AGAMA FITHRAH DI ANTARA PARA PEMUJA SESAMA MAKHLUQ (Dalil Historis-Teologis Bahwa Tauhîd Harga Mati)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Shahabat mulia Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallâhu ‘anh diutus Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anh memimpin barisan pasukan Muslimin ke Persia bersama juru bicara Rib’i bin ‘Amir Ats-Tsaqafi radhiyallâhu ‘anh melalui gerbang kota Qâdisiyah. Jenderal Rustum sebagai panglima Kekaisaran menyambutnya dengan penuh siaga, lalu sang Jenderal Kekaisaran adidaya kedua di zamannya itu (setelah Kekaisaran Romawi) menghadap sang juru bicara seraya berkata: “Apa yang menyebabkan kalian datang kemari?” sergahnya. Dengan tenang tanpa kehilangan wibawa, sang jubir pun menjawab: “tahrîrun nâs min ‘ibâdatil makhlûq ilâ ‘ibâdatil khâliq; … tidak semata-mata kami datang melainkan ingin membebaskan kalian dari penyembahan sesama makhluq menuju penyembahan terhadap khaliq semata.”
Itulah gambaran umum misi Islam, ketika seruan dakwah dikumandangkan ke seantero jagat tidak lepas dari ajakan bertauhid (da’watut tauhîd, mengesakan Allah) dalam kondisi apa pun. Sebagai agama fithrah, Islam berlepas diri dari berbagai belenggu penyembahan sesama makhluq; menganggap suci manusia yang ditokohkan atau sistem yang diunggulkan tanpa cacat. Sebagai satu-satunya agama yang mengemban misi besar ketauhidan tersebut, secara otomatis akan berhadapan dengan agama-agama besar yang menyelisihinya, yaitu:
1) Yahudi; Agama yang meyakini bahwa Allah memiliki anak bernama ‘Uzair (QS. At-Taubah/ 9:30). ‘Uzair (dibaca Ezra), seorang yang masih diperdebatkan kedudukannya, apakah ia seorang Nabi atau bukan?. Yang jelas, ia seorang Bani Israil keturunan bangsa Lewi yang hafal Taurat, sehingga dengan kedudukannya yang istimewa ini mengantarkan dirinya dipuji dan dipuja sebagai “Anak Tuhan”.
2) Nashrani; Agama yang meyakini bahwa Al-Masih adalah anak Allah (QS. At-Taubah/ 9:30), bahkan Al-Masih itu sendiri adalah Allah (QS. Al-Maidah/ 5: 72). Atau mereka meyakini salah satu di antara yang tiga (tsâlitsun tsalâtsah; bapak, ibu dan anak/ al-Masih) adalah Allah (QS. Al-Maidah/ 5: 73). Maka berikutnya dikenal dengan “Trinitas”.
3) Majusi; Agama yang meyakini bahwa api adalah sumber kehidupan. Mereka lebih dikenal Zoroaster sebagai agama orang-orang Persia kuno dengan berbagai alirannya. Di antara sekte yang paling populer dan sangat ekstrim adalah Mazdakiyah yang banyak diadopsi pemikiran teologisnya oleh kaum Syi’ah di samping mengadopsi ajaran Yahudi, sekalipun banyak tidak diakuinya.
4) Shâbi’in; Agama kuno yang meyakini bahwa setiap bintang dan benda-benda langit memiliki dewa. Sebagian ulama menyebutkan, bahwa ajaran ini sudah ada sejak zaman Nabiyullah Nûh ‘alais salâm. Kini sisa-sisa pemahamannya masih menjalar di sebahagian kalangan yang mempercayai akan perhitungan baik-buruk atas dasar nama-nama zodiaq.
Mereka itulah yang Allah ‘azza wa jalla maksudkan dalam firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, orang-orang Nashrani, orang-orang Majusi dan orang-orang Musyrik, Allah akan memberikan keputusan pada mereka di hari qiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj/ 22: 17)
Masih banyak keyakinan-keyakinan lain yang hampir beririsan dengan agama-agama tersebut dan melahirkan varian-varian sekte baru, baik yang bernuansa falsafati atau pun mistisisme, di mana makhluq, fikiran atau pun hawa nafsu sebagai Tuhannya.
Untuk yang terakhir, merekalah yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan sebagai pengagung hawa nafsu (ahlul hawâ), penyembah materi/ duniawi (mâddiyah, materialisme), atau mereka yang berpijak pada keyakinan bahwa waktulah yang menghitam-putihkan kehidupan mereka (para ulama menyebut nya sebagai kaum dahriyyûn). Karena pengingkaran dan penyimpangannya, para ulama menyebutnya mulhidûn atau zindiq. Lebih populernya dalam bahasa sekarang, mereka disebut kaum atheis atau agnostic.
Secara umum, Allah ‘azza wa jalla pernah menyinggung sikap pemikiran seperti ini dalam firman berikut:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jâtsiyah/ 45: 23)
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa. Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jâtsiyah/ 45: 24)
Sebagai agama fithrah, Islam mengajarkan bahwa prinsip dasar ketauhidan benar-benar sudah ditanamkan sejak manusia diciptakan. Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap yang lahir dalam keadaan fithrah (bertauhid, Islam), berikutnya tergantung siapa yang akan membawanya (abawâhu); akankah menjadi Yahudi, menjadi Nashrani dan menjadi Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
Semoga Rabbul ‘Âlamîn senantiasa memelihara kita untuk senantiasa ada dalam fithrah ketauhidanNya. Âmîn yâ Mujîbas Sâilîn …
____
Penulis adalah; Ketua Prodi KPI-STAI PERSIS Jakarta, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah