MEMAKNAI AMANAH ILMIAH DALAM BUDAYA LITERASI ISLAM
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Ranah ilmiah, tidak dapat diintervensi oleh lembaga mana pun, termasuk lembaga keagamaan sekalipun. Reaksi semacam ini sebenarnya sudah lama disuarakan dalam berbagai sikap penolakkan dalam berbagai kasus “bencana keilmuan” sebelumnya di berbagai Perguruan Tinggi. Kasus disertasi UIN Jogjakarta yang mendapatkan teguran MUI Pusat menjadi salah satu contoh paling anyar.
Dengan alasan, bahwa kampus memiliki otoritas keilmuan yang mandiri, maka lembaga tempat berhimpunnya ulama dan zu’ama pun tidak dibenarkan mengecamnya. Secara akademik, asal metodologinya benar, riset tidak bisa dikecam, mau riset topik apapun sah. Demikian, komentar-komentar yang berkembang di media yang balik menyalahkan MUI. Bahkan tidak sedikit yang berpandangan, intervensi serupa dapat menyebabkan matinya peradaban.
Dalam surat yang ditanda tangani Wakil Ketua Umum MUI Pusat Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, MA. dan Dr. H. Anwar Abbas sebagai Sekretaris Umum menegaskan konsep hubungan seksual di luar pernikahan tidak sesuai diterapkan di Indonesia. Kemudian, Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta dan Staf Ahli Menag RI Oman Fathurahman, malah menilai Disertasi “Dibolehkannya Seks di Luar Nikah” tak Bisa Dikecam MUI. (Lihat: Jari Langit.com 4 September 2019).
Dengan kondisi dan iklim pemikiran seperti itu, lalu sebenarnya yang berhak menilai itu benar dan ini salah siapa? Menentukan ukuran yang disebut ilmiah dan tidak ilmiah siapa? Lalu, di mana tanggung jawab moral dan agama? Sejauh mana Negara hadir dalam turut serta mengatur lalu lintas pemikiran seperti ini. Bukankah ini masuk pada jenis kebenaran religius (bersifat keyakinan, keimanan, kredo, aqidah, tata cara ibadah dan akhlaq) yang sudah muhkamât yang tidak lagi membutuhkan interpretasi yang teramat jauh? Terlebih, undang-undang Negara pun mengayominya di mana Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, agama mendapat ruang yang luas untuk terlibat memutuskan.
Adapun jenis kebenaran lainnya, adalah kebenaran yang bersifat filosofis, yakni kebenaran yang meliputi di dalamnya segi ontologi (hakikat tentang apa), epistemologi (bagaimana cara mengetahuinya) dan aksiologi (kemanfaatan yang didapat). Sedangkan kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang mencakup di dalamnya perumusan masalah, metodologi dan kesimpulan. (Lihat: Mahmud Thoha, dkk., Pengantar Filsafat Ilmu dan Penelitian Ilmiah, 2014).
Untuk mengawal hakikat kebenaran itu, semua pelaku yang terlibat dalam penemuan ilmu, agama mengajarkan pentingnya memiliki sifat amanah, yakni “amanah ilmiah” yang sudah menjadi syarat muthlak bagi para pengemban pengetahuan. Secara umum, Allah ‘azza wa jalla mengisyaratkan dalam firmanNya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisâ/ 4: 58).
Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid mengingatkan akan hal ini dalam paparannya: “Wajib atas para penuntut ilmu agar benar-benar menghiasi dirinya dengan amanah ilmiah dalam menuntut ilmu; mengembannya, mengamalkannya dan dalam menunaikannya. Sesungguhnya keberuntungan ummat adalah dalam kebaikan amalan-amalannya, kebaikan amalan ada dalam kebaikan-kebaikan ilmunya, dan kebaikan ilmu itu ada dalam sejauh mana penuntut ilmu mengemban amanah dan mensifatinya. Siapa yang berpandangan atas nama ilmu dengan melepaskan amanah, maka sungguh telah menodai ilmu dan meletakkan batu penyumbat pada jalan yang menuju keberuntungan ummat itu.” (Lihat: Hilyah Thâlibil ‘Ilm, 1415: hlm. 59)
Adanya beragam penodaan, penolakkan, penyimpangan dan perubahan terhadap pokok-pokok agama (ushûluddîn), kemudian diperkuat dengan semakin marak dan masifnya generasi yang senang menyandarkan pemikirannya bukan pada landasan ilmu yang benar dan bermanfaat (al-‘ilmun nâfi’), lebih disebabkan pada beberapa alasan; senang bermain dalam tataran dalil-dalil yang mutasyâbihât, memunculkan pandangan pribadinya yang liar tanpa tabâyun pada pendapat-pendapat sebelumnya yang lebih mu’tabar dan saking semangatnya mengusung dan mengembangkan fikiran-fikiran yang kontroversial dari tokoh-tokoh sebelumnya.
