddid). Dengan bekal tafaqquh fied dien yang kita terima, semoga kita mampu memelihara nilai-nilai kepesantrenan yang baik dan mampu menjawab berbagai persoalan zaman yang semakin global. Oleh karenannya sangat diharapkan para alumni ini memiliki kesiapan yang mumpuni (isti’aab) dalam hal pemahaman hujjah-hujjah agama (fiqhud daliel atau fiqhul ahkaam), juga piawai dalam menerjemahkan kehidupan yang realistis (fiqhul waaqi’). Hal ini dapat dibaca dalam kitab para ulama dan para aktivis dakwah abad ini, di antaranya Al-Isti’aab fie Hayaatid Da’wah wad Daa’iyah: 1982 oleh Fathi Yakan, Nashir Sulaiman al-‘Umr dalam Fiqhul Waaqi’-nya dan tidak lupa buku-buku da’wah para perintis jam’iyyah yang kita cintai (di antaranya Fiqh Da’wah, Mohammad Natsir yang telah memasuki cetakan ke-14, Mujahid Da’wah, K.H. M. Isa Anshori: 1991, Profil Seorang Muballigh, K.H. M. Rusyad Nurdin: 1988 dan Recik-recik Da’wah, K.H. E. Abdurrahman: 1993).
Dalam hal tantangan ke depan, kini aqidah dan syari’at ummat dipertaruhkan. Sesuai janji Allah dan rasulNya, bahwa dunia tidak akan pernah sepi dari orang-orang yang membela agamanya, mereka mengibarkan kebenaran (zhaahiriena ‘alal haqq) sampai hari kiamat tiba. Oleh karenanya, wasiat da’wah yang pernah di sampaikan Mujaddid besar Muhammad bin ‘Abdil Wahhab at-Tamimi kepada para penuntut ilmu patut menjadi renungan. Menurutnya, “Terkadang musuh-musuh Tauhid itu memiliki banyak ilmu (‘uluumun katsier), beragam pustaka (kutub), berbagai argumentasi (hujjaj) dan ketangkasan bersilat lidah (fashaahah). Maka wajib bagi kalian menghadapi mereka (sebagaimana mereka menghadapi kalian). Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah dan seorang awwam dari ahli tauhid dapat mengalahkan seribu intelektual dari kalangan orang-orang musyrik.” (At-Tamimi, Kasyfus Syubuhaat fiet Tauhied: Tp. tahun)
Yang jelas, tidak ada kata berhenti dalam berjuang, berda’wah dan menuntut ilmu. Dalam bahasa Allaahu yarhamh Pak Natsir: “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut.”
Dari Shilaturrahim Menjadi Shilatul ‘Ilmi dan Shilatul Haraki
Agar shilaturrahim ini lebih bermakna, alangkah tepatnya bila kita semua melakukan rekam jejak dari para tokoh-tokoh pendiri pesantren ini. Ada butir-butir hikmah yang tidak boleh sirna, petuah tarbiyah yang tidak boleh hilang begitu saja. Dengan mendulang nasihat dan manfaat (istifaadah) dari para perintis, kiranya menjadi pewarisan nilai yang sangat mahal harganya. Sekalipun sudah jauh melintasi zaman dan terbenam lama dalam kubangan peradaban, sinar ilmu akan tetap menyala menerangi sepanjang zaman. Dengan segala kerendahan hati (tanpa bermaksud menggurui), berikut ini mari sama-sama kita resapi kembali beberapa pesan moral yang pernah terdengar, nasihat yang selalu terngiang dan pepatah yang senantiasa menambah ‘izzah di kala gundah, menjadi motivasi bagi kita sebagai hamba yang diharapkan selalu merapatkan diri pada barisan mutafaqqihiena fied dien dalam makna yang luas, yaitu barisan orang-orang yang faham dan sadar akan ajaran agamanya baik secara spiritual, intelektual dan sosial, juga termasuk jihaad fie sabielillaah.
Sebagai bakti seorang murid terhadap guru, atau sebagai generasi abang terhadap adik-adiknya, izinkanlah hamba yang lemah ini untuk menghaturkan kembali nasihat-nasihat berupa petuah tarbawi sang perintis dalam riung mumpulung bongkok ngaronyok yang penuh berkah ini.
7 (Tujuh) Pesan Moral Pencari Oase Tafaqquh Fied Dien
Dalam konteks pesantren kita, belum lama rasanya masih terngiang dalam ingatan, ada banyak untaian hikmah yang sering diperdengarkan pada anak-anak santri. Dengan tutur kata yang khash dan gaya yang tidak berlebihan, Allaahu yarhamhumaa Al-Ustadz Sjihabuddin dan Ustadzah Ibu Aminah Dahlan tiada henti dan tiada bosan memberikan wejangannya dengan diawali kata-kata: “Aulaadil udabaa wa banaatil aadibaat …” yang apabila kita artikan: “Anak-anakku (santriwan dan santriwati) yang penuh adab …” Itu menunjukan bahwa akhir dari sebuah proses pendidikan adalah terciptanya adab. Meminjam kata-kata Prof. Dr. Syed Naguib al-Attas: “Al-‘ilmu huwal Adab” yang beliau simpulkan pada Kongres Pendidikan Islam Internasional di Mekkah yang dikutip oleh banyak tokoh pendidikan dunia sampai saat ini.
