REVOLUSI SYI’AH; DARI IMÂMAH HINGGA WILÂYATUL FAQÎH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Definisi Imâmah
Menurut bahasa, imâmah berasal dari kata Arab amma, yang menurut Ibnu Manzhur artinya sesuatu yang berada di depan atau ketua. (Lihat: Ibnu Manzhûr, Lisânul ‘Arab, 1990: hlm. 12 dan 26)
Sedangkan menurut istilah, adalah “Kepemimpinan dalam mengurus ummat (baik urusan agama atau pun urusan dunia sekaligus).” (Lihat: Al-Jarjâni, At-Ta’rîfât, tp. tahun: hlm. 35)
Imâmah Menurut Ahlus Sunnah dan Syi’ah
Dalam pandangan Ahlus sunnah, di antaranya adalah: “Imâmah merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah negara sebagai khilafah keNabian untuk mengawal agama dan siasat keduniaan (hirâsatud dîn wa siyâsatud dunyâ).” (Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, tp. tahun: hlm. 5).
Sedangkan kaum Syi’ah berpandangan: “Imâmah merupakan kepemimpinan spriritual atau rohani, kepemimpinan agama dan politik, bagi ummat yang telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12.” (Thabathaba’i, Shi’ite Islam dalam Hamid Fahmi Zarkasyi [editor], Teologi dan Ajaran Syi’ah, 2014: hlm. 39).
Akar Keimamahan dalam Syi’ah
Beberapa pandangan terkait keimamahan dalam Syi’ah dapat diketahui sebagai berikut:
1. Orang pertama yang memahami bahwa imâmah dalam gambaran Syi’ah adalah Ibnu Saba’ yang menebarkan benih kesyi’ahan dengan mengatakan “Annal imâmata hiya wishâyatun minnan Nabiyyi wa mahshûratun bil washiyyi, wa idzâ tawallâha siwâhu yajibul bara’atu minhu watakfîruhu”; Sesungguhnya imamah itu merupakan wasiat Nabi dan dibatasi hanya bagi yang mendapatkan wasiat. Apabila selain itu ada yang memalingkannya maka wajib berlepas diri dan mengkufurkannya.
Dengan demikian, Ibnu Saba’ adalah orang yang pertama kali mempopulerkan wajibnya berimamah kepada ‘Ali dan mengobarkan agar berlepas diri dari musuh-musuhnya, menyingkap siapa pun yang menyelisihinya serta mengkufurkannya. (Lihat: ‘Ali Hasyim Al-Bahrâni, Mukhtashar Kitab Ushûlus Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, tp. tahun: hlm. 77).
2. ‘Ali Kasyif al-Ghitha’ (ulama syi’ah kontemporer) mengatakan : “Imâmah itu merupakan kedudukan Ilahiyyah (manshabun ilâhiyyun) seperti halnya keNabian. Allah lah yang memilih para imam, sebagaimana Allah berkehendak memilih seorang Nabi dan memberikan mukjizat kepada para Nabi sebagaimana teks tertulis yang diturunkan kepadanya. Karena itu, Allah memilihkan imaamah kepada siapa yang ia kehendaki dan memerintahkan NabiNya untuk menyatakan bahwa ‘Ali dan keturunannya adalah imam bagi manusia setelahnya.” (Al-Ghitha, Ashlus Syi’ah wa Ushûluhâ, hlm. 58 dalam ‘Ali Hasyim Al-Bahrâni, Mukhtashar Kitab Ushûlus Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, tp. tahun: hlm. 77).
3. Para sejarawan syi’ah, di antaranya Rasul Ja’fariyan melakukan studi kritik terhadap keterlibatan Ibnu Saba’ (‘Abdullah bin Saba’ al-Yahud) dalam persoalan khilafah ‘Ali. Dengan menukil penelitian Wellhausen dan Friedlander yang menyebutkan bahwa konspirasi yang dinisbatkan kepada Ibnu Saba’ adalah bid’ah yang muncul belakangan. Kietani menambahkan, hal ini merupakan sebuah intrik dengan muatan ideologi di luar jangkauan khayalan bagi komunitas Arab yang patrialkal dan masih bersifat kesukuan pada abad 35 H. (Lihat: Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah 11 – 35 H. [terj.], 2006: hlm. 215).
4. Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam mengucapkan khutbah di Ghadir Khum ketika kembali dari Haji Wada menuju Madinah pada tanggal 18 Dzulhijjah. Latar belakang khutbah tersebut ialah turunnya ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanatNya, Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang kafir.” (QS. Al-Mâidah/ 5: 67).
