SYAWWALAN ANTARA ADAT DAN SYARI’AT (Menjunjung Sunnah di Tengah Kearifan Lokal)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Dalam tradisi Sunda ada istilah “hahampuraan” atau “silih hapunten”, di mana setiap lepas menunaikan ibadah shaum ramadhan yang ditutup dengan lebaran, kaum Muslimin saling meminta maaf satu sama lain. Tentu saja hal serupa terjadi pula di tempat-tempat lain di pelosok Nusantara ini.
Negeri elok zamrud khatulistiwa, tidak sekadar menyimpan keragaman hayati, melainkan populis budhaya yang bhineka dan berbagai kearifan lokal (local wisdom) yang banyak jumlahnya.
Sebelum masuk ramadhan, diawali dengan “kuramasan” (berkeramas) dan “rantangan” (saling mengirim makanan khas dengan tentengan rantang). Lalu diakhiri dengan lebaran yang diramaikan dengan makanan khas “kupat” (ketupat, katupek). Bukan sekedar nama, namun memiliki simbol-simbol makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
Ketupat Lebaran dalam Lintasan Adat Istiadat
Masyarakat Jawa percaya bahwa Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat. Kata “ketupat” atau “kupat” dalam bahasa Sunda mengandung arti “ngaku lepat”, yakni “mengakui kesalahan.” Dengan makan ketupat bersama-sama diharapkan saling mengakui kesalahan dan saling memaafkan. Adapun bungkus ketupat, terbuat dari janur yang melambangkan penolak bala. “Janur” artinya sejatine nur (cahaya) yang menunjukkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadhan. Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Dengan makan ketupat yang diiringi rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia. Putihnya ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Adapun lauk pauk (opor ayam atau lainnya) dengan menggunakan santan sebagai salah satu bahannya, mempunyai makna “pangapunten” alias memohon maaf juga, seperti halnya tertuang pada pantun berikut ini:
“Mangan kupat nganggo santen …”
“Menawi lepat, nyuwun pangapunten …”
(Artinya: Makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan).
Atau ungkapan permohonan lain yang menuturkan:
“Akang, euceu … Nyanggakeun samudaya kalepatan” (Artinya: Pakde, bukde … Aku serahkan kesalahan ini kepadamu).
Maka akan dijawab: “Ngkang, ceuceu nampi saneskanten kalepatannana” (Artinya: Pakde, bukde sudah ikhlas menerima kesalahan kalian semua)
Sampai di situ walau pun kurang tepat, tradisi ini bisa dijadikan pelajaran, bahkan dalam konteks hukum bisa jadi ‘urfi yang bisa dimaklumi dan pijakan pembenaran bahwa tradisi ini mengandung mashlahat hingga berlaku hukum Al-‘Âdat muhakkamat, yakni adat kebiasaan bisa jadi hukum. Namun, akan berbeda ceritanya apabila “keyakinan” yang melandasi perbuatan itu dilakukan karena dorongan kesyirikan yang penuh mistik dan klenik semisal meyakini “pasang kupat” dan lain-lainnya sebagai jimat penangkal bala yang digantungkan di depan pintu rumah atau tempat lainnya sebagai sesajen, maka yang demikian sudah masuk dalam ajaran nativisme yang dilarang dan memasuki zona yang mengandung banyak kemadharatan.
Agar Syari’at Tegak di Tengah-tengah Adat
Sama halnya dengan hari raya, Allah ‘azza wa jalla senantiasa membimbing manusia melalui rasulNya. Karenanya, Kitâbullâh sebagai sebaik-baiknya ucapan (ashdaqul kalâm, ashdaqul hadîts) dan Sunnah Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai sebaik-baiknya petunjuk (khairul hadyi) merupakan pedoman terbaik dalam menata kehidupan, khususnya kehidupan manusia sesama manusia dan manusia dengan Rabbnya. Tidak terkecuali dalam masalah lebaran dan pasca lebaran, yaitu dengan menjalankan ibadah sunnat berupa shaum enam hari di bulan Syawwal.
Shaum enam hari di bulan Syawwal, tidak diragukan lagi kesunnahannya. Hal ini bersandar pada hadits Rasûlullâh shalallâhu ‘alahi wa sallam riwayat Al-Jamâ’ah dan Imam Muslim dari shahabat Abu Ayyub al-Anshâri radhiyallâhu ‘anh yang menyebutkan:“Siapa yangmenunaikan shaum ramadhan, lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawwal, kedudukkannya laksana shaum satu tahun lamanya.”
Dalam Al-Ilmâm Fie Adâbin wa Ahkâmis Shiyâm dijelaskan: “Pengertian tsumma atba’ahu (lalu diikuti), meliputi dua makna; berturut-turut pelaksanaannya (mutatâba’ah) dan berpisah atau berselang pelaksanaannya (mutafarraqah, munfashalah), tentu saja selama tidak keluar dari bulan Syawwal. Keduanya boleh dilakukan, satu sama lain tidak mengungguli dalam hal keutamaannya.” (Lihat: Al-Ilmâm, Samir bin Amir az-Zuhairi, hlm. 51).
Sekalipun Imam Ahmad dan An-Nasâ’i rahimahullâhu ‘anhumâ melemahkan riwayat tersebut, namun keduanya tidak menyebutkan sebab lemahnya (ghair mubayyanis sabab). Sementara Ibnu Sa’ad dan Ibnu ‘Ady rahimahullâhu ‘anhumâ menganggap kuat râwi yang dilemahkan itu (Sa’ad bin Sa’id bin Qais). Bahkan Imam Muslim memasukkannya dalam kumpulan hadits-hadits shahihnya, sedangkan Imam Abu Dâwud tidak berkomentar. Sementara Imam Mâlik dan Abu Hanîfah hanya “khawatir” orang-orang menganggapnya menjadi perkara wajib. (Lihat: Wawan Shafwan Shalehuddin, Risalah Shaum; Sunnah-sunnah dan Bid’ah-bid’ahnya, hlm. 132-134).
Oleh karenanya, menunaikan shaum sunnah enam hari di bulan Syawwal merupakan anjuran, mengingat keutamaannya yang begitu besar.
Adapun anggapan adanya “lebaran kedua” setelah menunaikan shaum enam hari di bulan Syawwal dengan segala tradisi yang mengiringinya bukanlah ajaran sunnah nabawiyyah.
Ternyata, tradisi serupa tidak hanya terjadi di Nusantara saja, melainkan di negeri-negeri Muslim lainnya pun ada. Syaikh Muhammad ‘Abdus Salâm Khadhr as-Syâkiri menuturkan: “Sebahagian masyarakat Arab ada yang menjadikan hari setelah selesainya shaum Syawwal sebagai hari raya kedua dengan sebutan “iedul abrâr” (artinya: hari raya penuh kebaikan). Mereka berkumpul di mesjid Husain atau mesjid Zainab, bercampur antara pria dan wanita sambil bersalaman dan saling mengucapkan selamat dengan ungkapan-ungkapan jahiliyyah (ucapan selamat di luar ucapan syar’i). Setelah itu, mereka menuju hidangan yang sudah disiapkan berupa makan besar atau sekedar makanan ringan dicampur susu.” (Lihat: As-Syâkiri, As-Sunan wal Mubtada’ât, hlm. 162-163).
Maksud hati ingin memaksimalkan amalan, namun dihiasi sikap berlebihan dengan berbagai “amalan tambahan.” (al-ghuluw fied dîn). Alih-alih mendapatkan kesempurnaan ibadah yang diinginkan, yang terjadi malahan ajaran agama menjadi berantakkan. Wallâhul musta’aan
_____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.