MERENUNGI SUNNATUL MUDAAWALAH (Renungan Jum’atan Pertama 2019)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Pergantian tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik merupakan anugerah Allah ‘azza wa jalla. Perubahannya merupakan tanda di antara tanda-tanda kebesaranNya. Siapa yang mengambil kebaikan di setiap waktunya, maka ia berhak mendapatkan keberkahan. Siapa yang mengambil keburukan di dalamnya, maka kebinasaanlah yang ia dapatkan.
Betapa Al-Qur’an sebagai panduan suci banyak berbicara akan hal ini; demi waktu, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, demi waktu malam dan demi waktu siang. Demikian pula, Al-Qur’an pun berbicara tentang akhir kehidupan dunia yang disebut dengan as-saa’ah dan al-qiyaamah.
Seiring dengan perjalanan digulirkannya matahari dan bulan, sejalan pula manusia menemukan perhitungan peredaran keduanya. Munculnya penanggalan qamariyah (berpijak pada bulan) dan syamsiyah (berpijak pada matahari), merupakan bukti bahwa akal yang Allah anugerahkan pada manusia dapat melahirkan berbagai temuannya. Kapan terjadinya gerhana, kapan memulai dan mengakhiri shaum, bagaimana cuaca bisa diprediksi dan lain-lainnya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu bagi manusia. Astronomi, meteorologi dan geofisika adalah salahsatunya.
Sebagai makhluq Allah; benda-benda langit dan bumi, angin, air dan api. Termasuk awan, petir dan ombak di lautan memiliki caranya tersendiri bagaimana mereka bertasbih kepada yang Maha menciptakannya.
Ada kalanya mereka membawakan kita pada suasana yang menyejukkan dan menentramkan, seperti halnya angin sepoi-sepoi yang membawakan jiwa terasa lebih segar. Ketika angin itu berubah menjadi puting beliung, petakalah yang dialami manusia. Ombak indah di tepi pantai nampak indah berkejar-kejaran dan membuat terpesona setiap mata yang menatapnya. Ketika seketika ombak itu berubah menjadi gulungan tsunami, siapa pun tak dapat lari dari terjangan hebat dan amukannya. Ketika mata memandang, alangkah indahnya alam pegunungan dengan semua hiasan bentangan hijau yang mendamaikan jiwa, lalu tiba-tiba berubah menjadi longsoran yang mengerikan, maka seorang pun tak ada yang mampu menahan desakkannya. Semua itu, hanya bisa kembali kepada Allah dan menyadari bahwa semua datangnya dari Allah. Tiada daya dan upaya melainkan milik Allah yang Maha gagah … innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun … laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil qadier …
Sungguh perguliran hari demi hari yang diciptakanNya, dengan segala hiruk pikuk di dalamnya menjadi pengalaman berharga bagi manusia. Al-Qur’an menyebutkannya dengan kalimat tilkal ayyaamu nudaawiluhaa bainan naas yang para ulama sering menyebutnya dengan sunnah mudaawalah, yakni bagaimana Allah putarkan sebuah kondisi menjadi kondisi lainnya. Sekalipun QS. Alu ‘Imran/ 3: 140 ini mengisyaratkan kemenangan perang di lembah Badar dan kekalahan di lembah Uhud, namun hakikatnya memberikan pelajaran agung yang terkandung di dalamnya bagaimana mudahnya bagi Allah dalam menggulirkan hari-hari.
Karenanya, kemenangan dan kekalahan, baik dan buruknya suatu keadaan, jatuh dan bangunnya sebuah peradaban serta keberuntungan dan kesialan tidak ditentukan dengan menduga-duga dan berprasangka buruk (zhann, suu’uz zhann) kepada Pemilik waktu, yaitu Rabbul ‘Aalamien, melainkan menjadi bahan mawas diri (muhaasabah) atas segala kekurangan dan kelalaian, serta keteledoran manusianya (sebagai pengguna waktu) selama ini.
Sekedar untuk mengingatkan diri; betapa kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa, bahkan mushibah demi mushibah yang melanda janganlah menjadikan kita semua menjadi manusia-manusia yang sering “menyalahkan” waktu. Kalabendhu atau kolobendhu yang sudah menjadi keyakinan turun temurun terkait waktu sial dan beruntung, di mana cuaca, angin, bumi dan laut menunjukkan kemarahannya tidaklah semata-mata karena “buruknya” waktu, “menggilanya” cuaca, melainkan ada hubungannya dengan ulah dan tingkah manusia.
Inilah yang diingatkan Allah ‘azza wa jalla dalam hadits qudsi sebagaimana disabdakan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
قال الله تعالى: يؤذيني ابن آدم يسبّ الدّهر وأنا الدّهر أقلّب الليل والنهار”، وفي رواية: “لا تسبّوا الدّهر فإنّ الله هو الدّهر”.
“Berfirman Allah Ta’aala: Anak Adam menyakitiKu dengan mencaci maki waktu (cuaca, iklim atau angin). Padahal Akulah ad-Dahru itu, Akulah yang membalikkan malam dan siang.” Riwayat lain menuturkan: “Janganlah suka mencela waktu, karena sesungguhnya Allah itulah ad-Dahru” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
Imam Al-Baghawi memberikan penjelasannya: “Sesungguhnya (dahulu) orang Arab, apabila terjadi gempa bumi yang membuat mushibah dan keburukan melanda, mereka terbiasa mencela menyalahkan cuaca hingga mencela Pembuatnya. Padahal hakikatnya, Allahlah yang mengarungi segala urusan yang disifatkanNya. Oleh karenanya, (pada akhirnya) mereka pun dilarang membiasakan perbuatan itu.”
Apa pun peristiwa yang menimpa, bagi orang yang beriman semoga menjadi pelajaran berharga dalam meningkatkan renungan berfikir akan kebesaran tanda-tanda alam (tafakkur), keagungan kalamNya (tadabbur), merenungkan akan nikmat yang diberikanNya (tadzakkur), bahan introspeksi diri (muhaasabah) dan bagaimana mencari kiat solusi untuk bisa bersahabat dan menjaga keharmonisan antara Pencipta, manusia dan alam yang diciptakanNya (ta’aamul). Kepada Allah jualah setiap urusan dikembalikan … Fa’tabiruu yaa ulil abshaar
______________
✍ Naskhah ini penulis sampaikan sebagai materi jum’ah pertama Masjid Wadhhah ‘Abdurrahman al-Bahr Pusdiklat Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Setiamekar Tambun Selatan Bekasi Jawa Barat