Ayat tersebut mereka namakan dengan ayat At-Tabliegh, yang turun atas nama ‘Ali sebagai perintah dari Allah agar Nabi tidak ragu-ragu dalam memberikan mandat amanat imaamah kepada ‘Ali dan pengikutnya. Kemudian jadilah bahwa kaum syi’ah paling berhak mewarisi imâmah Nabi dengan landasan normatif ayat tersebut. At-Thûsi termasuk ulama yang membenarkan tafsir itu. (Najafi, Ghader-E Khum, Teheran: A Group of Muslim Brother, hlm. 9 – 19 dalam Hamid Fahmi Zarkasyi [editor], Teologi dan Ajaran Syi’ah, 2014: hlm. 43).
5. Ayat lainnya yang sering dijadikan argumentasi untuk mendukung kebenaran imâmah, antara lain :Ayat Al-Walâyah (Al-Mâidah/5: 55);
Ayat Al-Mubâhalah (Âli-Imran/3: 61);
Ayat Iktimâluddin (Al-Maidah/5: 3 dan Al-Ma’ârij/70: 1);
Ayat Al-’Ishmah (Al-Baqarah/2: 124);
Ayat At-Tathhîr (Al-Ahzâb/ 33: 33).
6. Pendapat yang lain mengatakan, barangsiapa tidak mempercayai imâmah dianggap kafir, bahkan lebih buruk daripada mengingkari keNabian. Hal ini dikarenakan masih memungkinkannya sebuah zaman tanpa adanya seorang Nabi, tidak seperti halnya imam yang selalu ada di setiap zaman. Karena imâmah merupakan petunjuk yang lebih umum (luthf’ âm), sedangkan keNabian hanya petunjuk khusus (luthf khâs). (Ibnul Muthahhir Al-Hilli, Al-Alfayni hlm. 3 dalam ‘Ali Hasyim Al-Bahrâni, Mukhtashar Kitab Ushûlus Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, tp. tahun: hlm. 79)
Kedudukkan Imâmah dalam Syi’ah
Pandangan pokok yang populer di kalangan mereka adalah:
1. Masalah imâmah merupakan dasar utama yang asasi dan semata-mata anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkannya menyampaikan kepada ummat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiyah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menentukan ‘Ali dan mengangkatnya sebagai pemimpin ummat manusia setelah beliau. (Ali Kasyif al-Ghitha, Ashlus Syi’ah wa Ushûluhâ, dalam Hamid Fahmi Zarkasyi [editor], Teologi dan Ajaran Syi’ah, 2014: hlm. 39).
2. Imâmah merupakan keyakinan pokok dalam Syi’ah; Dikatakan seseorang itu Syi’ie hendaknya ia mengakui rukun imâmah, dan dikatakan tidak sempurna aqidah seseorang melainkan mengimaninya. (Lihat: Isma’il Shadiq Al-’Adawi, Nazharatun fî Fikris Syi’ah, 2006: hlm. 71).
Doktrin Teologis-Ideologis Kewalian ‘Ali
Al-Bahrani (Pengarang Al-Burhân Fie Tafsîril Qur’ân) menafsirkan QS. Al-Maidah/ 5: 55 yang berbunyi: “Sesungguhnya penolong/ pemimimpinmu itu Allah, RasulNya, dan mereka yang beriman yaitu yang mendirikan shalat dan membayar zakat, serta mereka orang yang ruku’ (tunduk patuh).” Ayat ini diyakini Syi’ah sebagai pernyataan kepemimpinan ‘Ali sesudah Nabi. Apalagi didahului oleh sebuah riwayat versi Syi’ah yang menyatakan latar belakang turunnya ayat ini, yaitu seorang pengemis yang datang ke mesjid melihat ‘Ali shalat. Ia meminta kepadanya, dan pada saat shalat itulah ‘Ali memberikan sebentuk cincin kepada si pengemis itu. Hal ini dijelaskan oleh ‘Ali Ahmad As-Salus dalam buku Ensiklopedi Sunnah–Syi’ah sebagai berikut: “Beberapa orang yahudi yang masuk Islam menemui Nabi dan bertanya, “Dulu Musa menunjuk Yusya’ bin Nun, lalu siapakah orang yang memimpin kami setelah engkau wafat?” Kemudian turunlah ayat itu. Maka Nabi bersama orang-orang tadi berangkat menuju ke masjid menemui pengemis di sana. Rasul bertanya kepadanya: “Apa ada yang memberimu sesuatu?” Ia menjawab: “ya, cincin ini yang diberikan kepadaku.” Siapa yang memberimu?” tanya Nabi lagi. “Orang yang sedang shalat”. Dalam keadaan bagaimana dia memberimu? “Ketika sedang ruku” jawabnya lagi. Maka Nabi bersama orang-orang tadi bertakbir, kemudian Nabi bersabda: “Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinmu setelah aku meninggal.” Mereka pun menjawab serentak: “kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Muhammad shalallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi kami dan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kami.” (Lihat: ‘Ali Ahmad Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah, 1997: hlm. 15-16).
