PENGERTIAN ‘ULAMA DAN KARAKTERISTIK AHLI ILMU
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Pengertian ulama
Secara bahasa, kata ulama (‘ulamâ`) merupakan bentuk jamak dari kata Arab ‘alîm, artinya seseorang yang memiliki kualitas ilmu, pengetahuan, kearifan, sains dalam pengertian yang lebih luas. Dalam pengertian ‘maha’ (mubâlaghat), artinya sangat mengetahui (maka Allah bersifat ‘Alîm). Menurut H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam sebagaimana dikutip Dr. Rifyal Ka’bah, pemakaian kata ulama yang popular adalah bentuk jamak dari ‘âlim, artinya yang memiliki pengetahuan, orang alim dan seterusnya. (Lihat: Krisis Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi, 1988: hlm. 3)
Dalam Al-Mu’jam al-Wasîth, dijelaskan bahwa al-‘ilmu itu sendiri yang memberikan kualitas kepada ‘ulama, di mana ilmu memiliki pemahaman “hakikat sesuatu” yang dipakaikan untuk menunjukkan sejumlah masalah dan pokok-pokok umum yang dipertemukan oleh arah yang sama, seperti ilmu nahwu, sharaf, ma’âni, bayân, badî’, syâ’ir, retorika (ketujuh ilmu itu dinamai ilmu adab), ilmu kalam, ilmu bumi, ilmu kosmos (kosmologi) dan ilmu peninggalan sejarah (arkeologi). Dalam pengertian modern, kata ‘ilmu dipakaikan juga untuk menyebut ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang menghendaki percobaan, observasi dan pengujian, baik ilmu-ilmu dasar seperti kimia, fisika, falak, matematika, tumbuh-tumbuhan, hewan dan geologi atau ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran, teknik, pertanian dan sebagainya. (Dr. Ibrahim Musthafâ dkk, 1392: hlm. 624)
Kata jamak ‘ulamâ` dalam al-Qur`an, disebutkan dua kali (QS. As-Syu’ara/ 26: 197 dan Fâthir/ 35: 28). Yang pertama mengenai ulama Bani Isrâ’il dan kedua ulama dalam pengertian umum, yaitu para ahli, ilmuwan atau sarjana dalam berbagai keahlian. Bentuk jamak lainnya adalah ‘âlimûn atau ‘âlimîn, yang disebutkan empat kali dalam al-Qur`an; dua kali sebagai Allâh (QS. Al-Anbiyâ’/ 21: 51, 58) dan dua kali sebagai manusia (QS. Yûsuf/ 12: 44 dan Al-Ankabût/ 29: 43).
Sebagaimana diuraikan Rifyal Ka’bah, ada beberapa pengertian mengenai ulamâ` Bani Isrâ’îl, diantaranya M. Yusuf Ali dalam The Holy Qur`an; Translation and Comentary mengartikannya dengan “the learned of the children of Israel” (orang-orang pandai Bani Israel), Muhammad Asad menerjemahkannya dalam The Message of The Qur`an dengan “the learned men from among the children” (orang-orang pandai dari kalangan Bani Israel), sedangkan Mohammad Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of the Glorious Koran menyebutnya dengan “the doctors of the children of Israel” (penuntut agama atau agamawan Bani Israel). (Dr. Rifyal Ka’bah, 1998: hlm. 4)
Adapun pengertian ‘ulama` secara umum, dapat dipahami dari konteks ayat (QS. Fâthir/ 35: 9-28). Allah mengungkapkan berbagai fenomena alam yang merupakan lapangan penelitian ilmu pengetahuan; Allah meminta manusia untuk memperhatikan bagaimana angin mengalahkan awan mendung dan menurunkan air hujan ke tanah yang tandus sehingga menjadi daerah pertanian, manusia diminta untuk memperhatikan asal-usul manusia, bagaimana genangan air tawar seperti pada sungai dan danau dan genangan air asin yang menghasilkan ikan sebagai santapan manusia dan kulit binatang sebagai pakaian, bagaimana siang hari terkadang lebih panjang dari malam dan sebaliknya, bagaimana orang buta tidak dapat disamakan dengan orang yang mempunyai penglihatan seperti halnya kegelapan tidak dapat disamakan dengan cuaca terang atau orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan manusia yang telah meninggal dunia. Allah juga meminta untuk mengamati tumbuh-tumbuhan berbagai bentuk dan jenis antara tanah di lorong bukit dan gunung dengan unsur batu-batuan serta stratanya yang beragam dan bagaimana manusia dan bangsa hewan mempunyai jenis dan bentuk yang tidak serupa. Setelah menyebutkan berbagai fenomena tadi, maka Allah ‘azza wa jalla menyebutkan: “Hanya saja yang takut kepada Allah itu adalah hamba-Nya yang ulama.” Maka, sampai di sini dapat dipahami bahwa ulama sebenarnya tidak terbatas pada orang yang mengetahui tentang seluk beluk ajaran Islam yang murni keagamaan saja, melainkan mencakup semua orang yang mempunyai pengetahuan mendalam pada bidang tertentu atau berbagai bidang.
Hal ini sejalan dengan kesimpulan para ulama, para peneliti (klasik maupun kontemporer) seperti halnya Dr. Abdul Hafizh Hilmi Muhammad dalam Al-‘Ulûm al-Buyulugiyat fî Khidmati al-Qur`an al-Karîm. Yang jelas, kata kuncinya adalah terletak pada ketundukkan kepada Rabbul ‘Âlamîn sebagai pemberi ilmu sebagaimana dijelaskan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam Al-Rasûl wa al-‘Ilmu sebagai berikut: “Yang takut kepada Allah tidak lain adalah hamba-Nya yang ulama, maksudnya adalah bahwa yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan yang menghormatiNya dengan penghormatan yang layak hanyalah orang yang mengenalNya serta mengenal kebesaran kekuasaanNya terhadap makhlukNya sebagai hasil pengamatan atas rahasia alam dan syari’atNya, mereka adalah ulama. Rasa takut inilah yang akan memancarkan amal kebajikan dan menjauhkan kejahatan.” (Dr. Rifyal Ka’bah, 1998: hlm. 6-7).
Pandangan senada diungkapkan pula ulama lainnya; mulai dari Imam Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nâshir al-Sa’di dalam Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Manân dan Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan dalam Al-Muntaqâ Min Fatawa.
Karakteristik Ahli Ilmu
Sebagai ahli waris para Nabi, sudah tentu para ulama memiliki karakteristik yang unik dan persyaratan yang utama. Memprioritaskan diri untuk menguasai dan memahami ilmu-ilmu syara’ (‘ulûm al-syar’i) terutama Kitabullah dan Sunnah rasulNya menjadi amalan yang sangat penting dalam hidupnya, mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu untuk menggali kedalaman ilmu menjadi rutinitasnya, senantiasa melakukan pengembaraan ke majlis-majlis dan sumber-sumber ilmu (rihlat ‘ilmiyat) merupakan pekerjaan yang selalu digelutinya, selalu menyeimbangkan diri antara ilmu dan perbuatan sebagai bahan mawas diri tentang siapa dirinya. Serta menjaga moralitas keulamaan selalu dipelihara dan dijaganya. Hal ini dijelaskan para ulama dalam beberapa kitabnya, di antaranya: Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim dalam Waratsat al-Anbiyâ`, Syaikh Abdul Fattah dalam Qîmat al-Zaman ‘inda al-‘Ulamâ`, Abu Anas Majid al-Bankani dalam Rihlat al-‘Ulama` fî Thalab al-‘Ilm, Al-Khatib al-Baghdadi dalam Iqtidhâ’ al-‘Ilm al-‘Amala, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajurri dalam Akhlâq al-‘Ulama`.
Dengan karakternya yang prima, membuat dirinya menjadi sosok yang memiliki multi kebaikan dan kepribadian serta keilmuan. Menurut Syaikh Nâshir Abdul Karim al-‘Aql (Dosen Senior Universitas Imam Su’ûd Riyadh), ulama adalah ahli ilmu (ahl al-dzikr), penyeru dakwah (du’ât ilallâh), pemilik wewenang yang dipercaya ummat dalam menentukan urusan (ahl al-hal wa al-‘aqd, ûlu al-amr), pemegang musyawarah (ahl al-syûra) dan pemimpin agama. Di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat unggulan di antara manusia lainnya (afzhal al-nâs), lebih menjaga diri dan lebih takut kepada Allah (azkâ al-nâs wa ahsyâhum lillâh), menjalankan misi al-amru bi al-ma’rûf wa al-nahyu ‘ani al-munkar dan mereka adalah saksi kebenaran tauhîdullâh. Maka menurutnya, sejatinya ulama itu adalah para da’i dan du’at itu adalah para ulama. (Lihat: Al-‘Ulamâ` Hum al-Du’ât, 1417: hlm. 6-8)
Untuk melukiskan betapa mulianya para ulama, Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan mereka laksana bintang bertaburan di langit dari segi manfaatnya di tengah-tengah ummat lainnya. Dituturkan dalam sabdanya: “Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit yang bersinar (memberi petunjuk) dalam kegelapan malam di daratan dan di lautan, apabila bintang-bintang itu sirna, maka sebagian malam akan gelap (orang-orang pun tersesatkan).” (HR. Ahmad 7/ 153 dari shahabat Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anh).
Demikian pula dalam hal menentukan kebijakan, ilmu dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Maka, ulama dan umara hendaknya merupakan satu kesatuan. Dengan keduanya, kehidupan dapat terjaga dan terpelihara. Apabila salah satunya rusak, maka rusaklah ummat. Ilmu laksana ruh dan kekuasaan laksana jasadnya (al-‘Ilmu wa al-sulthân rûhun wa jasadun).
Ini sejalan dengan pandangan Ibnu Taimiyah, yang mengatakan bahwa pemegang kebijakan itu ada dua, yaitu umarâ dan ‘ulamâ. Di tangan keduanyalah segala perkara dapat diputuskan. (Syaikh Qasim Syihâb Shabbah, Al-‘Ulamâ Manârat al-Hukkâm, 2008: hlm. 56-57)
Sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi dalam Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim, Ishaq bin Abdillah bin Abi Furwah mengatakan: “Manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Ulama bertugas menyampaikan petunjuk untuk segenap manusia sebagaimana para Rasul dan ahli jihad pun demikian pula. Lalu Sufyan bin ‘Uyainah menambahkannya: “Setinggi-tingginya kedudukan manusia di sisi Allah di antara hamba-hambanya adalah para Rasul dan para ulama.” (Syaikh Qasim Syihâb Shabbah, 2008: hlm. 10)
Semua itu menunjukkan dengan jelas, bahwa para ulama benar-benar ahli waris para Nabi dan pelanjut amanah perjuangan para Rasul. Sesuai dengan sunnatullah, kemunculannya senantiasa ada di setiap zaman dan selalu mengibarkan al-haq di tengah-tengah rusaknya ummat manusia. Maka muncullah para ulama di setiap zamannya dengan keilmuan dan kecenderungan yang berbeda.
Sebagai contoh Imam Madzhab yang popular (Abu Hanîfah, Mâlik, As-Syâfi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahullâhu ‘anhum), mereka berbeda dalam hal fiqih namun mereka sama dalam hal aqidah. Menurut Dr. Wahbah Zuhaili sebagaimana dinukil Dr. Dede Rosyada (1996: 117-118), mereka terdiri dari para Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang sangat mandiri dalam melakukan kajian ijtihadnya, berijtihad dengan menggunakan kaidah-kaidahnya sendiri dan merumuskan dasar-dasar pemikiran yang menjadi asas dalam perumusan kaidah-kaidahnya itu. Sedangkan yang tidak melahirkan kaidah-kaidah sendiri namun bersikap kritis terhadap imamnya disebut Mujtahid Muthlaq Ghair Mustaqil (seperti Abu Yusuf dan As-Syaibani dari kalangan Hanafiyah, Ibnu al-Qasim dan Asyhab dari kalangan Malikiyah dan Buwaihi serta Al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah). Tingkatan berikutnya adalah Mujtahid Takhrij, di mana mereka sangat terikat dengan kaidah-kaidah imamnya dan mereka tidak melakukan kritik terhadap imamnya (seperti Hasan bin Ziyad dan Al-Kurakhi dari kalangan Hanafiyah, Abhari dan Ibnu Abi Zaid dari Malikiyah, serta Abu Ishaq Al-Syairazi dan Al-Maruzi dari kalangan Syâfi’iyah). Mujtahid tingkatan ini, terkadang disebut pula Mujtahid fi al-Madzhab. Berikutnya tingkatan Mujtahid Tarjih, yaitu mereka yang tidak memenuhi kriteria kelompok pertama, kedua dan ke tiga, namun menguasai ilmu fiqih dengan baik, mengusai madzhab imamnya, memahami dalil-dalil yang menjadi dasar fiqihnya. Masuk dalam kelompok ini Al-Quduri dan Al-Qinani dari kalangan Hanafiyah. Dan terakhir Mujtahid Fatwa, yaitu mereka yang cukup menguasai fatwa-fatwa fiqih imam madzhabnya, namun kurang menguasai kaidah-kaidah ushulnya sehingga tidak punya kecakapan dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut pada berbagai furu’, juga kurang punya kecakapan dalam melakukan kajian analogis untuk menetapkan hukum atau tarjih terhadap fatwa-fatwa yang ada.