Untuk lebih mengokohkan bangunan ilmu, para ulama lebih menitik beratkan pada pentingnya mengedepankan wahyu, lalu diikuti oleh akal yang selamat (al-‘aqlus salîm) dan diselaraskan dengan ketetapan fithrah Allah yang mulia sebagaimana ditunjukkan Syaikh Utsman Ali Hassan dalam kitabnya Mashâdirul Istidlâl ‘Alal Masâilil I’tiqâd (1413).
Tidaklah berlebihan, bahkan tidak mengurangi sedikitpun “keilmiahan” seseorang dalam menemukan hasil telitinya ketika harus menguatkan apa yang sudah kokoh (tsâbit) dalam wahyu ketika objek yang dikajinya adalah perkara-perkara agama (umûruddîn) yang wajib mendapatkan penguatan. Hal ini tercermin dalam kecintaan generasi intelektual terdahulu yang baik yang sangat menjunjung tinggi kitâbullâh dan sunnah rasulNya. Seperti terlihat pada sya’irnya Al-Hâfizh Ibnu Qayyim dalam Nûniyyah-nya:
العلم قال الله قال رسوله … قال الصحابة هم أولوا العرفان
ما العلم نصبك للخلاف سفاهة … بين الرسول وبين رأي فلان
“Sejatinya ilmu adalah firman Allah ‘azza wa jalla dan sabda rasulNya … Perkataan para shahabat ridhwânullâh ‘alaihim ajma’în, mereka itulah ahlul ma’rifat (orang-orang ‘arif) yang sebenarnya.”
“Bukanlah ilmu, engkau munculkan perkara krontroversial (menyalahi syari’at) karena kedunguan … Membandingkan antara Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dengan pandangan si fulan.”
Dengan beragam macam dan bentuknya pemikiran abad ini; mulai dari pemikiran materialistis yang condong mendasarkan segala sesuatu pada materi, atau pemikiran mistisisme yang hanyut dalam alam rohani semata, bahkan pemikiran ekstrim dalam memandang dunia dan seisinya dengan kacamata hitam, mendorong para ilmuwan “garis lurus” terketuk hati terpanggil jiwanya untuk memberikan pencerahan yang solutif bagi kemusykilan-kemusykilan yang terjadi.
Agar pengkajian dan penelitian alternatif dapat diwujudkan, sudah waktunya para sarjana Muslim, insan akademik dan para penuntut ilmu menoleh pada sumber-sumber yang berpihak pada nilai-nilai ilmiah religius itu. Sebut saja di antaranya Prof. Dr. Ali Gharisah, beliau menulis Manhajut Tafkîr al-Islâmy (1986) yang mengurai secara apik metode pemikiran Islam, Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, beliau menulis Nahwa Manhaj Buhûts Islâmy (1989) yang mengarahkan agar para peneliti (researcher) tetap berpegang pada halal-haram sebagai etika Islami dalam melakukan penelitian, Dr. Hasan as-Syarqawy, beliau menulis Nahwa Manhaj ‘Ilmi Islâmy (1994) yang menyoroti bahwa kemadharatan dari sebuah penelitian itu adalah apabila sumber undang-undang Ilahy diabaikan. Berikutnya Louay Shâfy yang menulis The Foundation of Knowledge; a Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (1996), di mana beliau mencoba memberikan ancangan metodologi alternatif dengan melakukan sebuah refleksi perbandingan antara metode penelitian Islam dan Barat.
Sebagai penutup, jadi ilmiah dan tidak ilmiahnya sebuah penelitian, pengkajian dan penemuan terhadap objek yang diteliti tidaklah cukup bersandar pada hasil pemikiran manusia semata, namun perlu diselaraskan dan diluruskan (tashhîh) oleh wahyu sebagai warisan suci (turâts muqaddas) dari Dzat yang Maha mencipta segala aturan. Dustur Rabbany mengisyaratkan pada kita dalam firmanNya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jâtsiyah/ 45: 18)
Allâhumma faqqihnâ fied dîn … Allâhumma innî a’ûdzu bika min ‘ilmin lâ yanfa’u wa min qalbin lâ yakhsya’u wa min nafsin lâ tasyba’u wa min da’watin lâ yustajâbu lahâ
______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.
Sngt bermanfaat
Jazaakallohu khoyron, Yaa Ustadz
Wa iyyakum
👍