‘Ali dan Kedudukkan Imâmah
Dikatakan Ibnu Hazm al-Andalus: “Siapa yang setuju dengan anggapan Syi’ah bahwa ‘Ali radhiyallâhu ‘anh adalah paling mulianya manusia sesudah Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dan yang paling berhak atas kedudukkan imâmah (kepemimpinan), demikian juga anak-anaknya, maka dia adalah seorang Syi’ah, sekalipun dia berselisih pendapat dengan kaum Syi’ah dalam masalah selain itu. Tapi jika ia berselisih pendapat dengan mereka dalam masalah tersebut (imâmah), maka ia bukanlah orang Syi’ah.” (Ibnu Hazm, Al-Fishâl fiel Milal wal Ahwâ wan Nihal dalam Mahmud Basuni Faudah, At-Tafsîr wa Manâhijuh [terj.], 1977 : hlm. 119)
Para ulama Syi’ah berpendapat bahwa imâmah merupakan doktrin primer dalam teologi dan ideologi. Oleh karenanya, bagi syi’ah imamah itu merupakan prinsip dalam doktrin agama sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab Syi’ah, di antaranya Al-Kulayni yang mengatakan:
1. “Amal setiap muslim akan sia-sia jika menolak wilayah atau imamah ahlul bait, mesikupun ia bersujud hingga patah tulang lehernya tak akan pernah diterima Allah segala amal perbuatannya kecuali imamah Ali dan keturunannya.” (Al-Kulayni, Al-kâfi_ juz VIII, hlm. 128 dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 53).
2. Dalam riwayat yang lain, ia menambahkan : “… Bahwa meskipun ia bersyahadat dengan menyatakan tiada Tuhan selain Allah, melaksanakan shalat dan berpuasa, sama saja dengan orang musyrik.” (Al-Kulayni, Al-kâfi juz II, hlm. 398 dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 53).
3. Dalam riwayat yang lain, ia mengatakan: “… Siapa yang mengenal kami (imamah ahlul bait) maka ia beriman, bagi yang ingkar maka ia adalah kafir.” (Al-Kulayni, Al-kâfi juz I, hlm. 187 dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 53).
4. Dikatakan pula: “Wilayah ‘Ali sebenarnya telah termaktub dalam semua shuhuf para Nabi, dan sekali kali Allah tidak akan mengutus seorang Rasul pun, melainkan lantaran nubuwwat Muhammad dan washiyat ‘Ali.” (Al-Kulayni, Al-kâfi juz I , hlm. 437 dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 53).
5. Murtadha Muthahhari (Cendikiawan Syi’ah kontemporer) mengutip hadits tsaqalain yang berbunyi: “Aku tinggalkan pada anda dua hal yang berbobot [tsaqalyn]; kitab Allah [Al-Qur’an] dan ‘itrati [keturunanku]. Selama anda mentaatinya, anda tidak akan pernah tersesat, keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga yang dua itu menjumpaiku di al-haudz.” (Muthahhari, Imamate and khilafat dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 53).
