Sabtu, Januari 18MAU INSTITUTE
Shadow

TAQABBALALLÂHU MINNÂ WA MINKUM (Ungkapan Terdahsyat Dalam Suasana Lebaran)

TAQABBALALLÂHU MINNÂ WA MINKUM (Ungkapan Terdahsyat Dalam Suasana Lebaran)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, di mana penduduknya (waktu itu) memiliki dua tradisi hari raya (yang biasa mereka rayakan), di dalamnya mereka bermain-main dengan gembira, maka beliau bersabda: “Sungguh Allah ‘azza wa jalla telah mengganti untuk kalian dengan hari raya yang lebih baik dari dua hari raya itu, yakni hari raya adhha dan hari raya fithri.” (HR. Abu Dâwud dan an-Nasâ’i dari shahabat Anas radhiyallaahu ‘anh dalam Bulûghul Marâm, hadits no. 482)

‘Iedul Fithri Tiba

Setiap orang yang mengaku beragama dan memiliki peradaban, biasanya mempunyai hari yang diagungkan atau hari raya dengan masing-masing keragaman ritualnya. Di hari itu pemeluknya merayakan sesuatu yang mereka anggap penting dan sakral.
Biasanya mereka melakukan ritual-ritual tertentu dan bergembira pada hari raya tersebut.

Begitu pula dengan bangsa jahiliyah dulu, sebelum Islam datang mereka telah memiliki hari raya yang biasa mereka rayakan setiap tahunnya.

Penduduk Yatsrib (dulu lathrifa: lembah subur) yang dikenal Madinah hari ini misalnya, mereka memiliki dua hari raya yang biasa mereka rayakan, yaitu hari nairuz dan hari mahrajan. Di dua hari itu para penduduk Yatsrib bergembira dan bersuka cita. (Lihat: Bulûghul Marâm, bab Shalat ‘led)

Ketika Rasûlullâh hijrah ke sana dan mengetahui hal itu, maka beliau memberikan kabar kepada para shahabat bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengganti semua hari raya yang selama ini mereka biasa rayakan dengan dua hari raya yang lain, yakni ‘ledul Fithri dan ‘ledul Adhha.

Dua hari raya itu dikatakan lebih baik, sebagaimana dikatakan lbrahim Al-Mishry bahwa berhari raya dalam Islam mempunyai arti yang istimewa, tidaklah cukup dengan bersuka ria saja seperti halnya dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Berhari raya dalam Islam mengandung arti yang sakral, yakni bersyukur dan bergembira dikarenakan telah selesainya tugas shaum dan amal-amal lainnya selama bulan ramadhan.

Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (shaum bulan ramadhan), lalu mengagungkan Allah atas petunjuk yang telah dianugerahkanNya kepadamu, dan semoga kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah/ 2: 185)

Mengenai ayat tersebut, para ahli tafsir menjelaskan bahwa tugas kaum Muslimin ada tiga, yaitu:

Pertama; Mencukupkan bilangan ramadhan, artinya shaum dan ibadah lainnya di bulan ramadhan harus dilaksanakan selama sebulan penuh, tidak boleh setengah-setengah.

Kalau di awal ramadhan kita melaksanakan shaum, rajin tilawah, shalat wajib dan tarawih selalu dilaksanakan berjama’ah di Masjid, menjaga hawa nafsu, selalu berinfaq, maka hal itu dilanjutkan hingga akhir ramadhan, kemudian dipertahankan pada bulan Syawwal dan bulan-bulan berikutnya.

Kedua; Mengagungkan Allah sebagai manifestasi dari pengakuan kita akan kebesaranNya.

Ketiga; Mensyukuri nikmat Allah ‘azza wa jalla, terutama karena diberikannya kesempatan kepada kita untuk menyelesaikan ibadah di bulan ramadhan dan mengizinkan kita bisa merasakan kenikmatan memasuki hari raya ‘iedul fithri.

Poin kedua dan ketiga, kita manifestasikan dengan mengucapkan takbir dan tahmid pada hari raya ‘iedul fithri dan ‘iedul adhha:

Allâhu Akbar … Allâhu Akbar … Lâ ilâha illâ Allâh … Wallâhu Akbar … Allâhu Akbar … Wa Lillâhilhamd

Kegembiraan di Hari ‘ledul Fithri

Sudah sepantasnya, kaum Muslimin bergembira di hari raya ‘iedul fithri, karena pada hari itu kaum Muslimin mendapatkan dua kenikmatan secara bersamaan, yakni kenikmatn lahir (zhâhiriyyah) dan kenikmatan bathin (rûhiyyah).

Kenikmatan zhahiriyyah adalah efek ibadah shaum dalam meningkatkan ketahanan fisik, kemantapan jiwa, kesucian moral yang membentuk watak dan keperibadian mereka menjadi seorang insan muttaqîn (yakni manusia bertaqwa).

Dengan latihan mengendalikan hawa nafsu selama sebulan penuh, tertanamlah dalam jiwa mereka sikap shabar, kemauan yang kuat, keseimbangan, disiplin, daya tahan dan daya juang serta sifat-sitat utama lainnya yang kesemuanya itu adalah motor untuk berbuat baik dan perisai dari berbuat jahat. Dengan demikian, insan bertaqwa akan merasa tenang dan tentram, dada menjadi lapang dan hati nurani menjadi suci.

Sedanglan kenikmatan ruhiyyah, mengandung makna bahwa dengan melaksanakan shaum ramadhan setiap mukmin telah memiliki simpanan (investasi) di sisi Allah ‘azza wa jalla yang akan dinikmati di akhirat kelak, di mana (di hari itu) tidak ada yang dapat memberi pertolongan kecuali amal ibadah yang telah dilakukan seorang mukmin ketika di dunianya dahulu. Oleh karenanya, setiap orang yang sudah merasa menabung untuk akhiratnya akan merasa optimis dalam menghadapi hari yang akan datang kemudian. Ia semakin rela berkorban dan berjuang di jalanNya dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya. (Lihat: Mahmud Syaltut dalam Yunan Nasution, Bunga Rampai Ajaran Islam 7/ 186)

Minal ‘Âidin Wal Fâizîn

Di hari raya ‘iedul fithri, ada satu kebiasaan yang dilakukan kaum Muslimin (khususnya di tanah Melayu), di mana kebiasaan ini sudah sangat memasyarakat dan berurat akar. Yakni mengucapkan kalimat minal ‘aidîn wal faizîn ketika bertemu atau menyapa dengan orang lain di hari raya ‘iedul fithri.

Tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut, mungkin kalimat ini dimaksudkan untuk meminta maaf, dan biasanya disertai dengan paket pengucapan “mohon maaf lahir dan bathin.”

Sepintas hal itu tidak ada masalah dan isi kalimatnya memang baik, tapi
apakah kaum Muslimin lupa bahwa ada atsar para shahabat ridhwânullâh ‘alaihim ajma’în sebagai generasi terbaik ummat yang telah banyak memberikan keteladanan, termasuk ucapan dalam suasana hari raya.

Dalam hal ini, shahabat Jubair bin Nufair radhiyallâhu ‘anh menuturkan: “Adalah para shahabat Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam, apabila bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallâhu minnâ wa minkum; Semoga Allah ‘azza wa jalla menerima amal ibadah kami dan kalian.” (Lihat: Fathul Bâri 2/ 446)

Dengan demikian, sudahlah tentu, kalaulah ada atsar shahabat yang lebih baik dan jelas mencontohkan demikian, mengapa masih memilih kata-kata yang lain. Wallâhu a’lam bis shawwâb
_______________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!