RAMADHAN KITA; ANTARA TAQDÎR DAN MAQÂSHIDUS SYARÎ’AH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Membicarakan ajaran agama, maka sudah pasti akan masuk pada bahasan ‘aqîdah sebagai landasan pokok keyakinan (ashlun, ushûl) dan masuk bahasan syarî’ah sebagai praktek ritual (far’un, furû’). Sinergi keduanya merupakan keniscayaan, sedangkan keberpisahan keduanya merupakan kemustahilan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan:
إعلم أن الإيمان والإسلام يجتمع فيهما الدين كله
“Ketahuilah! Sesungguhnya Islam dan Iman itu keduanya bersatu padu.” (Lihat: Kitâbul Imân, hlm. 3)
Lalu, Imam Muhammad ‘Ali As-Syaukâni merincikan terkait kesinambungan ini dengan menukil ayat QS. As-Syûra/ 42: 13 berikut ini: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepadaNya).”
Menurutnya, “Sudah diketahui, apa yang diajarkan agama ini, adalah tauhid, keutamaan-keutamaan dan pokok-pokok syari’at yang diwasiatkan Allah sejak nabiyullah Nuh untuk kebaikan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat.” (Lihat: Fathul Qadîr, 4/ hlm. 529)
Dalam sinergi keduanya ini, Dr. Sa’ad bin Nâshir as-Syatsri (Pakar Syari’ah di Riyadh) dalam karyanya Taqsîmus Syarî’at Ilâ Ushûl wa Furû’ menyebutkan (terlepas dari perbedaan pendapat, mana yang harus lebih dahulu dipelajari dari keduanya; ushul ataukah furu’). Dalam pandangannya: “Furu’ berkait erat dengan ushul, karenanya hukum dibangun dan disimpulkan melalui jalannya. Dengan perantara ushul, maka hukum furu’ bisa diambil. Dan tingkatan ijtihad dalam suatu hukum tidak dapat diketahui, melainkan dengan mengetahui ushulnya secara cermat.” (As-Syatsri, 1996: hlm. 18).
Demikian itu menunjukkan betapa keduanya saling bersesuaian dan keterkaitan (talâzum). Tidak terkecuali dalam pembahasan Ramadhan kita kali ini, tidaklah lepas dari keduanya. Di antara perkara penting yang perlu diketahui adalah kaitannya dengan taqdir kaum Muslimin yang menunaikan ibadah di tengah wabah dengan segala persoalan yang membutuhkan penjelasan maqâshid syari’ah-nya. Menyingkap taqdir itu urusan ‘aqidah, sedangkan mengetahui maksud suatu hukum termasuk syari’ah.
Ramadhan dan Taqdîr
Dalam urusan ‘aqidah, belakangan ini sempat terjadi, apakah memaksa untuk menunaikan ibadah di dalam masjid itu dibenarkan atau tidak di tengah wabah? Atau sebaiknya tetap tinggal di rumah. Setelah itu muncullah pandangan; sebaiknya ibadah di mesjid tetap dijalankan seperti biasa, adapun urusan mati terkena wabah urusan yang Maha kuasa. Tanpa disadari, cara berfikir semacam ini melahirkan pandangan new jabariyyah. Atau kebalikannya, urusan wabah ngak ada hubungannya dengan yang Maha kuasa, segalanya diserahkan kepada kita aja. Maka dengan sendirinya, tanpa disadari telah melahirkan pandangan new qadariyyah.
Kondisi tersebut, mengingatkan kita pada perdebatan masa lampau terkait taqdir Allah untuk manusia. Di mana pandangan di atas tidak jauh berbeda dengan ajaran induknya, yakni qadariyyah dan jabariyyah itu sendiri. Kedua sekte ini muncul di akhir era para shahabat, pemahaman keduanya berpangkal dari kelemahan akal mereka dalam memahami dan mengimani taqdir Allah.
Kelompok pertama; mereka yang meniadakan (menafikan) kehendak Allah dan penciptaan perbuatan hamba. Menurut mereka: “Tidak ada irâdah kecuali artinya masyî’ah, yaitu kehendak saja, sedangkan Allah tidak menghendaki selain yang telah diperintahkanNya, dan Allah tidak pernah menciptakan amalan hamba.” Kelompok kedua; mereka yang berlebihan dalam membicarakan taqdir dengan mengatakan: “Irâdah memang bermakna kehendak saja (masyî’ah). Adanya perintah dan larangan tidak mengharuskan adanya kehendak.” Masih menurut mereka; “Hamba itu tidak mempunyai perbuatan dan kemampuan (qudrah) sama sekali. Tetapi Allahlah pelaku dan pemilik kemampuan sejati.” (Lihat: Ibnu Taimiyyah dalam Al-Farqu Bainal Haq wal Bâthil, terj. Membedah Firqah-firqah Sesat, hlm. 50-51)
Seiring dengan dua faham tersebut, dirincikan lagi sebagai berikut:
Golongan yang pertama, sebagian menyebutnya dengan qadariyyah mu’tazilah, di mana mereka mengira bahwa setiap orang bisa menciptakan perbuatannya sendiri tanpa taqdir dari Allah. Merekapun disebut-sebut sebagai “Majusi ummat ini” sehubungan adanya kesamaan pemahaman dengan agama Majusi yang memiliki pemahaman bahwa di alam ini ada dua pencipta, yaitu cahaya yang menciptakan kebaikan dan kegelapan yang menciptakan kejelekan. (Lihat: Syaikh Shâlih Fauzan, Empat Induk Kelompok Sesat, hlm. 48)
Adapun golongan kedua, mereka itulah yang dikenal dengan golongan jabariyyah, di mana mereka berpendapat: “Para hamba adalah dipaksa (majbûr) untuk melaksanakan perbuatannya. Tidak ada baginya perbuatan dan kesanggupan memilih dan berusaha (ikhtiyâr). Dia bagai kapas ditiup angin. Bergerak tanpa kehendak darinya.” (Lihat: Syaikh Shâlih Fauzan, hlm. 49)
Masih menurut Syaikh Shalih Fauzan, dua kelompok ini sama-sama keterlaluannya (ghuluw); keterlaluan dalam menafikan (meniadakan sifat ikhtiyâr) dan keterlaluan dalam menetapkan ikhtiyâr. Qadariyyah berlebihan dalam melepaskan taqdir dari Allah, sedangkan Jabariyyah berlebihan dalam menggantungkan taqdir kepada Allah. Golongan qadariyyah diprakarsai Ma’bad al-Juhani dan dikembangkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi, sedangkan jabariyyah diprakarsai oleh Al-Ja’d bin Dirham dan dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan.