Dari Imâmah Menuju Khilâfah Syi’ah
Pasca wafatnya Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam, para shahabat radhiyallâhu ‘anhum menghadapi persoalan yang sangat penting, yaitu suksesi politik yang kemudian mengakibatkan situasi dan kondisi sosial ummat Islam sempat tegang. Dengan adanya pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah yang kemudian Abu Bakar radhiyallâhu ‘anh terpilih secara aklamasi di mana sebelumnya sempat terjadi situasi kritis; kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah radhiyallâhu ‘anh, kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar radhiyallâhu ‘anh. Sedangkan di pihak lain (para penulis Syi’ah) meyakini bahwa sekelompok orang menghendaki ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anh, Di samping menantu dan kerabat Nabi, juga mereka meyakini bahwa Nabi telah menunjuk ‘Ali sebagai pengganti dirinya. (Lihat: ‘Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997: hlm. 45-46)
Disusul oleh kekhalifahan berikutnya yaitu Umar bin Khattab radhiyallâhu ‘anh, yang dalam penilaian Philip K. Hitti dalam bukunya The Arabs : A South History dinilai sebagai memberikan gambaran yang jelas kepemimpinan sesudah Nabi yang pernah dihasilkan oleh muslim dari negri Arab. Hal ini berbeda dengan dua kekhalifahan berikutnya Utsman dan ‘Ali radhiyallâhu ‘anhumâ mengalami problem dalam menjalani pemerintahan yang ia sebut sebagai dynastic wars. (Lihat: Philip K. Hitti, The Arabs : South of History, hlm. 72 – 73 dalam Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah; Dari Imamah sampai Mut’ah, 2008: hlm. 69. Lihat pula Philip K. Hitti, History of The Arabs, 2006: hlm. 217 – 218).
Banyak kitab lain yang menjelaskan tentang perjalanan kekhilafahan ini, di antaranya: Târikhul Khulafa’ oleh As-Suyuthi, Al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsir, Tahdzîb Târikh at-Thabari Târikh al-Umam wal Mulûk oleh Shalih Kharaysât, Al-’Awâshim minal Qawâshim fî Tahqîq Mawâqifish Shahâbah ba’da Wafâtin Nabiyyi Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam oleh Abi Bakar Ibnul ‘Arabi, Itmâmul Wafâ fî Sîratil Khulafâ oleh Muhammad al-Khudhari, Al-Khilâfah fil Hadhârah al-Islâmiyyah oleh Ahmad Ramadhan Ahmad, Al-Khulafâur Râsyidun oleh Abdul Wahhab An-Najar dan Sejarah Daulat Khulafâur Rasyidin oleh Joesoef Sou’yb.
Dinasti-dinasti Pendukung Kekuasaan Politik Syi’ah
Membaca literasi yang ditulis berbagai sumber; Sejarah Daulat ‘Abbasiah 2 oleh Joesoef Sou’yb, Dinasti ‘Abbasiah oleh Yusuf al-Isy, Gerakan-Gerakan yang Mengguncang Islam oleh Abdullah Annan, Sejarah Peradaban Islam oleh Badri Yatim, Sejarah Politik Islam oleh Didin Saefuddin Buchari, Epistemologi Antagonisme Syi’ah oleh Mohammad Baharun, History of The Arabs oleh Philip K. Hitti, dan Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam oleh M. Abdul Karim. Ditemukan bahwa imperium politik Syi’ah memiliki akar pendukung dinasti politik sebagai berikut:
1. Dinasti Idrisiyyah; Didirikan oleh Muhammad bin Idris (cicit Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib) di Maroko yang ikut memberontak terhadap ‘Abbasiyyah di Hijaz (tahun 169 H./786 M.). Mendapat dukungan dari kaum Syurafa’ (kalangan terhormat keturunan cucu Nabi yaitu Hasan dan Husein)
2. Dinasti Fâthimiyyah; Didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi (297 H./ 909 M.) dan di akhiri Al-’Adid (555 – 567 H./ 1160 – 1171 M.). Mereka disebut ‘Ubaydiyyûn atau Fathimiyyûn yang menganut Syi’ah Isma’illiyyah di kawasan Afrika, Mesir dan Syria.
3. Dinasti Zaidiyyah; Didirikan oleh Zaid bin ‘Ali (740 H), cucu Husein yang secara terbuka memberontak melawan Umayyah sampai wafatnya. Kelompok ini dikenal moderat dan diidentikkan sebagai sekte Syi’ah yang paling dekat dengan Sunni, di mana mereka masih melegitimasi kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Adapun perkembangannya bertahan di negeri Yaman.
4. Dinasti Buwaihiyyah; Didirikan oleh tiga bersaudara; Ahmad, ‘Ali dan Hasan. Mereka adalah putra Abu Syuja’ Buwaih dari wilayah Dailam, mengembangkan faham syi’ah di Baghdad tahun 320-447 H./ 932 – 1055 M.
5. Dinasti Shafawiyyah; Didirikan oleh Shafiyuddin (1252 – 1334) yang berawal dari gerakan thariqah di Ardabil Azerbaijan. Adapun yang memprakarsai berdirinya kerajaan Shafawi ini adalah Syah Ismail I, di mana dirinya setelah menaklukan Tabriz dan wilayah Iran lainnya mendeklarasikan bahwa Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah sebagai agama resmi.
