Jumat, Maret 29MAU INSTITUTE
Shadow

HAYAT JUANGMU INSPIRASI DA’WAH KAMI (Apresiasi Generasi Anak Bawang Atas Terbitnya Buku “Biografi Mohammad Natsir”)

HAYAT JUANGMU INSPIRASI DA’WAH KAMI (Apresiasi Generasi Anak Bawang Atas Terbitnya Buku “Biografi Mohammad Natsir”)
O
leh:
Teten Romly Qomaruddien

Sedikit pengetahuanku tentang dirimu; selain bukan maqam dan zaman-nya bagi diri ini untuk membincangmu, namun perjalanan hidup juangmu begitu sangat menarik untuk dikenang oleh generasi mana pun jua. Termasuk aku yang sekedar tahu dari karya-karyamu, namun sempat melihatmu pada masa-masa akhir tahun 1993an dalam usia 84 tahun. Ketika wafatmu, masih sempat menyaksikan ribuan jamaah mengantarkan jenazahmu, dan aku pun turut serta mengiringkan ke tempat peristirahatan di TPU Karet Bivak Tanah Abang Jakarta Pusat.

Ketika membicarakan negara, tak lengkap rasanya tanpa menyebut keterlibatan dirimu. Ketika membahas perjuangan ummat, hambar rasanya tanpa menyinggung sejarah da’wah dan tarbiyahmu. Ketika mendiskusikan alam fikiran, kering rasanya tanpa melibatkan falsafah intelektualmu, ketika membincang hubungan antar tokoh tak ada yang menyangsikan kepiawaian lobimu. Tak terlewat dari itu semua, kesantunanmu, lembut dan tegasmu begitu sangat dikenang oleh anak-anak biologis dan anak-anak ideologismu. Tak terkecuali, lawan-lawanmu pun mengakui hal itu. Karena dalam dirimu mewarisi dialek berfikir Gurumu Tuan Ahmad Hassan, sang pemilik jargon: “Lawan debatmu adalah kawan berfikir.”

Aku tahu, dirimu bukanlah Rasul. Aku mengerti dirimu bukanlah Nabi dan aku pun sadar, dirimu adalah manusia biasa yang wajar. Wajarlah sudah, dirimu disebut-sebut sebagai pelayan ummat (khâdimul ummah), wajarlah pula dirimu dikenal sebagai sang maestro da’wah (rajulud da’wah) dan wajarlah pula dirimu dipanggil “abah” oleh semua, karena dirimu telah menjadi cahaya keluarga. Bukan sekedar keluargamu di rumah, melainkan rumah da’wah di jagat ini. Bagaimana tidak, aroma semerbakmu tercium harum sampai ke negeri jauh nun di sana.

Anak-anak ideologismu sering bercerita; Bagaimana Raja Arab Saudi Malik Faishal sangat menghargai jasa khidmatmu untuk negara dan dunia, terlebih agama. Seorang Mufti Diyar Mamlakah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz yang begitu menyokong semangat da’wahmu, bagaimana seorang tokoh besar Presiden Fiqih Dunia Syaikh Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi, Fathi Yakan dan tokoh-tokoh da’wah lainnya yang begitu terkesan dengan model da’wahmu, bagaimana seorang Sayyid Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadawy dan Sayyid Abul A’la al-Maududy menyebut-nyebut dirimu. Dan tentunya tokoh-tokoh dunia lainnya yang selalu menanyakan: “Bagaimana kabarnya Tuan Natsir?” setiap anak-anak juangnya berkunjung ke negara-negara mereka.

Sungguh berkah hidupmu, ketiadaanmu masih dikenang juga, bahkan sampai saat ini berkali-kali tokoh-tokoh negeri jiran masih sering datang ke Jakarta dan bercerita tentangmu. Dalam suatu kesempatan, aku memberanikan diri bertanya pada mereka, gerangan apa yang menyebabkan tuan-tuan rutin menyengajakan diri datang ke Jakarta dan menemui tokoh tersebut? Mereka menjawab dengan entengnya: “Dr. Mohammad Natsir bapak kami, Jakarta tempat bertanya kami. Dari tokoh inilah kami belajar keikhlasan dan pantang menyerah dalam perjuangan.”

Kubaca karya-karyamu, kudiskusikan jalan fikiranmu; Dari fiqih persatuan hingga fiqih bernegara, dari kaderisasi da’wah ilallâh hingga pemberdayaan dan pemetaan benteng ummat (masjid, pesantren dan kampus), dari filsafat hingga kebudayaan, dari pendidikan integral hingga fiqih da’wah, dari perang pemikiran (ghazwul fikri hingga gerakan pemurtadan (harakatul irtidâd) dan gerakan-gerakan/ aliran menyimpang (harakah haddâmah). Sampai urusan “sekecil” apa pun (menurut umumnya orang menilai) dari urusan ummat ini tak luput dari perhatianmu. Hingga orang mau meminta sumbangan pun masih sempat diperlakukan layaknya tamu terhormat.

