PENDIDIKAN INTEGRAL (Sebuah Pengantar)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Salah satu tantangan pendidikan Islam, adalah masih terjadinya dikotomi ilmu. Artinya, terjadinya pemisahan antara ilmu-ilmu dunia (‘ulûmud dunyâ) dengan ilmu-ilmu agama (‘ulûmus syar’i) yang saling menafikan satu sama lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terhadap kondisi ini, di antaranya hilangnya spirit atau semangat keagamaan, bahkan meragukan dan menganggap bahwa agama bukanlah jalan keluar untuk dapat selamat dari permasalahan duniawi dan juga diperkuat dengan adanya ketidakjelasan mengenai konsep kehidupan di akhirat kelak. Cara pandang semacam ini, jelas akan berpengaruh besar terhadap sikap seseorang dalam memandang ilmu. Di samping ilmu menjadi tidak utuh, juga menjadi bebas nilai.
Untuk mengembalikan hakikat ilmu yang telah terpisah-pisah itu diperlukan adanya gerakan yang mampu menyadarkan bahwa ilmu dalam Islam itu merupakan satu kesatuan yang utuh (integral), satu sama lain bisa senyawa dan saling menguatkan.
Dualisme Ilmu
Karakteristik ilmu dalam Islam, pada dasarnya meliputi dua sumber; yaitu ayat-ayat tanzîliyah dan ayat-ayat kauniyah. Dari pembacaan ayat-ayat tanzîliyah melahirkan disiplin ilmu yang disebut ilmu agama, sedangkan dari pembacaan ayat-ayat kauniyah melahirkan ilmu yang disebut ilmu umum atau ilmu dunia, Ibnu Khaldun mengistilahkannya dengan ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Pembagian inilah yang dikuatkan oleh Konfrensi Pendidikan Islam se-Dunia di Mekkah tahun 1977 yang mengelompokkan ilmu-ilmu agama sebagai ilmu naqli, sedangkan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, geografi dan lain-lain serta ilmu thabi’i yang meliputi ilmu fisika, ilmu alam, ilmu biologi dan lain-lain sebagai ilmu ‘aqli.
Secara historis, menurut Syalabi (sebagaimana dinukil Abd. Yunus Rahim dalam tulisannya: Integrasi Ilmu Agama ke Dalam Ilmu Umum dalam Konteks Pendidikan Nasional: 2009) bahwa pemisahan dua jenis ilmu sangat jelas terlihat dari perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Menurutnya, pada masa awal pertumbuhan Islam, ilmu yang populer sekarang dengan sebutan ilmu agama terfokus kepada fiqih, tafsir dan hadits. Itulah yang memiliki supremasi dan lebih dominan. Dikembangkan oleh ulama-ulama shahabat, tâbi’in dan tâbiut tâbi’in di masjid-masjid, kuttab, zawiyah atau rumah-rumah ulama. Sedangkan ilmu umum, berawal setelah masuknya ilmu-ilmu asing yang berasal dari tradisi hellenistik ke dalam kurikulum pendidikan Islam dan dikembangkan melalui halaqah-halaqah pribadi atau perpustakaan-perpustakaan seperti Dârul Hikmah dan Baitul Hikmah. Transformasi ilmu asing ini terjadi melalui penerjemahan, penelitian, kajian dan diskusi yang dilakukan ulama khususnya pada masa ‘Abbasiyah. (Lihat: Marwan Saridjo [editor], Mereka Bicara Pendidikan Islam, 2009: hlm. 329-329).
Sebenarnya, dualisme ini tidak menunjukkan bahwa gambaran ilmu dalam Islam itu sesuatu yang saling menafikan, melainkan sebatas sumber ilmu yang berbeda. Menurut Ibnu Taimiyyah (sebagaimana dinukil dalam buku Manhaj Syaikhul Islâm Ibn Taimiyyah fid Da’wah ilallâhi Ta’âlâ: 1996), bahwa ilmu dibagi menjadi dua bagian; ilmu yang dibatasi sumber pengambilannya (muhaddadah), yaitu hanya dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Juga ilmu yang tidak dibatasi sumber pengambilannya (ghair muhaddadah), di samping dari Al-Qur’ân dan As-Sunnah, bisa didapat pula dari selain keduanya, baik dari orang mukmin atau dari selain orang mukmin. (‘Abdullah bin Rasyid al-Hausyani, 1996: hlm. 177)
Namun dalam perkembangan berikutnya, dualisme ini tidak sekadar menunjukkan sumbernya yang berbeda, tetapi menjadi semacam kesimpulan dalam aplikasinya. Membicarakan ilmu agama, berarti menafikan ilmu umum. Dan membicarakan ilmu umum, berarti menafikan ilmu agama.
