MENGHIMPUN YANG TERSERAK MENGOKOHKAN PEMAHAMAN ‘AQIDAH (Istifâdah dari Bedah Buku “Risalah ‘Aqidah”)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Berpijak pada ungkapan seorang filosof berkebangsaan Prancis Henry Louis Bergson (1859-1941) yang menuturkan: “Seni dan budaya akan sirna dari jiwa seseorang, seiring perjalanan waktu. Yang tidak akan lenyap dari jiwa seseorang itu, adalah keyakinan terhadap agama”. Sedemikian pentingnya menghadirkan “Tuhan” dalam kehidupan manusia siapa pun ia, sampai-sampai seorang tokoh Atheis basteran Inggris-Polandia itu pun, pada akhirnya tidak dapat menyembunyikan pandangan terpendamnya.
Bagi kita yang meyakini bahwa Iman, Islam dan Ihsan sebagai rukun agama ini, merupakan anugerah yang paling berharga dalam mengawal manusia untuk menjadi insan bertauhid. Dengan Tauhid inilah, manusia menjadi berharga. Dan dengan Tauhid inilah manusia menjadi bermakna. Ketika tauhid ini berkembang menjadi ilmu, maka ilmu ini mendapatkan kedudukannya sebagai “semulia-mulianya ilmu” (asyraful ‘ulûm). Karena itulah para ulama menghukumkan, bahwa mempelajari ilmu Tauhid hukumnya fardhu ‘ain.
Belajar ilmu Tauhid, hakikatnya adalah membentengi diri mengawal jiwa untuk tetap berada dalam fithrah Rabbul ‘Âlamîn. Dengan selalu mempelajari pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullâh), para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasuNya, tentang kehidupan hari akhir, serta pengetahuan tentang qadha’ dan qadarNya. Juga semua masalah metafisika (ghaibiyyât) yang tidak dapat dicerna akal manusia. Dalam hal inilah, yang bisa menjawab hanyalah keimanan seseorang.
Dalam sejarah keilmuan, membincangkan perkara ketuhanan dan yang berkaitan dengannya tidak luput pula dari beragam pandangan, bahkan melahirkan madzhab-madzhab ‘aqidah seperti halnya madzhab-madzhab fiqih. Lahirnya istilah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dengan semua varian penafsirannya menjadi sangat serius ketika mengkristal menjadi faham teologi yang berbeda-beda; faham Asy’ariyyah Imam Abul Hasan al-Asy’ari di Baghdad, faham Mâturidiyyah Imam Abu Manshûr al-Mâturidi di Samarqand, faham muhyi atsar as-salaf Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya (Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, Ad-Dzahabi, Abul Fida Ibnu Katsir, Ibnu Al-Hadi) di Damascus yang berkembang menjadi Madrasah Ibnu Taimiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arabia dan lain-lain.
Demikian pula dalam hal menamakan ilmu yang tengah dipelajari ini, apakah cukup dinamai Ilmu Tauhîd (ilmu tentang mengesakan Allah ‘azza wa jalla), Ilmu Ushûluddîn (ilmu tentang pokok-pokok agama) dan ‘Aqîdah al-Islâmiyyah (ilmu tentang keyakinan-keyakinan yang prinsip dalam Islam). Apakah pendekatannya dengan Ilmu Kalam, Teologi Islam dan Filsafat Islam? Tentu jawabannya tidak sesederhana kita mengucapkannya, perlu kajian seksama dan pendalaman literatur yang mendukung.
Buku “Risalah Aqidah” terbitan Persis Pers (2019) yang ada di tangan kita hari ini merupakan kumpulan tulisan bersama yang dimuat pada Majalah Risalah Bandung (Kolom ‘Aqidah Salimah) dengan rentang waktu 2009-2018, di mana sudah dipastikan isinya kurang murattabah dari sisi sistematika penulisan yang masih jauh dari kata ilmiah. Namun, apabila dilihat dari sisi binâan, in syâ Allah buku dengan melibatkan enam penulis muda ini (Teten Romly Qomaruddien, Syarif Hidayat, Haris Muslim, Eka Permana Habibillah, Muslim Nurdin dan Andri Al-Jihad) dapat dijadikan bacaan alternatif dalam pembinaan aqidah ummat.