Ramadhan dan Maqâshidus Syarî’ah
Sebagaimana dijelaskan para ulama ushul, maqâshid adalah bentuk jamak dari makshad, artinya sesuatu yang dituju. Maka dikatakan maqâshidus syarî’ah dalam istilah para ulama adalah: “Tujuan, sasaran, hasil akhir atau makna-makna yang terkandung dibalik datangnya syari’at yang bisa menetapkan hukum menuju keleluasaan hakikat sesuatu, keberadaannya dan sampainya sasaran pada setiap situasi dan kondisi.” (Lihat: Ahmad Raisuni, Muhammad az-Zuhaily, Muhammad Utsman Syabîr, Jurnal Kitâbul Ummah, “Huqûqul Insân Mihwaru Maqâshid as-Syarî’at”, 2002: hlm. 70)
Sebelumnya, dalam karya yang lebih rinci, Prof. Dr. Syaikh Ahmad Raisuni (pakar ilmu maqâshid dari Maroko) menulis Nazhariyyatul Maqâshid ‘indal Imâm As-Syâthiby (1992) dan Dr. Yusuf Hamid al-‘Alim dalam Al-Maqâshidul ‘Âmmah Lis Syarî’atil Islâmiyyah (1994)
Kaitannya dengan ramadhan kali ini, mengetahui ilmu ini menjadi sangat penting, di mana dengan datangnya wabah yang melanda dunia berpengaruh besar terhadap cara beragama kaum Muslimin. Beragam perubahan praktek keagamaan berubah dari cara biasanya (ibadah jum’ah berganti zhuhur, shalat fardhu dan shalat sunnat tarawih di rumah, bahkan shalat ‘îdul fithri mendatang apakah sebaiknya ditiadakan atau boleh diganti dengan shalat di rumah?, dan lain-lain).
Menurut Prof. Dr. Washfi ‘Asyur Abu Zaid (pakar ilmu maqâshid Istanbul yang belakangan sering berkunjung ke Jakarta): “Maqâshid Syariah secara ringkasnya; bermaksud, tujuan, natijah atau maksud yang dikehendaki oleh syara’ melalui sumber dalil Al-Quran dan As-Sunnah.” Secara umum juga maqâshid boleh didefinisikan sebagai mewujudkan kebaikan, menolak keburukan dan menghilangkan kemadharatan.
Masih menurut Syaikh Washfi, beliau mengibaratkan ilmu maqâshid dalam syariat sebagaimana ruh bagi jasad. Dengan ilmu maqâshid, syariah menjadi hidup dan selalu sesuai dalam setiap waktu dan keadaan. Karena itu, dengan memahami maqâshid dan kehendak setiap hukum syari’at, menjadikan seorang Muslim memahami dengan benar dalil dan implementasinya sesuai maksud syariat itu diturunkan. Adapun ayat yang dinukil sebagai dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla dalam Surat Thaha/ 20: 2 berikut ini: “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an kepadamu (Wahai Muhammad) supaya engkau menanggung kesusahan.”
Dengan berbagai persoalan yang muncul di saat ramadhan kali ini, maka dengan memahami ilmu maqâshid, minimalnya kaum Muslimin bisa berlapang dada terhadap berbagai perubahan hukum yang tengah dialami bersama. Lima hal penting (dharûriyatul khams) yang wajib dijaga sebagai kebutuhan dalam memetakan maqâshidus syarî’ah tidak lepas dari hal-hal berikut ini: hifzhud dîn atau menjaga agama, hifzhun nafs atau menjaga jiwa/nyawa, hifzhul ‘aql atau menjaga akal, hifzhun nasal/ nasab atau menjaga keturunan dan hifzhul mâl atau menjaga harta benda.
Dari bahasan singkat ini, semoga Allah ‘azza wa jalla selalu memberikan kelapangan bagi hamba-hambaNya dan mendapatkan jalan keluar yang terbaik agar bisa keluar dari cengkraman wabah yang memadharatkan. Terlepas dari berbagai makar manusia, semua kita yakin bahwa bagi Allah sangatlah mudah untuk menghentikan semuanya, namun kita masih tetap diuji agar ikhtiar senantiasa terus dilakukan seiring doa-doa tulus kita sembari merendah di hadapanNya. Âmîn yâ Mujîbas sâilîn
____
*) Ditulis oleh Alfaqîr bakda shalat tarawih, malam ke-23 ramadhan 1441 H., bertepatan dengan hari jum’at tanggal 15 Mei 2020 di kediaman Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa Barat