Aku termasuk orang yang harus bersyukur, karena pernah “diceritain” ayahku tentang sosok laki-laki ini semasa masih di bangku Sekolah Dasar kelas V di kampung halamanku, ayahku sering tampak “heboh” kalau sudah bercerita dirinya. Sebagaimana layaknya anak sekolah, tibalah saatnya Pak Guru memberikan tugas Pe-eR agar anak-anak murid menggambar tokoh pahlawan kemerdekaan dan tokoh nasional perintis bangsa. Naluriku spontan mengingat nama besarmu dan mulai menggerakkan pensil gambarku melukis setengah badan berpeci hitam yang ada di cover Majalah Al-Muslimun Bangil Jawa Timur.

Qaddarallâh … selepas tamat SD, tak disangka berkesempatan mengikuti “Pesantren Kilat Ramadhan” di Jakarta dan diajak para asatidz katanya ada ifthar jama’i di kediaman Pak Natsir. Walau tidak mengerti apa yang akan dilakukan, sebagai “anak bawang” yang ikut-ikutan akhirnya sumringah juga karena turut terlibat dalam acara yang penuh berkah ini. Terbentang lama panjangnya waktu, tanpa terasa aku merasa sudah semakin dewasa untuk memahami wajah dan wijhah seorang tokoh. Terlebih ustadz pengampu di pesantrenku mewajibkan membaca buku-buku karya tokoh Masyumi di samping pelajaran yang baku di pesantren, terutama Capita Selecta dan Fiqih Da’wah Mohammad Natsir.

Laksana pucuk dicinta ulam tiba, setamatnya mondok di Pesantren Persatuan Islam Cibatu dan Tarogong Garut, di tengah-tengah pengabdian masyarakat aku dipertemukan “orang-orang hebbat” yang “sezaman dan bertemu langsung” dengan Pak Natsir dalam wadah kaderisasi da’wah Lembaga Pendidikan Da’wah Islam Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, di situ pula aku dipersaudarakan dengan kader-kader daerah dengan pertalian guru-murid yang sangat akrab dan “membekas.”

Dengan penuh ta’zhim dan segan, mulailah kesenyawaan dalam aktivitas da’wah berpadu. Kuperhatikan satu persatu “anak-anak abah” yang luar biasa; ada yang ahli tentang hukum dan politik, ada yang ahli mengurai sejarah/ sierah, riset da’wah dan jurnalistik, fiqih dan hadits, tafsir dan pemikiran, wawasan dunia Islam, da’wah pedalaman, aqidah dan kristologi, bahkan aliran-aliran (baik klasik atau pun kontemporer). Hari-hari yang begitu indah, menyenangkan dan penuh semangat. Sebelah depan hingga belakang tempat belajar, kulihat pekerja-pekerja ikhlas yang focus dengan garapannya; ada yang menggarap buletin, majalah anak Sahabat, majalah Media Da’wah, Suara Masjid, Serial Khutbah Jum’ah, Lembaga Kemanusiaan berupa Komite Penanggulangan Krisis, toko buku dan penerbitan Media Da’wah (MD), serta dokumen-dokumen penting di bagian Gudang yang banyak menyimpan tulisan kritis dan berani sejak zaman LIPPM dengan hasil-hasil risetnya. Setiap acara penting, kami (aktivis putera dan aktivis puteri) dilibatkan sebagai panitia. Sambil menyelam minum air, sering kami jadikan kesempatan menimba ilmu mereka di tengah-tengah kesibukan yang ada. Seringnya mengikuti acara demi acara, membuat semakin jelas sosok para tokoh yang ada di hadapan kita. Demikian pula dengan wajah Pak Natsir, yang selama ini menjadi penantian untuk dapat bertemu. Akhirnya beliau pun benar-benar terlihat jari jarak dekat, sekalipun jalannya mesti dipapah. Oohh ini yang namanya Mohammad Natsir yang sering “didongengkan” ayahku tempo doeloe itu, gumamku dalam hati.

Tak diduga sebelumnya, taqdir Allah ‘azza wa jalla pun menunjukkan kebesaranNya, dengan wasilah berangkat umrah bersama salah satu keluarga cucu cicitnya Pak Natsir, maka shilaturrahim pun berlanjut menjadi pengajian keluarga dari rumah ke rumah di daerah Bogor Kota dan Komplek Pesantren Pertanian Darul Falah Ciampea Bogor.

Kembali lagi pada awal tulisan, dengan telah hadirnya buku Biografi Mohammad Natsir; Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan karya Lukman Hakiem bersama Tim, semoga semua kita dapat mensyukurinya serta terinspirasi untuk lebih menanamkan semangat juang dalam membangun ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannahum subulanâ
____

✍ Ditulis dalam rangka turut serta menyambut dan mendorong generasi milenial untuk mencintai dan meneladani tokoh ummat *

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!