MENGAPA KITA TIDAK UNGGUL? (Muhâsabah Akan Lemahnya Kita dan Ummat Kita)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Semua kita tentu pernah baca, bagaimana dialog inspiratif antara Syaikh Muhammad Abduh (ulama pembaharu di Mesir 1849 – 1905) dengan seorang filosof Prancis Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) terkait dengan siapa yang lebih unggul dan lebih maju, dunia Islamkah atau dunia Barat? Akhirnya Syaikh Abduh pun membuktikannya dengan cara datang ke Prancis, ia pun tidak dapat menyembunyikan apa yang dilihat dan dirasakannya bahwa dunia Barat tampak lebih maju dan dunia Islam jauh terbelakang. Bukankah Islam itu ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaihi; “Islam itu unggul dan tidak ada yang lebih unggul dari Islam.” Jadi, Islamnya tetap unggul, namun manusia-manusia Muslimnya tidak unggul. Barat menjadi maju dikarenakan mereka mengamalkan ajaran Islam, sebaliknya negeri Islam menjadi mundur dikarenakan ummat Islam meninggalkan ajaran agamanya. Inikah yang dimaksud Al-Islâmu mahjûbun bil muslimi; Islam menjadi terhalang oleh ummatnya sendiri.
Diskursus ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan berlanjut hingga masa Syaikh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (murid Syaikh Abduh yang wafat tahun 1935), di mana dirinya mendapatkan sebuah pertanyaan besar yang pernah meramaikan jagad tsaqâfah dan hadhârah dunia Islam (tahun 1929) dari seorang ulama Melayu asal Borneo (Sambas Kalimantan Barat) yang menjadi muridnya, yaitu Syaikh Muhammad Basyuni Imran (1883 – 1976) yang mengajukan pertanyaan dan saran kepada gurunya sebagai pemimpin Majalah Al-Manar di Mesir, agar Amir Syakib Arslan (1889 – 1946) yang bergelar amîrul bayân sebagai ulama pujangga (asal Lebanon) dapat menuliskan jawaban atas pertanyaannya. Sungguh pertanyaannya, cukup mewakili kegundahan ummat selama ini dan benar-benar ditunggu jawabannya oleh dunia. Limâdzâ ta’akhkharal muslimûna wa limâdzâ taqaddama ghairuhum?; “Mengapa kaum muslimin mundur, dan mengapa pula selain ummat Islam maju?”
Laksana air minum jernih nan segar, di mana semua orang sangat ingin cepat meneguknya, pertanyaan yang kini telah menjadi buku hebat yang menggelegar dan sekaligus “menggedor” jiwa: Limâdzâ Ta’akhkharal Muslimûna wa Limâdzâ Taqaddama Ghairuhum (versi bahasa Arab yang dirampungkan tahun 1930 oleh penulisnya dalam waktu tiga hari ini dan dipublikasikan tahun 1940 oleh Media Al-Manâr Press ke dunia Islam). Adapun versi bahasa Indonesia, diterjemahkan pertama kali oleh KH. Munawwar Chalil dan dipublikasikan tahun 1954 oleh penerbit Bulan Bintang dengan judul: Mengapa Kaum Muslimin Mundur?. Sedangkan versi bahasa Inggris, Islamic Book Trust penerbit Malaysia merilis judul Our Decline: Its Causes and Remedies dengan terjemah: Kemunduran Kita: Penyebab dan Obatnya tahun 2004. Dan yang menggembirakan, Pustaka Al-Kautsar Jakarta menerjemahkannya lebih lengkap dan mempesona dengan judul: “Kenapa Ummat Islam Tertinggal; Risalah Penting Warisan Cendikiawan Peletak Dasar Kebangkitan Islam” (terjemahan Khalifurrahman Fath) yang diterbitkan cetakan pertamanya tahun 2013.
Menurut Amir Syakib Arslan, faktor ketertinggalan ummat Islam tidak lepas dari enam faktor penyebab yang utama; kebodohan ummat Islam sendiri, pengetahuan ummat Islam yang serba tanggung (tidak paripurna), rusaknya budi pekerti ummat (dikarenakan meninggalkan nilai-nilai agamanya sendiri), dekadensi moral para pemimpinnya, munculnya sifat penakut dan pengecut yang menghinggapi jiwa ummat Islam dan hilangnya kepercayaan diri yang menjangkiti setiap jiwa mereka.