Oleh karenanya, dikatakan ulama apabila seseorang memiliki profil keulamaan (khususnya dalam integritas keilmuan), di samping moralitas dan khidmatnya terhadap ummat.
Sekedar menyebutkan salah satu kriteria skill yang harus dimiliki (sekalipun tidak menguasainya), minimalnya memiliki kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria-kriteria berikut ini:
1. Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum, baik makna semantik, maupun konotasi hukumnya. Dan dalam hal ini, seorang mujtahid tidak dituntut hafal seluruh ayat ahkam tersebut, namun paling tidak dia harus tahu tempat ayat-ayat hukum tersebut, sehingga dapat mencarinya secara cepat pada saat perlu.
2. Seorang mujtahid juga harus mengetahui dan memahami makna hadits-hadits hukum, baik makna semantik maupun konotasi hukumnya, sebagaimana ayat-ayat hukum, seorang mujtahid juga tidak dituntut untuk hafal seluruh hadits hukum, namun setidaknya ia harus tahu tempat-tempatnya, dan dapat mencarinya secara cepat saat diperlukan.
3. Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan yang menasakhnya, sehingga dia tidak berpegang pada dalil yang secara hukum sudah tidak terpakai lagi.
4. Seorang mujtahid juga harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan lewat ijma‘, sehingga ia tidak melahirkan fatwa yang berbeda dengan hasil-hasil ijma’ tersebut.
5. Mengetahui dan menguasai metodologi qiyâs dengan baik. Dia mampu melakukan identifikasi furu’ dengan baik, lalu memproyeksikan “ashal”-nya yang telah ditetapkan oleh nash, untuk dikaji kesamaan-kesamaan ‘ilatnya dengan furu’. Kalau ternyata keduanya mempunyai kesamaan ‘ilat, maka hukum furu’ sama dengan hukum ashal.
6. Seorang mujtahid juga harus memahami Bahasa Arab dengan baik. Dia harus menguasai gramatika, bentuk-bentuk kalimatnya, segi-segi kesastraannya, ‘âm dan khâs, serta muthlaq dan muqayyad-nya, karena Al-Qur`an itu berbahasa Arab. Oleh karena itu, segala segi yang berkaitan dengan kebahasaan arab harus dikuasai dengan baik oleh seorang mujtahid.
7. Seorang mujtahid juga harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh dengan baik, dan bahkan harus menguasai dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga bila mana perlu ia menciptakan kaidah tersendiri.
8. Dan terakhir, seorang mujtahid harus memahami maqâshid al-syarî’ah, karena maqashid syari’ah itu merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai lewat pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Sungguh Allah ‘azza wa jalla akan memunculkan mereka di setiap zaman dengan anugerahnya, sehingga bumi ini tidak akan pernah sepi dari orang-orang mulia yang senantiasa mengibarkan kebenaran (zhâhirîna ‘alâ al-haq) di tengah-tengah ummat manusia. Allâhumma faqqihnâ fid dîn
_____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.
Bagus dan menggungah. Termksih ustdzz