Buku ini, berupaya memaparkan pelbagai masalah ‘aqidah dan sikap masyarakat dalam beraqidah. Oleh karenanya, klasifikasi bahasan (mubawwabah) buku menjadi tiga bab sudah dianggap mendekati benar, yaitu: aqidah yang selamat (’Aqidah Salîmah), aqidah yang buruk (’Aqidah Sayyi’ah) dan Kapita Selekta yang membahas berbagai persoalan-persoalan ’aqidah yang muncul di tengah-tengah ummat (baik zaman dahulu atau sekarang). Meskipun demikian, pembagian kategori sub judul tersebut masih bisa dikritisi, baik dari segi istilah atau pun dari segi kategori judul per judul.
Pesan yang ingin disampaikan adalah, dengan dikompilasikannya tulisan-tulisan tersebut, minimalnya upaya turut serta dalam mengawal aqidah ummat dari berbagai penyimpangan (inhirafât) dapat tertunaikan sebagai misi al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menyimpang dari ’aqidah yang benar, di antaranya: faktor kebodohan (al-jahlu), faktor fanatik (at-ta’ashub), faktor ikut-ikutan tanpa ilmu (at-taqlidul a’ma), faktor berlebih-lebihan (al-ghuluw) dan lain sebagainya. Adapun solusinya, di antaranya kembali kepada Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar dalam mengambil sandaran ’aqidah shahihah dan senantiasa memberi perhatian terhadap pengajaran ’aqidah di berbagai jenjang pendidikan dan pengajaran.
Untuk lebih mematangkan tulisan yang telah menjadi buku dengan tebal 550 halaman ini, perlu memperhatikan berbagai masukan sebagaimana disarankan dalam Istifadah dan Bedah buku (halaqah ke-17) Madrasah Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah yang menghadirkan: Drs. Syamsul Bahri Ismail, MH. (Sekretaris Majlis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah), Dr. Darwis Abu Ubaidah (penulis buku Panduan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâah) dan KH. Abdul Wahid Alwi, MA. (Wakil Ketua Umum bidang Luar Negeri dan Musyrif Majlis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah).
Di antara beberapa masukan berharga yang penting untuk disajikan di sini adalah:
1. Penulisan sejarah tentang Ilmu Tauhid yang sudah muncul sejak abad ke-3 H. perlu mendapatkan prioritas pembahasan. Demikian pula dengan istilah ‘Aqîdah sebagai disiplin ilmu yang mulai populer abad ke-5 dan abad ke-6 H. Atau istilah Fiqhul Akbar setelah abad ke-6 yang dipopulerkan Imam Abu Hanifah.
2. Perlu adanya kejelasan tentang pemaknaan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah” tanpa menafikan pandangan-pandangan ulama ushûluddin mu’tabar lainnya, selain pandangan para ulama aqidah yang dijadikan rujukan para penulis buku ini.
3. Pentingnya kembali mendudukkan periode salaf dan khalaf secara proporsional, karena istilah keduanya sangat mempengaruhi terhadap ijtihad yang dihasilkan dengan istinbâth yang berbeda-beda. Contoh paling nyata soal pembagian Tauhid menjadi tiga; rubûbiyyah, ulûhiyyah dan al-asmâ was shifât.
4. Penggunaan narasi dan diksi, ada beberapa yang perlu diselaraskan. Sebagai contoh, memaknai as-shirâth al-mustaqîm dengan “satu-satunya jalan kebenaran” atau “induk jalan kebenaran”.
5. Untuk memenuhi azas perfeksionis sebuah buku, tentu akan lebih baik lagi apabila setiap penulisan ayat Al-Qur’an menyesuaikan dengan standar mushhaf rasmul utsmâni. Demikian pula dengan hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, koreksi takhrij dan shahih-dhaifnya periwayatan yang dibawakan lebih mendapatkan perhatian.
Terlepas dari plus minusnya buku yang telah tersajikan ini, semoga menambah semangat berliterasi dan kemanfaatan bagi mereka yang menginginkan keutamaan dan kemuliaan. Terutama, dalam membersamai ummat dengan da’wah binâan (bimbingan ilmu) dan da’wah difâan (menjaga dan membentengi aqidah dari berbagai penyimpangan). Wallâhu a’lam bis shawwâb … Allâhumma faqqihnâ fid dîn …
___________
*) Ditulis pada hari Rabu, 11/ 03/ 2020 sebagai apresiasi yang tinggi atas berbagai saran dan masukan yang telah dihaturkan untuk lebih baiknya penulisan buku Risalah Aqidah ini.