PETAKA AKHIR ZAMAN (Bencana Global, Krisis Teluk, Hingga Perang Armageddon)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Sebagaimana dimaklumi, dalam Kitâbullah dan Sunnah nabiNya terdapat ayat dan hadits-hadits Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam yang cukup banyak mengenai berita fitnah atau “petaka akhir zaman.” Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah karya para ulama ahli tafsir dan ahli hadits seperti An-Nihâyah fil Fitan wal Malâhim (Fitnah dan Bencana Akhir Zaman karya Imam Ibnu Katsîr), Imam Al-Bukhâri dan Muslim dalam Kitab Al-Fitnah, Imam Abu Dâwud dalam Al-Fitan wal Malâhim, Ibnu Mâjah dalam Ats-Tsawâbit fil Fitnah dan sejumlah kitab lainnya. Dari semuanya itu, para ulama memahami bahwa pengertian “fitnah” adalah: malapetaka, huru-hara, kekacauan, chaos, peperangan dan bencana, di samping makna adzab. Oleh karenanya, Allah ‘azza wa jalla mengingatkan dalam firmanNya: “Hendaklah kalian takut akan fitnah (adzab Allah), di mana Allah tidak akan menimpakannya secara khusus kepada orang-orang zhalim saja. Ingatlah sesungguhnya Allah Maha keras siksaannya.” (QS. Al-Anfâl/ 8: 25).
Imam Ibnu Katsîr dalam tafsirnya menjelaskan ayat tersebut dengan merekam dialog Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersama Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallaahu ‘anh sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, di mana Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila telah tampak keburukan-keburukan di muka bumi, Allah akan turunkan adzab kepada penghuninya.” ‘Aisyah menyangkalnya: “Bukankah di antara penduduk bumi masih ada orang-orang shalihnya?” Rasûlullâh menjawab: “Benar, kemudian bagi mereka berubah menjadi rahmat.” (Lihat: Tafsîr Al-Qur’ânul ‘Azhîm, 2/ hlm. 275).
Sungguh sangat jelas, terjadinya malapetaka merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri yang melahirkan laknat Allah yang bukan hanya menimpa pelaku zhalim saja, melainkan orang-orang shalih pun menanggung beban deritanya. (Lihat: As-Syaukani dalam Fathul Qadîr, 2/ hlm. 376).
Untuk lebih selamatnya, bersegeralah mencari jalan keluar agar terhindar dari berbagai fitnah dan akibat yang ditimbulkannya dengan merenungkan kembali Kitâbullah sebagai tali yang kuat, juru peringatan yang bijak dan petunjuk yang lurus. (Lihat: Syaikh Abdullâh bin ‘Abdurrahman al-Jibrin dalam kitab Fitan Hadzâ az-Zaman wa Kaifa Muqawwamâtuhâ)
Akhir Zaman; Antara Shughra & Kubra
Dalam melihat gejala akhir zaman, para ulama membagi menjadi dua bagian, yakni ‘Alamah Shughra dan ‘Alamah Kubra (tanda-tanda kecil dan tanda-tanda besar). Hal ini didasarkan kepada sejumlah hadits Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam mengenai “Asyrâtus Sâ’ah” (tanda-tanda hari qiyamah) sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Jâmi’ as-Shahîh, kitab Sunan ataupun Musnad. Di antara tanda-tandanya adalah apabila seorang budak wanita melahirkan tuannya, apabila orang-orang miskin berlomba dalam kemegahan, urusan diserahkan bukan pada ahlinya, sedikitnya ilmu agama dan menyebarnya kejahilan, banyaknya pembunuhan, maraknya perzinaan, minuman khamer, halalnya nyanyian dan musik serta sutra untuk kaum lelaki, timbulnya hal-hal kotor, tersebarnya pemutusan shilaturrahim, pengkhianatan terhadap orang-orang jujur, timbulnya mati mendadak, menjadikan masjid sebagai tempat rekreasi, terjadinya pertempuran sesama kelompok kaum muslimin, pendeknya waktu, banyaknya gempa bumi, huru-hara dan kejahatan, ummat lain berebut terhadap kaum Muslimin, menimba ilmu bukan pada ahlinya, munculnya wanita-wanita tak berpakaian, munculnya ruwaibidhah (orang bodoh yang sok tahu), bila ucapan salam hanya untuk orang yang dikenal saja, hilangnya kehati-hatian dalam mencari rizqi yang halal, bohong menjadi sifat yang biasa, banyaknya kendaraan dan rumah kosong tak berpenghuni, bangga dengan kemegahan mesjid dan fasilitasnya, manusia akan mencelup rambutnya agar tampak lebih muda, beragama sesuatu yang aneh, berkurangnya amal dan menyebarnya kekikiran, berbunuh-bunuhan dan menganggap remeh pertumpahan darah, berkurangnya sifat amanah, monopoli kekayaan, beratnya menjalankan syari’at agama, seorang suami mentaati istrinya sementara dia pun durhaka kepada ibunya, seorang laki-laki nampak kasar kepada bapaknya sedangkan ia begitu ramah kepada temannya, apabila yang menjadi pemimpin orang yang paling keji dan fasik, orang disegani bukan karena budi pekertinya, banyaknya aparat keamanan dikarenakan banyaknya kerusakan, merajalelanya risywah (suap), menjadikan seseorang menjadi imam bukan karena kefaqihannya, banyaknya pasar, berserikatnya suami istri dalam berniaga, banyaknya tulisan dan karangan, orang belajar agama demi meraih jabatan, memuliakan orang-orang fasik dan merendahkan orang-orang yang mulia, mudah terkesima kepada orang yang tidak memiliki iman, banyaknya orang berangan-angan untuk mati dan melambungnya harga-harga.
Kalaulah diperhatikan, tanda-tanda dimaksud sesuatu yang sulit untuk dielakkan bahwasanya hal demikian sesuatu yang lumrah terjadi di zaman sekarang ini.
Masih dalam tanda-tanda kecil, disebutkan pula dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh, bahwa negeri Iraq akan diembargo (diboikot) baik dirham ataupun makanan, demikian pula negeri Syam dan Mesir. (Al-Hâfizh Al-Mundziri dalam Mukhtashar Shahîh Muslim, no. 2033, hlm. 538).
Demikian pula, mengeringnya sungai eufrat dan memunculkan gunung emas, manusia saling berperang memperebutkannya, maka terbunuhlah setiap seratus orang, sembilan puluh sembilan orang. Maka berkata setiap mereka; semoga akulah di antara yang selamat itu. (Lihat: Mukhtashar Shahîh Muslim, no. 2015, hlm. 534).
Hadits lain menjelaskan:
“Hampir saja tidak boleh dibawa ke negeri Iraq sepiring makan atau sekeping dirham. Kami (Para shahabat) bertanya: siapa yang melakukan itu ya Rasûlullâh? Beliau menjawab: orang-orang ‘ajam (orang asing, non arab) yang melakukan hal tersebut. Kemudian Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam berkata: Hampir saja tidak boleh dibawa ke negeri Syam sepiring makanan dan sekeping dirham. Lalu kami bertanya kembali: siapa lagi yang melakukan hal itu wahai Rasûlullâh? Beliau manjawab: orang-orang Rum (Romawi).” (Imam Muslim, Shahîh Muslim, Kitâbul Fitan wa Asyrâtus Sâ’ah, no. 2913, 2/ hlm. 672).
Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, bahwa Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Auf bin Malik; “Wahai ‘Auf bin Malik, hitunglah ada enam perkara yang akan terjadi sebelum hari qiyamah, kematian Nabi kalian, penaklukkan Baitul Maqdis, wabah penyakit qu’as sebagaimana menyerang kambing, timbulnya berbagai kekacauan, melimpahnya harta (di mana seseorang mendapatkan upah seratus dinar dia merasa tidak puas dan menyesal) dan akan menyerang kalian golongan Banu Ashfar dibawah 80 bendera dan di bawah satu bendera terdiri dari 12.000 ribu pasukan.” (Lihat: Musnad Ahmad, no. 24471, hlm. 1797).
Demikian pula Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan akan terjadinya fitnah ahlas (pelarian diri dari tanggung jawab), fitnah sarra’ (kesenangan), dan fitnah duhaima’ (huru-hara). Kesemuanya itu akan malahirkan ketidakstabilan mengiringi kemunculan dajjal (Lihat: Sunan Abu Dâwud, Kitâbul Fitan, no. 4242, 4/ hlm. 72).
Disebutkan pula oleh Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Sekelompok manusia dari ummatku akan turun di suatu daratan rendah yang mereka namakan Bashrah pada tepi suatu sungai yang bernama Dajlah. Dan apabila telah datang akhir zaman, datanglah Bani Qanthura’ (mereka adalah bangsa Turki) yang bermuka lebar dan bermata kecil, sehingga mereka turun pada tepi sungai itu, maka terpecahlah penduduknya menjadi tiga kelompok …” (Lihat: Sunan Abu Dâwud, Kitâbul Malâhim, Bab Fî Dzikril Bashrah, no. 4306, 4/ hlm. 94).
Demikianlah ‘Alamah Shughra dari petaka akhir zaman, dengan berbagai peristiwa yang dilaluinya telah mempercepat kedatangan babak baru dengan tanda-tanda yang lebih besar (‘Alâmah Kubra) jelang keguncangan dunia yang sesungguhnya. Mengenai hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Hudzaifah bin Asid al-Ghifari bahwa Nabi Shalallâhu ‘Alaihi Wa sallam datang kepada kami ketika kami sedang mengkaji suatu hal. Beliau berkata: “Apakah yang sedang kalian perbincangkan? Mereka menjawab: kami sedang mengkaji hari qiyamah. Beliau mengatakan: sesungguhnya qiyamah tidak akan terjadi, sehingga kalian menyaksikan sebelumnya sepuluh tanda-tanda. Lalu beliau menyebutkan: keluarnya asap tebal, munculnya dajjal, munculnya dabbah (binatang bumi), terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, turunnya ‘Isa Ibnu Maryam, datangnya Ya’jûj dan Ma’jûj, terjadinya pembenaman bumi (di Timur, Barat dan semenanjung ‘Arabia) serta keluarnya api dari Yaman yang akan menggiring manusia ke mahsyar mereka.” (Lihat: Imam Muslim dalam Shahîhnya, Bab Fiel Ayat allatie Takûnu Qablas Sâ’ah, no. 2901, 2/ hlm. 666).
Adapun bagaimana kelanjutan dan terjadinya “huru-hara dahsyat yaumul qiyamah” itu, dapat merujuk langsung kitabnya Syaikh Abdul Malik Ali al-Kulaib dalam Ahwâlul Qiyãmah dengan keterangan ayat-ayat dan hadits-hadits terpilih.
Fakta dan Data dalam Sorotan
Mencermati berbagai gejala umum yang disebutkan tadi (terutama “tanda-tanda kecil” jelang ‘Alâmah Kubra) yakni: pemboikotan negeri Iraq, pengepungan Syam, penaklukan Baitul Maqdis, wabah penyakit qu’as, serbuan koalisi Bani Ashfar, timbulnya berbagai fitnah dunia dan bangsa ‘Arab sampai peperangan Bani Qanthura’ (bangsa Turki) dengan Iraq, tersingkapnya gunung emas di sungai eufrat dan perang dahsyat (Armageddon dalam pandangan Yahudi dan Nashrani) serta pengkhianatan gencatan senjata dengan Bani Ashfar. Kesemuanya itu telah melahirkan berbagai analisa tajam di kalangan para ulama dan para pengamat dunia.
Di antara sorotan yang sangat berani adalah munculnya kitab yang berjudul: ‘Umru Ummatil Islâm wa Qurbu Zhuhuril Mahdi ‘Alaihis Salâm (1996), Al-Qaulul Mubîn Fî al-Asyrâth al-Shughra Li-yaumiddîn Istiqshâ’an wa Bayânan Liwuqû’iha (1997) dan Raddus Siham ‘an Kitâbi ‘Umri Ummatil Islâm wa Qurbu Zhuhûril Mahdi ‘Alaihis Salâm. Ketiganya merupakan buah karya Syaikh Amin Muhammad Jamaluddien (dalam bahasa Indonesia ketiganya dijadikan satu judul menjadi “Umur Umat Islam, Kedatangan Imam Mahdi dan Munculnya Dajjal” oleh penerbit Cendikia Jakarta. Buku tersebut (aslinya) termasuk buku yang telah lulus sensor dan dinyatakan isinya tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, di mana sebelumnya menuai badai kritik dari para ulama lainnya. Namun akhirnya, buku inipun dinyatakan “layak baca” sehingga boleh diterbitkan setelah mendapatkan pengesahan dari Islamic Research Academy (General Department For Research, Writing and Translation) Al-Azhar University yang ditanda tangani oleh Mamduh Mahir sebagai Dirut Bagian Penelitian, Penulisan dan Terjemah.
Walhasil, buku tersebut mendapatkan tanggapan yang spektakuler dan menghebohkan sehingga laris terjual dalam beberapa minggu saja. Namun demikian, sebagai karya manusia biasa -sekalipun sudah diusahakan secermat mungkin dalam pengkajiannya- tentu masih banyak kekurangannya, dan ini diakui oleh penulisnya sendiri.
Untuk lebih jelasnya, di antara hal-hal yang mendapatkan sorotan adalah sebagai berikut:
1. Soal pengepungan dan pemboikotan Iraq dan negeri Syam, penulis seolah-olah meyakinkan betul bahwa hal ini terjadi setelah “Perang Teluk 1”, di mana Iraq sebelumnya menginvasi negeri jirannya Kuwait pada tahun 1991 dan dimanfaatkan Amerika dan sekutunya untuk menggempur Iraq, dan selanjutnya pemberian “Sanksi Ekonomi, Boikot” ke negeri yang penuh sejarah dan peradaban itu itu. (Umur Ummat Islam, hlm. 241)
Demikian pula “uring-uringan” itu berlanjut, ke seantero negeri Syam yang meliputi Palestina, Syria, Libanon dan Yordania. Hal ini ditandai dengan pembangunan pemukiman-pemukiman baru bangsa Yahudi dan dihancurkannya bangunan-bangunan kaum Muslimin bangsa Palestina (termasuk di dalamnya Baitul Maqdis, Pen.). (Umur Ummat Islam, hlm. 242)
2. Soal fitnah-fitnah yang terjadi, seperti halnya Shaddam Husein dengan sikapnya yang “sangat bodoh” telah menginvasi tetangganya sehingga memicu peperangan, dan akhirnya kaum Rum (Eropa dan Amerika) menancapkan tapak kakinya yang kotor di bumi kaum Muslimien dengan mendirikan pangkalan-pangkalan militernya secara resmi menurut hukum internasional. (Umur Ummat Islam, hlm. 248)
Hal di atas semakin jelas Shaddam yang sosialis dan agresor, di samping memberikan peluang bagi “negeri-negeri agressor” lainnya untuk memasuki bumi kaum Muslimin, diapun telah menabur bencana di antara bangsa Arab lainnya, bahkan bagi warganya sendiri. Lebih dari itu, soal “Nasionalisme Arab”-nya yang berambisi untuk menyatukan bangsa Arab dibawah benderanya. Hal ini sudah tentu akan menyakiti negeri-negeri Arab lainnya. (H.A. Hassan, Perang Teluk (Pendapat Ulama Islam), Sinbad Enterprise, Kuala Lumpur, 1990, cet. ke-1)
3. Peperangan Banu Qanthura’ (Turki) dengan Iraq, Amin Muhammad Jamaluddin mencoba mencocokkan hadits dimaksud dengan kondisi krisis keduanya (bertepatan bulan Mei 1997) di mana Turki memancing-mancing permusuhan dengan Iraq dan mereka membangkitkan masalah-masalah yang dibuat-buat sekitar masalah air sungai eufrat, bahkan mengadakan kesepakatan-kesepakatan militer dan persekutuan-persekutuan dengan Israel dan Amerika dengan melakukan latihan militer untuk menyerang Iraq, Iran dan Syiria. Bahkan tujuan sebenarnya dalam penyerangan Turki ke Iraq Utara (yang dihuni suku Kurdi) dalam rangka mencaplok suatu daerah Iraq di perbatasan kedua negara tersebut. (Umur Ummat Islam, hlm. 251)
4. Soal gencatan senjata dan perdamaian antara kaum Muslimin dengan Rum (yakni Banu Ashfar, Muhammad Amin menyebutkan mereka adalah Nashrani Barat yang terdiri dari Eropa dan Amerika), lalu mereka pun berkhianat setelah peperangan besar itu. Peperangan dahsyat tersebut merupakan perang sekutu (internasional) yang diyakini sebagai Perang Dunia III, atau mereka menyebutnya dengan “perang Armagedon” (Ar berarti gunung Mageddo adalah nama sebuah lembah di Palestina, tempat ini diyakini sebagai tempat strategis untuk berperang). Adapun sifat perang itu sendiri berupa peristiwa besar dan penghancuran, perang raksasa, persekutuan internasional, perang politik dan agama, perang terdahsyat dalam sejarah, perang awal dari kemusnahan dan perang menyeluruhnya perdamaian palsu. (Amin Muhammad Jamaluddin, hlm. 24)