Apa yang dirincikan Syakib Arslan, itu pula yang menyebabkan ummat Islam menjadi sangat lemah. Ummat yang lemah tidak dapat melahirkan kekuatan apa pun melainkan keterpurukan dan keporak porandaan. Ummat yang lemah, menyebabkan semakin beraninya musuh “menelikung” mereka dari berbagai segi. Maka, yang terjadi setelah itu adalah centang perenang yang semakin jauh dari harapan untuk disatukan dalam barisan perjuangan.
Dalam hal ini, di samping serangan musuh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menemukan penyebab lainnya, ada empat penyakit ummat yang menyebabkan hal itu terjadi; terjadinya sengketa politik dan kekuasaan (as-siyâsah wat tanâzu’ ‘alal mulk), adanya fanatisme dalam kesukuan dan keturunan (‘ashabiyyatul jinsi wan nasab), banyak berwacana tentang agama menurut kehendak rasio belaka (al-qaulu fî dînillâhi bir ra’yi) dan tidak kalah pentingnya adalah adanya rekayasa musuh yang masif, sistemik dan terstruktur dalam menghancurkan agama ini (kaiydu a’dâi hâdzad dîn).
Pandangan guru-murid ini, baik Muhammad Rasyid Ridha bersama Muhammad Basyuni Imran atau bersama Amir Syakib Arslan sebagai penulis buku, bukan tidak beralasan. Masa keemasan zaman Eropa Islam menjadi saksi sejarah yang tidak terbantahkan, di mana keberhasilan akan hakikat keunggulan, kemajuan, kemenangan berkuasa dan berjaya selama 800 tahun lamanya benar-benar dirasakan bukan hanya oleh penduduk Muslim saja. Saksi bisu itu terpahat kuat dalam goresan tinta emas sejarah yang dituliskan di pintu gerbang Cordoba yang berdiri kokoh menyaksikan puing-puing peradaban masa silam. Tertulis di pintu tersebut, terkait empat pilar kejayaan ummat dan kemakmuran suatu negeri, meliputi pilar-pilar berikut; keadilan yang ditampilkan para pemimpinnya (‘âdilun umarâuhum), kehebatan (pintar, pandai, cerdik, komitmen) yang ditunjukkan para ahli ilmunya (‘âlimun ‘ulamâuhum), kedermawanan yang dipraktekkan para hartawannya (samâhatun aghniyâuhum) dan keberanian yang ditunjukkan para ksatryanya (syajâ’atun ‘askariyâtuhum).
Syaikh Utsman bin Hassan Al-Khubari menambahkan pilar kelimanya, yakni do’a orang-orang faqir dan miskin (du’âul fuqarâ wal masâkîn) dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa. Hal ini sangat masuk akal, di mana do’a-do’a mereka lebih dapat dirasakan kekhusuan dan keikhlasannya sehingga semakin menambah keberkahan.
Namun sebaliknya, apabila suatu negeri yang di dalamnya terdiri dari para pemimpin yang tidak adil, ulamanya tidak hebat, orang-orang kayaknya bakhil, ponggawa-ponggawanya kurang berani dan orang-orang jelatanya tidak pernah turut mendo’akan. Maka, sudah bisa dipastikan bahwa kemajuan, kemenangan, kemakmuran, kesejahteraan yang diimpikan sulit untuk bisa diraih.
Kebodohan masif dan kelemahan struktural ini, berlanjut dan menjadi renungan serius para tokoh zamannya. Sebut misalnya Syaikh Abdul Qadir Audah (seorang Hakim yang sangat kritis era 1930an di Mesir). Tiada henti dirinya menyerukan keadilan dan mengajak lapisan ummat untuk mawas diri akan kelemahan dan kebodohan, sekalipun pada akhirnya “kelantangannya” membuat dirinya harus menemukan syahadah-nya di tiang gantungan Gamal Abdun Nasher pada tahun 1954.