Adapun di antara kata-kata hikmah yang sempat tercatat dan diabadikan dalam ingatan itu, di antaranya sebagai berikut:
1. Didikan sanes dadakan
Kata-kata ini seringkali disampaikan dalam nasihat mereka berdua untuk menjelaskan bahwa hakikat pendidikan bukanlah sebuah proses dadakan. Ini sejalan dengan akar kata pendidikan itu sendiri (tarbiyah yang diambil dari kata rababa yang melahirkan kata rabb dengan cakupan makna yang luas; mengatur, memelihara dan mengawasi. Juga diambil dari kata rabaa yang artinya tumbuh, bertambah dan berkembang).
2. Ahsanukum ‘amalan, sanes aktsarukum ‘ilman
Nasihat yang sering dipetik dengan merujuk ayat QS. Al-Mulk/ 67: 2 selalu ditanamkan kepada para santri agar giat memperbanyak amal baik, dan ditegaskan pula bahwa Allah ‘azza wa jalla menguji hamba-hambanya siapa di antara mereka yang lebih baik amalnya bukan yang paling banyak ilmunya.
3. Keur naon pinter, ari teu sholeh
Kata-kata ini kerap kali diucapkannya ketika menasihati anak santri yang secara intelektual memiliki kecerdasan yang lebih, namun seiring dengan itu kurang menunjukan akhlaq baik dalam kesehariannya. Maka terlontarlah nasihat ini “Untuk apa pintar kalau tidak shaleh.”
4. Kudu jadi budak bageur, cageur, bener, pinter, tur jalinger
Dalam kondisi stabil, nasihat ini sering disampaikan dalam sebuah liqa’ maftuuh yang isinya bagaimana menjadi santri yang memiliki karakter prima. Bageur berarti shaleh, cageur berarti sehat, bener berarti lurus, pinter berarti pandai dan jalinger berarti kreatif (tentu termasuk di dalamnya beunghar dalam maknanya yang luas).
5. Can jadi kyai, ustadz atawa ustadzah mun masih keneh diuk di bangku pasantren
Sering kali kata-kata ini terucap ketika mengajar di kelas, agar para santri giat belajar dan menuntut ilmu tiada henti selama belajar di pesantren. Dalam nasihatnya, ilmu yang dimiliki akan teruji dan terasa handal apabila sudah ada di lapangan kelak, yaitu masyarakat yang sesungguhnya. Maka terlontarlah sebuah nasihat “Selama masih di bangku pesantren (sepintar apapun) belumlah menjadi kyai, ustadz atau ustadzah dan lain-lain karena belum teruji.”
6. Mun hoyong pinter, kedah ngajar
Nasihat ini sering disampaikannya kepada para santri yang sudah dewasa, terutama tingkat mu’allimien, di mana sesuai dengan nama tingkatannya (mu’allimien) yang berarti pengajar. Menurutnya, apabila ingin jadi murid yang pintar maka harus rajin mengajar.
7. Sagala oge, kumaha ceuk hate
Nasihat yang terakhir ini sering disampaikannya ketika memberikan dorongan pada anak santri yang mulai kurang bergairah dalam belajar. Dengan tegas, mereka menasihati: “Segala sesuatu bagaimana kata hati.” Maksudnya adalah, apabila kata hati semangat, maka akan semangatlah belajarnya. Namun sebaliknya, apabila kata hati kita malas, maka akan malas pula belajarnya. Demikian pula dalam pekerjaan yang lainnya.
Apabila ditelusuri secara seksama, butiran-butiran nasihat tersebut sudah pernah dikemukakan oleh para ulama kita sebelumnya dengan redaksi yang berbeda tentunya. Sebagai contoh wawasan, Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Miftaahu Daaris Sa’aadah dan Al-Fawaa’id. Al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Iqtidhaaul ‘Ilmil ‘Amala dan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Hilyah Thalibul ‘Ilmi. Demikian pula kitab-kitab lainnya, baik yang bersifat ilmu-ilmu umum ataupun yang bersifat ilmu-ilmu agama.
Semoga kita semua teringatkan kembali dan diberi kemampuan menafsirkannya dalam kehidupan.
Kun mustafidan kulla yaumin ziyaadatan … fasbahuu bi buhuuril fawaaid
“Jadilah engkau orang yang pandai mengambil manfaat setiap saat … Maka selamat berenanglah kamu di tengah samudera kemanfaatan.” Allaahumma faqqihnaa fied dien
______
✍ Ditulis kembali dalam rangka turut bersyukur menyongsong Reuni Akbar dan Shilaturrahim 2312 PPI 76 Tarogong Garut Jawa Barat (Penulis, Mu’allimien Angkatan 1990)