Rabu, Februari 12MAU INSTITUTE
Shadow

MEMAKNAI FANATISME BERAGAMA

MEMAKNAI FANATISME BERAGAMA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Membaca liputan Beritaislam.org (8 Oktober 2019) di mana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, agama hadir untuk memanusiakan manusia dan menjaga harkat martabat manusia. Namun, kata Menag, agama dapat melahirkan fanatisme yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang baik. “Nah, dari fanatisme ini dapat melahirkan sikap ekstremisme,” kata Lukman dalam diskusi dan peluncuran buku “Moderasi Beragama” di kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Selasa (8/10).

Pernyataan tersebut, mengingatkan penulis pada kumpulan tulisan yang disebut-sebut M. Dawam Rahardjo sebagai Nurcholish Madjid Memorial (dalam Pengantar). Tulisan yang terdiri dari 24 artikel itu, berkenaan dengan bahasan Islam peradaban, fanatisisme dan toleransi, kebebasan beragama, serta Islam dan pluralisme. Secara “berjamaah”, para penulisnya yang terhimpun dalam Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina ini memberikan kritik tajamnya atas keterancaman hak-hak civil yang dilakukan kaum konservatif-fanatik yang telah menunggangi demokrasi. (Lihat: Abd. Hakim & Yudi Latif [Penyunting], Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid: 2007).

Apabila dikaji kembali, tidak ada suatu keyakinan atau ideologi yang dapat melepaskan diri dari sikap fanatik. Menurut Alois A. Nugroho, fanatisme (fanaticism), bukan hanya antusiasme total bahwa perspektif kaumnya itu sentral dalam hal kebenaran, melainkan memuat keyakinan bahwa satu-satunya yang punya hak hidup dalam masyarakat adalah orang-orang dengan perspektif benar. Berarti yang bukan perspektif yang benar, yang berbeda, bahkan yang bertentangan wajib dienyahkan dari muka bumi. (Lihat: Bayang-bayang Fanatisisme, 2007: hlm. 129).

Menarik untuk dicermati, ketika fanatisme dihubungkan dengan agama; di satu sisi agama memiliki misi yang sangat mulia, yakni mewujudkan eksistensi manusia dengan kemanusiannya, juga menjadikan manusia beragama sebagai makhluk bermartabat dibanding manusia yang tidak beragama. Namun apa jadinya, ketika seseorang memahami ajaran agamanya secara tidak baik? Alih-alih dapat membawa kebaikan bagi manusia lain, yang terjadi justeru merusak diri dan agamanya sendiri.

Sebagai seorang Muslim, sudah tentu agama yang dimaksud adalah Islam, bukan yang lainnya. Karenanya, sangatlah elok apabila definisi fanatisme beragama dikembalikan pada timbangan definisi populer yang mu’tabar di kalangan para ulama Islam, agar dalam pemaknaannya tidak keluar dari misi Islam itu sendiri.

Meminjam pandangan Syaikh Dr. Muhammad Abdullah Darraz (dalam kitabnya Ad-Dîn) yang menyebutkan:

الدين هو الاعتقاد بوجود ذات ـ أو ذوات ـ غيبية علوية، لها شعور واختيار، ولها تصرف وتدبير للشؤون التي تعنى الإنسان، اعتقاد من شأنه أن يبعث على مناجاة تلك الذات السامية في رغبة ورهبة، وفي خضوع وتمجيد

“Keyakinan mempercayai eksistensi sesuatu dzat atau dzat-dzat yang ghaib nan unggul. Di dalamnya ada sentimen dan pilihan, juga mengurusi dan mengatur urusan yang diperlukan manusia. Justeru itu, keyakinan (agama) membawanya untuk berpegang bahwa dia dibangkitkan untuk bermunajat kepada dzat tersebut, baik berkenaan dengan dorongan atau pun ancaman serta dalam tunduk dan pujian.” (Dinukil Al-Qaradhawy dalam Madkhal Li-Ma’rifatil Islâm, 1996: hlm. 9).

Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy memberikan definisi lain yang lebih banyak digunakan para ulama pada umumnya:

وضع إلهي سائق لذوى العقول السليمة باختيارهم إلى ما فيه الصلاح في الحال والفلاح في المآل

“Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk memegang peraturan Tuhan itu atas pilihannya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di akhirat.” (Lihat: Madkhal Li-Ma’rifatil Islâm, 1996: hlm. 10).

Dengan definisi-definisi tersebut, maka sikap fanatik itu sesuatu yang wajar dan boleh. Bukanlah suatu kehinaan yang tercela, selama ada kejelasan objeknya dan rambu-rambu forum internum-nya tidak dilanggar. Seseorang yang meyakini rukun Islam dan rukun iman sebagai suatu kewajiban, maka dia berhak menjalankan apa yang diyakininya dengan penuh antusiasme dan ketundukkan pada Tuhannya.