6. Dinasti Qajar; Didirikan oleh Qajar Noyan, putra Sertaq Noyan yang nenek moyangnya merupakan bangsa Turki. Mereka menjalani hidup secara nomaden selama abad ke- 14 dengan memasuki Persia, Iraq, dan Timur Tengah lainnya. Pada masa Aga Muhammad Khan (1797), model kepemimpinannya berdasarkan kepada adat istiadat kesukuan dengan melibatkan secara langsung pemimpin negara. Setelah berganti kekuasaan pada masa Fath ‘Ali Syah (1797 – 1834), di samping mengalami perkembangan dan perubahan, juga mendapatkan berbagai perlawanan eksternal (ancaman industrialisasi Eropa) dan perlawanan internal (munculnya gerakan Messianisme Bâbiyyah atau Bahâiyyah).
Dari Imâmah ke Wilâyatul Faqîh
Khomeini (yang dikenal dengan Ayatullâh al-’Uzhma Rûhullah Al-Musawi Khomeini) berkata : “Di antara keharusan faham kami; para imam kami memiliki maqam yang tidak bisa dicapai Malaikat yang didekatkan maupun Nabi yang diutus.” (Lihat: Al-Hukûmah al-Islâmiyyah, hlm. 5).
Dengan ungkapan ini, pasca suksesnya revolusi Iran menumbangkan Reza Pahlevi, Khomeini dengan gelarnya Al-Faqîh al-Akbar (Faqih terbesar), Mursyiduts Tsaurah (Pembimbing Revolusi) atau Qâid (Pemimpin) menghidupkan kembali teori Ijtihad yang pernah ada dalam sejarah syi’ah, yaitu kewalian seorang Faqih. Artinya, Imam Al-Mahdi yang tidak terlihat (anak kecil yang masuk dalam terowongan) telah menyerahkan kekuasaan kepada seorang Faqih yang memiliki kemampuan fiqh tingkat tinggi, yang mampu melaksanakan tugas dan peran seorang imam ma’shum. Oleh karenanya, sang Faqih memimpin ummat dan memiliki segala wewenang imam ma’shum, termasuk kema’shuman itu sendiri, ilham dari Allah, dan menduduki posisi lebih tinggi dari kedudukan nubuwwah karena bagi mereka nubuwwah berakhir pada masa tertentu, sementara imam ma’shum terus berlaku hingga saat ini. (Lihat: Raghib As-Sirjani, As-Syi’ah Nidhâl am Dhalâl [terj.], 2014: hlm. 127. Lihat pula Khalid bin Abdul Muhsin At-Tuwaijiri, Wilâyatul Faqîh wa Tathawwaruhâ, 1431).
Nashihat Ex Ulama Syi’ah untuk Kaum Syi’ah
Ada banyak kritik yang cukup serius, pandangan tajam yang menghentakkan. Sejumlah tokoh yang dulunya turut serta mengawal revolusi, kini berbalik melakukan perlawanan, di antaranya:
1. Berkata Musa Al-Musawi: “Setiap kali saya memperhatikan sejarah pertikaian antara syi’ah dan tasyayyu’, tergambarlah di depan saya tiga masa yang penuh pertikaian: Pertama, Munculnya pertentangan ideologis setelah peristiwa Al-Ghaibah al-Kubra. Kedua, Munculnya pemerintah Shafawiyyah pada tahun 907 H. dan berdirinya negara Syi’ah di Iran. Ketiga, Masa pertikaian yang kita saksikan dewasa ini antara pemikiran syi’ah modern dan tasyayyu’ yang telah melanda masyarakat syi’ah dan membawa akibat yang menyedihkan dan mengkhawatirkan sehingga bumi dan langit pun tak sanggup memikulnya.” (Al-Musawi, As-Syi’ah wat Tashhih; As-Shirâ bainas Syi’ah wat Tasyayyu’[terj.], 1993: hlm. 13-14)
2. Berkata Sayyid Husain al-Musawi: “Tidak diragukan (keterlibatan ‘Abdullah bin Saba’) adalah pernyataan yang jelas. Ketika pernyataan ini tersebar (maka guru kami Sayyid Muhammad Ali Kasyif al-Ghitha) berkata: sesungguhnya kami mengatakan hal itu (cerita Abdullah bin Saba’ fiktif) adalah sebagai taqiyyah.” (Husain Al-Musawi, Lillâhi Tsumma Lit Târîkh [terj.], 2002: hlm.11-12).
3. Berkata Mullah Ahmad Kasravi (Guru Besar Universitas Teheran): “Sekiranya faham syi’ah merupakan jalan petunjuk dan bimbingan bagi ummat manusia, maka kehadiran para tokoh tersebut patut disyukuri dan berhak mendapatkan pujian. Namun faham syi’ah adalah jalan kesesatan untuk membelokkan ummat manusia dari kebenaran. Karena itu, tidak ada yang patut diberikan kepada mereka selain cercaan dan hinaan.” (Ahmad Kasravi, At-Tasyayyu was Syi’ah [terj.], 2014)
Renungan Akhir
Ada Banyak pengkhianatan Syi’ah dan pengaruhnya terhadap kekalahan ummat Islam; mulai dari penodaan terhadap ahlul bait, caci maki terhadap para shahabat ridhwânullâh ‘alaihim, pengkhianatan pada masa ‘Abbasiyah dan hancurnya Baghdad oleh Tartar, dicurinya Hajar Aswad di zaman Qaramithah, upaya pembunuhan Shalahudin Al-Ayyubi, persekongkolan Syi’ah-Nashrani dalam menghancurkan Daulah Saljuk, persekongkolan Syi’ah-Itsna Asyariyah, Yahudi dan para pengikut Nushairiyyah yang membantai ummat Islam di negeri Syam, serta pengkhianatan Syi’ah di negara-negara Arab modern (menuntut penggabungan Bahrain, dan sebagian pulau Kuwait, terjadinya perlawanan kaum Syi’ah terhadap pemerintahan Saudi di daerah bagian Timur dengan revolusi Al-Qathif dan huru hara Mekkah, upaya penculikan ulama-ulama Ahlus Sunnah di Yaman, mencita-citakan revolusi Iraq dengan alasan tiga kota suci; Najaf, Karbala dan Kazhimiyyah. Tidak kalah pentingnya di bumi tercinta Indonesia, di mana pendekatan-pendekatan kesejarahan eksistensi Syi’ah kini sedang marak dilakukan dengan membuat lembaga-lembaga sejarah dan peradaban dengan tujuan untuk meyakinkan bahwa Syi’ah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah tanah air. Apabila dicermati dan direnungkan, kini ummat Islam (khususnya Ahlus Sunnah atau Sunni) tengah dihadapkan dengan kekuatan imperium Romawi modern dengan liberalisasi Baratnya dan imperium Persia dengan gerakan Internasional Syi’ahnya atau Revolusi Khomeini Iran.
Sumber-sumber lain yang dapat dirujuk (baik ulama sunni atau pun tokoh syi’ah), di antaranya: ‘Imad Ali Abdus Sami’, Khiyânatus Syi’ah wa Atsaruhâ fie Hazâimil Ummah al-Islâmiyyah: 2006, Adam bin Abdillah Al-Hilâli, Nashâih Ghâliyah: 1998, Ahmad Al-Katib, Tathawwarul Fikris Siyâsi as-Syi’i minas Syûra ilâ Wilâyatil Faqih: 2005, Muhammad Al-Bandari, At-Tasyayyu’ Baina Mafhumil Aimmah wal Mafhumil Fârisi: 1988, Walid Al-A’zhami, Al-Khumainiyyah Waritsatul Harakatil Hâqidah wal Afkâril Fâsidah: 1998, Abdul Mun’im An-Namr, Al-Muammarât ‘alal Ka’bah minal Qarâmithah ilal Khumaini Târikh wa Wasâiq: 1988, Abu Mus’ab As-suri, Ahlus Sunnah fis Syâm fî Muwâjahatin Nushairiyyah was Shalibihiyyah wal Yahûd: 2013, Abdul Husein Mahdi Al-’Asykari, Al-’Alawiyyun auw An-Nushairiyyah: 1980, Muhibbuddin Al-Khathib, Al-Khuthûthul ‘Arîdhah lil Usus allatî Qâma ‘Alaihâ Dînus-Syi’ah al-Imâmiyah al-Itsna Asyariyyah: 1418 dan A. Rahman Zainuddin, M. Hamdan Basyar [editor], Azyumardi Azra [pengantar], Jalaluddin Rakhmat [apendiks], Syi’ah dan Politik di Indonesia Sebuah Penelitian, oleh PPW-LIPI dan Mizan Pustaka).
____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.