5. Dan masih banyak analisa lainnya.
Kalaulah kita cermati fakta dan data tersebut, sepertinya sulit untuk ditolak. Namun kalau kita kembali kepada qaidah para ulama ahlus sunnah wal jamâ’ah, merupakan sesuatu yang sangat terlarang melakukan interpretasi (melakukan penafsiran) yang terlampau jauh dan terkesan dipaksakan sehubungan Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskannya secara rinci. (Hal senada diungkapkan Dr. Sulaiman al-Asyqar seperti dipetik Majalah Sabili edisi April 2003, hlm. 19 dan tulisan Muhammad Abu Hamdan dalam Majalah Al-Hanif edisi 05 tahun 1423 H. hlm. 48-54).
Sebuah Renungan Optimis
‘Ala kulli hal, apapun nama sebuah peristiwa, bahkan yang paling dahsyat sekalipun Allah ‘azza wa jalla Maha mengetahui akan “hakikat kejadian.” Adapun Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tanda-tandanya, selain kaum Muslimin wajib beriman adanya, juga dituntut lebih optimis menatap masa depan dengan lebih meningkatkan amal shalihnya selagi ada kesempatan.
Bukankah “kejadian dahsyat” itu semakin dekat waktunya? Dan akan datang dengan tiba-tiba?
Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jarak aku diutus dengan hari qiyamah, seperti dua jari ini.” (Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menuqil HR. Ahmad dari Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhum dalam An-Nihâyah Fiel Fitan).
Hal ini merupakan keteguhan beliau dalam memegang wahyu. Allah ‘azza wa jalla menegaskan dalam kalamNya:
“… Qiyamah tidak akan datang kepadamu, melainkan dengan tiba-tiba …” (QS. Al-A’râf/ 7: 187).
Ayat lain menjelaskan: “Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan hari qiyamah (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Apakah faidahnya kesadaran mereka, apabila qiyamah sudah tiba.” (QS. Muhammad/ 47: 18).
Pengertian “tiba-tiba” ini dijelaskan oleh Rasûlullâh shalallâhu ‘alahi wa sallam sebagai berikut:
“Sungguh, akan terjadi hari qiyamah (dengan mengejutkan); apabila dua orang laki-laki telah memajang pakaian dagangannya, maka keduanya tidak sempat menjualnya dan melipatnya kembali. Dan sungguh akan berdiri hari qiyamah (dengan mengejutkan) apabila seorang laki-laki sudah memerah susu ternaknya, maka ia tidak akan sempat meminumnya. Dan sungguh akan terjadi hari qiyamah (dengan mengejutkan) di mana apabila seorang ayah melepa sumurnya maka ia tidak akan sempat meminum air sumurnya. Dan sungguh akan terjadi hari qiyamah (dengan mengejutkan) sehingga apabila seseorang sudah mengangkat makanan ke mulutnya, maka ia tidak akan sempat mengunyahnya.” (Az-Zubaidi dalam Tajrîdus Sharîh Mukhtashar Shahîh al-Bukhâri, hadits dari Abi Hurairah radhiyallâhu ‘anh no. 2103, Kitab Al-Fitan, hlm. 724).
Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi dan menyelamatkan kita dari dahsyatnya petaka akhir zaman. Wallâhul musta’ân
______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.
Bismillah
Ustadz, kenapa sekarang tulisannay tidak bisa dicopi, dulu saya pernah mengcopi tulisan2 ustadz dalam format pdf