Terkait larangan fanatisme, tentu yang dimaksud adalah fanatik yang membabi buta (‘ashabiyatul a’mâ) sebagaimana larangan Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam:

ومن قتل تحت راية عمية؛ يغضب لعصبة او يدعوا لعصبة او ينصر عصبة فقتل فقتلة جاهلية

“Siapa saja berperang di bawah bendera ‘ummiyah (tidak jelas tujuan, bukan karena Allah dan rasulNya, fanatisme buta); dia marah karena fanatisme, dia mengajak orang lain karena fanatisme dan dia menolong karena fanatisme. Lalu terbunuh, maka kematiannya laksana matinya kaum jahiliyyah.” (HR. Muslim dalam Syarhun Nawâwy 4769, dari shahabat Jundab bin Abdillah radhiyallâhu ‘anh).

Dalam praktek sosial kaum Muslimin, ada banyak contoh fanatisme yang terlarang, di antaranya dalam kehidupan berkelompok. Syaikh Abdurrahman bin Mu’allâ al-Luwaihiq membentangkan secara khusus dalam kitabnya Al-Ghuluw Fied Dîn Fie Hayâtil Muslimîn al-Mu’âshirah (1992). Menurutnya, pergeseran perilaku yang menyebabkan sikap ekstrem (tafrîth) seseorang terhadap kelompok atau tokoh tertentu dikarenakan sikap berlebihan (ghuluw). Berlebihan dalam memahami sebuah kelompok, berlebihan dalam menjadikan sebuah kelompok sebagai sumber kebenaran, berlebihan kepada pemimpinnya dan berlebihan dalam melepaskan diri dari kelompok lain. Semua itu, merupakan salah satunya. Betapa bahayanya fanatisme golongan dan betapa bahayanya keterlibatan hawa nafsu dalam merusak kehidupan berjamaah, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghaniman telah memaparkan dalam kitabnya Al-Hawâ wa Atsaruhu Fiel Khilâf (1412) dan Syaikh Dr. Rabi bin Hadi Umair al-Madkhaly dalam kitabnya At-Ta’asshub ad-Dzamîm wa Âtsâruhu (1411).

Adapun loyalitas (muwâlât), permusuhan (mu’âdât), kecintaan (al-hubb) dan kebencian (al-bughdhu) yang dilakukan hanya karena mematuhi ajaran Islam, mencintai Allah dan rasulNya, jauh dari keterlibatan hawa nafsunya, maka ia terlepas dari penilaian fanatisme yang terlarang itu.

Artinya, kalaulah yang dimaksud fanatik itu gigihnya perjuangan, kepatuhan dan pembelaan seseorang terhadap kebenaran agamanya, maka istilah fanatik boleh digunakan. Bahkan, kaum Muslimin wajib fanatik terhadap ke-Islamannya. Meminjam bahasa Ibnu Khaldun (Sosiolog Muslim terkemuka dan ahli sejarah) dalam kitabnya Muqaddimah menuturkan: “Da’wah keagamaan tanpa diiringi rasa fanatik (akan kebenaran agamanya) tidak akan sempurna.”

Lebih dari itu, secara teliti dan menakjubkan, Prof. Dr. Khursyid Ahmad (Murid Sayyid Abul A’la al-Maududy Pakistan) banyak memberikan pencerahannya. Dirinya mampu menyingkap problema kefanatikan yang sesungguhnya; pengalaman buruk agama-agama di Eropa, Amerika dan benua lainnya yang gagal membangun relasi dengan kekuasaan, hubungan agama yang tidak selaras dengan ilmu pengetahuan dan fanatisme agama yang tidak harmonis dengan toleransi. Semuanya sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini mereka tuduhkan terhadap Islam sebagai agama yang fanatik, tidak toleran dan kurang menghargai perbedaan tidak terbukti sama sekali. Bahkan, memunculkan kesadaran kaum cerdik pandai mereka untuk mengakui Islam sebagai agama langit yang rahmatan lil ‘âlamîn [di antaranya: Arnold Toynbee, John William Draper, Westermark, Sir Rama Swami dan lainnya]. (Lihat: Kursyid Ahmad, Islam dan Fanatisme: 1977).

Islam yang menempatkan persamaan kedudukkan manusia sebagai makhluk Tuhan (musâwât, egaliter) [QS. Al-Hujurât/ 49: 13], penghormatan terhadap kehidupan ummat manusia [QS. Al-Mâidah/ 5: 32 dan QS. Al-Furqân/ 25: 68], keadilan dan kekuasaan undang-undang [QS. An-Nisâ/ 4: 58, QS. Al-Mâidah/ 5: 8 dan QS. An-Nahl/ 16: 90], tidak adanya paksaan memeluk Islam [QS. Al-Baqarah/ 2: 256] dan tidak menghalalkan segara cara dalam mencapai tujuan [QS. Al-An’âm/ 6: 108, QS. An-Nahl/ 16: 125 dan QS. Fushshilat/ 41: 34] menjadi karakteristik Islam yang tidak terbantahkan.

Kalau demikian, sebenarnya “fanatisme beragama” yang mana yang membahayakan itu? Wallâhul musta’ân
____

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!