PANCASILA YANG SAYA PELAJARI KOQ BERBEDA DENGAN YANG DI RUU-HIP? (Keheranan Seorang Santri)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Mungkin kita sudah mendengar dan membaca di media masa atau elektronik, jagad bumi pertiwi berketuhanan Yang Maha Esa ini berguncang dahsyat ketika Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) sebagai bahan rapat Baleg 22 April 2020 digulirkan.
Sebagai santri yang pernah belajar Pancasila tentunya, RUU-HIP ini sangat membingungkan. Di samping sangat membahayakan keutuhan bangsa, juga sangat menodai agama dan tidak berpijak pada keadilan sejarah. Di mana apa yang dirumuskan di dalamnya banyak keganjilan dan mengundang kecurigaan. Karena itu, sangat tidak sesuai dengan apa yang dipelajari dan dibaca selama ini. Keganjilan-keganjilan ini sangat dirasakan oleh banyak kalangan, terutama ketika aroma “Tuhan Yang Maha Esa” dirasakan sangat minim dan tidak disebutkannya ancaman ideologi Pancasila adalah Komunisme/ Marxisme/ Leninisme yang secara jelas telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/ MPRS/ 1966 (Pembahasan berikutnya menyusul).
Sekedar turut serta dalam menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai anak bangsa yang beragama, ingin rasanya berbagi bacaan dalam rangka tabâyun ‘ilmiyyah dan tawâshau bil haq wa tawâshau bis shabri wa tawâshau bil marhamah, yakni “saling menasehati dalam kebaikan, dalam kesabaran dan dalam kasih sayang.”
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, berikut ini dipetikkan kembali pelajaran-pelajaran berharga tersebut:
Pelajaran pertama; Soal Pancasila sebagai dasar negara sudah tidak dipersoalkan lagi: “Menurut Undang-undang Dasar 1945 dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1). Tapi sudah menjadi kebiasaan untuk mengatakan bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Memang kelima-lima sila dari Pancasila itu terkandung dalam Mukkadimah UUD 45. Presiden Soekarno memperkenalkannya dengan istilah weltanschauung, yakni Falsafah negara.” (M. Natsir, Asas Keyakinan Agama Kami, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta: tp. tahun, hlm. 7)
Pelajaran kedua; Ketetapan MPRS menegaskan lagi apa yang termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi. Jadi, “Piagam Jakarta” itu bukanlah suatu yang “haram” untuk disebut-sebut dewasa ini atau kapan pun. Makanya sekarang kita mempunyai Undang-undang Dasar, adalah hasil dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, yang lahir antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa Piagam Jakarta dengan susunannya yang asli berfungsi “menjiwai” UUD 45 sebagai sumber tertib hukum dalam negri kita ini. Sebagian dari refleksinya bertemu juga antara lain dalam pasal 29 UUD ayat 2. (Lihat: Asas Keyakinan, tp. tahun: hlm. 8)
Pelajaran ketiga; Pada saat Presiden Soekarno mendekritkan kembalinya Undang-undang Dasar 1945, Dekrit itu didahului dengan pertimbangan seperti berikut: “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Piagam Jakarta (tujuh perkataan) apakah dapat diartikan kembali pada Undang-undang Dasar 1945? Dekrit itu tidak mengubah Undang-undang Dasar 1945. Itu benar … Akan tetapi Undang-undang Dasar 1945 tidak akan berlaku lagi tanpa Dekrit. Jadi, tiap perkataan dalam Dekrit itu pasti ada artinya. Kalau hadiah itu sudah dikembalikan ummat Islam, maka ada kata-kata dalam Dekrit itu yang mempunyai arti, yaitu: “Piagam Jakarta menjiwai Undang-undang Dasar 1945”. Memang sulit dikatakan dengan arti yang kongkrit. Akan tetapi dengan mempergunakan perkataan “menjiwai” dengan kata-kata biasa saja, kita dapat mengatakan ada orang yang berjiwa besar atau berjiwa kecil. Begitulah untuk mengulangi lagi kata yang dengan jiwa besar diucapkan oleh Jendral Alamsyah, bahwa “Pancasila itu hadiah besar dari ummat Islam kepada Republik Indonesia”, maka kita juga dapat mengharapkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan dengan jiwa Piagam Jakarta. (Lihat: Mohammad Roem, Serial Media Dakwah No. 84, Mei 1981. Dinukil kembali M. Natsir dalam Asas Keyakinan, tp. tahun: hlm. 23-24)