Menurutnya, pemahaman ummat terhadap ajarannya terklasifikasi menjadi tiga golongan; ada ummat yang tidak memiliki pengetahuan/ tidak memiliki kebudayaan, ada ummat yang memiliki pengetahuan/ memiliki kebudayan (namun bukan kebudayaan dari Islam), dan ada juga ummat yang memiliki kebudayaan. Golongan pertama; mereka ummat yang awwam terhadap hukum agama, kalau pun tahu namun tidak mendalam dan ini jumlahnya mayoritas. Golongan kedua; mereka memahami hukum namun hukum Barat (tidak memahami hukum syari’at) dan ini jumlahnya banyak. Sedangkan golongan ketiga; mereka yang memahami hukum syari’at namun sedikit mendapatkan kesempatan. Lebih lanjut, secara rinci beliau memaparkan detailnya dalam buku yang cukup populer dengan judul: Al-Islâmu Baina Jahli Abnâihi wa ‘Ijazi ‘Ulamâihi; “Islam di Antara Kebodohan Ummat dan Kelemahan Ulama” (diterjemahkan KH. Mu’ammal Hamidy dan diterbitkan pertama kali di Bangil tahun 1980an).
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Memotret ketertinggalan, kemunduran, bahkan kekalahan. Allâhu yarhamh Mohammad Natsir sering mengatakan: “Kemenanganmu sangat ditentukan oleh da’wahmu.” Artinya, segala bentuk kekalahan dan ketertinggalan kita bisa jadi disebabkan karena kelemahan da’wah kita kepada ummat. Ada banyak anashir yang belum, bahkan tidak terpenuhi dalam diri kita dan ummat kita, ada sejumlah metode dan syarat yang tidak tertunaikan, di mana semua itu sangat mempengaruhi akan keunggulan dan kebangkitan ummat tentunya.
Untuk mengakhiri diskusi kita ini, patut rasanya apabila pandangan seorang Dr. Abdul Halim ‘Uwais (pensyarah berbagai kitab peradaban dan kebudayaan Islam) untuk diperhatikan, di antaranya pujian, kritikan dan sekaligus rekomendasinya agar para akademisi, aktivis da’wah, para politisi dan para pemikir kiranya menyelami buah fikiran yang tertuang dalam buku Al-‘Allâmah Wahiduddin Khan (pemikir Muslim asal Benua India yang lahir tahun 1925) dengan judul Qadhiyatul Ba’tsi al-Islâmy; al-Manhaj was Syurûth; “Metode dan Syarat Kebangkitan Baru Islam” (terjemahan tahun 2001 oleh Anding Mujahidin dengan penyunting Ainur Rafiq S.T. dan penerbit Rabbani Press dari buku aslinya yang terbit tahun 1984 di Cairo)
Menurut Wahiduddin, nilai-nilai hikmah rabbaniyah yang harus dihidupkan dalam sebuah kebangkitan, harus mengacu pada bentangan waktu panjang. Dengan berpedoman QS. Al-Baqarah/ 2: 129, menunjukkan bahwa lahirnya sebuah kebangkitan bukanlah sesuatu yang sim salabim. Lahirnya sosok Nabiyullâh Muhammad shalallâhu ‘alaihi wa sallam diawali terlebih dahulu dengan ikhtiar generasi sebelumnya, yakni Nabiyullâh Ibrahim ‘alaihis salâm bersama keluarganya dengan segala terpaan yang dilaluinya.
Dalam konteks kebangkitan modern, setiap pelaku kebangkitan (baik ulama dan ummatnya) harus “menyamakan” dulu paduan suaranya agar orkestranya dapat selaras dan memuaskan sesuai dengan teologi modern (al-‘aqlul jadîd), rasio ilmiah (al-‘aqlul ‘ilmy) atau cara berfikir ilmiah (al-‘aqliyyah al-‘ilmiyyah). Keselarasan yang dimaksud, meliputi di dalamnya perkara-perkara penting; mulai dari standar pengetahuan, berfikir metodologis, kesadaran berfikir yang benar, memahami da’wah Islamiyah dan pentingnya hidup sarat iman, metode yang selaras dengan fithrah, memaknai kemenangan Islam serta hubungannya Islam dengan Ilmu pengetahuan. Semua itu, merupakan prasyarat yang wajib dipenuhi, di mana dalam prakteknya (tathbîq) tidak semudah membalikkan telapak tangan, di dalamnya ada proses keimanan dengan ikhtiar yang panjang dan “amal shalih” yang tidak mudah, serta ketauhidan yang paripurna sebagaimana dijanjikan Allah ‘azza wa jalla dalam firmanNya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang menyimpang.” (QS. An-Nûr/ 24: 55)
Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannahum subulanâ … Âmiin
_____
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.