Dalam analisa Prof. Dr. Ismail Razi Al-Faruqi (dalam bukunya: Tanggung Jawab Akademikus Muslim dan Islamisasi Ilmu Sosial: 1987), mengentalnya dualisme ini sebagai buah jajahan di negeri-negeri Muslim. Menurutnya, penjajah dan antek-anteknya mencurahkan perhatian terhadap sistem ini dan membuatnya sebagai tandingan sistem pendidikan Islam yang penyebarannya telah diboikot dan dienyahkan dari kehidupan sehari-hari. Setelah merdeka dan penjajah pergi, kepemimpinan kita mengikuti sistem penjajah ini dan memberikan angin baik serta peluang bagi sistem Barat hingga menjadi sistem satu-satunya. Sistem Islam tersingkir, tetap mundur dan tidak efektif. Kelalaian ummat hampir saja mundur dan sistem yang sama-sama memiliki kelemahan. Orang yang mempunyai keahlian dalam sains modern tidak mengenal identitas dan warisan sejarah dan tidak mempunyai pandangan peradaban yang jelas. Sedangkan orang yang mendalami ilmu-ilmu keislaman hanya mencukupkan ilmu fiqih dan tidak mengenal sains modern, meskipun mereka hidup dalam dunia modern dan merasakan problemanya. Kesenjangan tersebut menunjukkan lenyapnya jatidiri ummat dan hilangnya hakikat konsep ilmu. Dalam bahasa Al-Faruqi: “Mereka bukan penduduk asli dan bukan orang asing, bukan ke Islam dan bukan ke Barat.” (Ismail Razi al-Faruqi, 1987: hlm. 23-24)
Menuju Pendidikan Integral
Terlepas adanya pengaruh yang lain, di era modern yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, seyogianya lembaga pendidikan Islam harus lebih terdorong untuk menciptakan pendidikan Islam yang tidak dikotomistik. Sekalipun nampak sulit untuk diterapkan (sebagaimana latar belakang sejarah awal pendidikan Islam yang terkesan dikotomistik), terlebih sistem pendidikan di Indonesia menggunakan sistem “multi atap” atau tidak “satu atap.” Yaitu ada yang di bawah naungan Departemen Agama untuk pendidikan agama dan ada yang di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional untuk pendidikan umum. Bahkan ada pula pendidikan kedinasan dalam naungan instansinya masing-masing.
Sebagai upaya mencari jalan keluar dan mengembalikan kepada hakikat ilmu dalam Islam yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum. Menurut ‘Abdul Halim Mahmud (Syaikh Al-Azhar) sebagaimana dinukilkan Syaikh Yûsuf al-Qaradhawi dalam Ad-Dîn fî ‘Ashril ‘Ilmi bahwa dikotomi ilmu ini sebenarnya lahir di dunia Barat, khususnya Eropa yang jauh dari nilai-nilai dan norma keislaman. Hal ini menggambarkan adanya dikotomi dua sudut pandang pengetahuan itu muncul di sebuah lingkungan yang jauh dari spirit atau semangat ajaran Islam. (Yûsuf al-Qaradhawi, 2003: hlm. 39)
Maka beberapa tawaran para pakar pendidikan Islam kontemporer seperti halnya Syed Naquib al-Attas (ilmuwan Malaysia) dan Ismail Razi al-Faruqi (ilmuwan Mesir kelahiran Palestina) yang mendorong ke arah Islamisasi Ilmu dengan menjadikan tauhid sebagai landasan dan tujuan keilmuan. Tidak ketinggalan pula gagasan pendidikan Islam integral Dr. Mohammad Natsir dengan mendirikan PENDIS-nya dapat kita renungkan, di mana menurutnya pendidikan Islam harus bertitik tolak dan berorientasi kepada tauhid. Artinya, yang disebut pendidikan integral adalah pendidikan yang memadukan dua kubu keilmuan dengan “berteraskan” (berbasiskan) Tauhid. Allâhumma faqqihnâ fid dîn … Rabbanâ zidnâ ‘ilman warzuqnâ fahman
____
*) Makalah ini disampaikan pada Halaqah Mudarrisîn di Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut dan Guru-guru di Lingkungan Pendidikan Terpadu Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa Barat