Pelajaran keempat; Kesimpulan Prof. H. Muhammad Yamin, yang dianggap sebagai perumus pertama Lima Asas Negara di samping Soekarno, dan sebagai salah seorang penanda tanganan Piagam Jakarta dari pihak Nasionalis “sekuler”. Di dalam bukunya: Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Yamin mengemukakan postulat (Dalil V) sebagai berikut: “Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata pembuka Konstitusi Republik Indonesia 1945 dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Konstusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang ditanda tangani oleh sembilan orang Indonesia terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara Republik Indonesia harus dibentuk atas paduan ajaran itu.” (H. Endang Saefuddin Anshari, MA., Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia [1945-1949], Gema Insani Press, Jakarta: 1997, hlm. 128)
Pelajaran kelima; Dengan diterimanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh semua golongan dalam masyarakat sebagaimana tercerminkan oleh wakil-wakil mereka di DPR yang dipilih secara benar-benar langsung, bebas dan rahasia, maka Pancasila sebagai Dasar Negara tidak dipermasalahkan lagi. Maka bagi bangsa Indonesia, yang terdiri beberapa suku dan adat istiadat, serta menganut berbagai agama dan ideologi, adalah Pancasila sebagai Falsafah Negara dan pemersatu sebagaimana dilukiskan dalam semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”, yakni bersatu sekalipun ada perbedaan ragam. Setelah melalui ujian berat dan panjang dalam sejarah pemikiran bangsa yang telah menemukan dasar negara sebagai diutarakan di atas, maka pada momentum-momentum yang menentukan seperti sekarang ini, perlu ditegaskan lagi, bahwa menjadi kewajiban bangsa dari semua golongan untuk menjaga kemurnian makna dan fungsi Pancasila, sebagai titik pertemuan dan pemersatu. (Lihat: M. Natsir, Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukkannya yang Konstitusional, tp. penerbit, tp. tempat: tp. tahun, hlm. 1-2)
Pelajaran keenam; “Dan apakah orang-orang yang bertemu dalam Pancasila itu harus menerima sila-sila itu kelimanya atau boleh menerima sebagian-sebagian. Sebab saudara ketua, saya melihat ada golongan yang terang-terang menolak sila ke-Tuhanan, bersedia juga “bertemu” dalam Pancasila itu.” ( Pidato Moh. Natsir dalam Debat Dasar Negara; Islam dan Pancasila Konstituante 1957, Pustaka Panjimas, Jakarta: 2001, hlm. 12).
Pelajaran ketujuh; Perdebatan tentang masalah ini telah berlangsung dengan sengit selama kurang lebih 30 bulan (November 1956 sampai Juni 1959), tanpa mencapai suatu keputusan. Boleh jadi akan terus berlangsung sampai tercapainya sebuah kompromi antara kedua kekuatan itu. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan majelis dan menetapkan UUD 1945 dengan menyingkirkan usul dasar Islam. Dalam dekritnya, Presiden Soekarno masih menyebutkan bahwa Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945 di mana pelaksanaan syari’at bagi pemeluk Islam diakui secara konstitusional, menjadi jiwa dan merupakan satu kesatuan dengan seluruh batang tubuh UUD 1945. (Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Maarif Institute, Jakarta: 2017, hlm. 278)
Pelajaran kedelapan; Pancasila sebagai Filsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama mejadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya. Tidaklah ada suatu agama, dan tidaklah ada satu faham (ideologie) yang dapat menjamin kesuburan Pancasila itu di Indonesia, melebihi Islam. Pertama karena dijamin oleh kesatuan ajaran Islam itu sendiri. Kedua karena pemeluk Islamlah yang terbesar di Indonesia. Dan percobaan mencuri jalan air menjamin suburnya Pancasila di Indonesia, adalah suatu tahsîsul ‘umyân, laksana rabaan-rabaan orang buta di malam gelap gulita. Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Media Dakwah, Jakarta: 1985, hlm. 39-40)
Pelajaran kesembilan; Maka untuk menjamin Pancasila marilah kita bangsa Indonesia yang mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan Muhammad sebagai Rasul bersama-sama menghidupkan agama Islam dalam masyarakat kita. Anjuran kita ini sesuai dengan apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno di dalam pertemuan Pegawai-pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952: “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarekat Islam yang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto …”. Dan kita tambahkan: “Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia. Kita tak usah kuatir Falsafat Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk; Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Lihat: Urat Tunggang Pancasila, 1985: hlm. 40-41)
Pelajaran kesepuluh; Kontemplasi falsafah Pancasila; Diletakkan sebagai falsafah sekaligus fundamen hukum berbangsa-bernegara, nilai religiutas ketuhanan dan komunalitas kebhinekaan dan Pancasila sebagai sebuah nilai dasar falsafah Indonesia menghadapi tantangan berat nilai-nilai dari luar (seperti sosialisme, kapitalisme dan lain-lain). Terkait spiritualisme yang bersifat nilai religiusitas ketuhanan dan komunalitas kebhinekaan, Pancasila yang diambil dari lima nilai dasar tersebut, selalu memiliki ruang dinamika dengan fondasi nilai-nilai Tauhid Islam. Pada titik-titik tertentu, relasi interaksi Islam dan Pancasila selalu konfrontatif. Pada titik lain, dapat menunjukkan keterhubungan. Perlu ditelusuri secara mendasar substansi religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan konsep Tauhid sebagai pengakuan ketunggalan Tuhan dalam religiusitas Islam. (Heru Herdiawanto dkk., Spiritualisme Pancasila, Prenamedia, Jakarta: 2018, hlm. 19-20)
Pelajaran kesebelas; Selama beberapa dekade, Pancasila dijauhkan dari model pemahaman para tokoh Islam perumus Pancasila. Melanjutkan upaya penjajah Belanda untuk menyekularkan Indonesia, kaum Kristen dan sekular terus berusaha menyeret Pancasila ke kutub nativisme dan netral agama. Padahal, para pejuang Islam yang juga para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersepakat Pancasila adalah “dasar negara Tauhid”. (Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam; Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman terhadap Pancasila 1945-2009, Gema Insani Press, Jakarta: 2009)
Pelajaran keduabelas; Untuk mencerna konsepsi yang termuat lima sila (Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) tersebut di atas kita tak dapat menafsirkan satu persatu sila. Sebab, ia adalah lima sila yang satu yang tak dapat dipisah-pisahkan, terlebih dalam menafsirkannya. Lima konsep ini adalah konsepsi yang merangkum kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari teosentris menuju antroposentris atau dari makro kosmik menuju mikro kosmik. Sebab, dimensi ketuhanan tak dapat dipisahkan dari segi dan bentuk apa pun. Ia selalu menyatu sebagai kekuatan. Menyatu sebagai landasan atau dasar berpijak dalam kehidupan. Jika dalam menafsirkan batang tubuh konsepsi “keimanan” Pancasila secara terpisah-pisah (pasal perpasal), maka yang terjadi adalah persoalan ketuhanan tak menyatu dan bahkan dapat menyelesaikan persoalan. Itu artinya sangat bertentangan akan sifat dan nilai (value) ketuhanan yang melingkupi dan mengayomi seluruh cakrawala. Berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasalah bangsa ini lahir. Kini, bangsa ini tak dapat lagi mengenal jati dirinya sebagai Nusantara yang agung jika melepaskan keimanannya terhadap “keimanan” Pancasila. (Ramana Pamuka Alam, Keimanan Pancasila, Kalam Nusantara, Depok: 2016, hlm. 75-76)
Terlepas dari pro-kontra pemaknaannya dalam bentangan sejarah panjang, itulah nukilan penting yang sempat dibaca, pelajaran berharga yang ditelaah dan pelajaran yang diterima betapa agama tidak berbenturan dengan Pancasila. Sungguh kita telah membunuh kebenaran dan mengasingkan nilai-nilai fithrah yang semestinya ada dalam jiwa, apabila kita menafikan prinsip-prinsip agama dari kehidupan kita. Oleh karenanya patut bertanya; “Pancasila model mana yang dimaksud? Lalu, mengapa tidak sama dengan pelajaran yang pernah dibaca??? …” Wallâhul musta’ân
_____
Penulis adalah: Kaprodi KPI STAI PERSIS Jakarta, Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Wakil Sekretaris Komite Dakwah Khusus MUI Pusat