EPISODE KELUARGA IBRAHIM; MENGUBAH “DRAMA” MENJADI REALITA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Keutamaan bulan Dzulhijjah kini sudah berlalu; Terhitung tanggal 1 hingga 13 (mulai dari memperbanyak amal kebaikan sejak pekan pertama, shaum ‘arafah, tarwiyah di Mina yang dilanjutkan wuquf bagi yang menunaikan ibadah haji, juga pelaksanaan shalat ‘iedul adhha dan penyembelihan hewan qurban hingga tiga hari tasyriq).
Datangnya bulan mulia ini, laksana sebuah episode “drama” yang terus diputar ulang untuk mengingatkan para pemirsa, yakni ummat manusia akan pengorbanan sosok-sosok agung teladan sepanjang zaman.
Mereka itulah nabiyullâh Ibrahim ‘alaihis salâm, bunda Sarah yang melahirkan nabiyullâh Ishaq ‘alaihis salâm yang akan melahirkan sosok nabiyullâh Ya’qub ‘alaihis salâm bersama keturunannya yang kelak tumbuh kembang beranak pinak dengan sebutan Bani Isrâil. Demikian pula bunda Hajar (wanita yang asalnya budak dan menjadi madunya Sarah), Allah ‘azza wa jalla karuniakan dirinya seorang anak laki-laki yang nantinya dikenal sebagai anak muda teladan yang sangat patuh taat pada Allah dan rasulNya, di samping sangat hormat pada kedua orang tuanya. Dialah nabiyullâh Ismail bin Ibrahim ‘alaihis salâm yang kelak akan melahirkan keturunan manusia terbaik sepanjang zaman dari kalangan Kinânah (rumpun terhormat bangsa Arab yang melahirkan Bani Hasyim dan Suku Quraisy). Manusia agung itu tidak lain adalah nabiyullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salâm, yang dengan segala kebesaran dan kualitas peribadinya bukanlah sekedar menjadikan dirinya terangkat sebagai kekasih Allah (khalîlullâh) dan bapak para nabi (abul anbiyâ), melainkan nama Ibrahim senantiasa disejajarkan dengan nama Rasûlullâh dalam shalawatnya. (Lihat: HR. Muslim, 1992: 1, 191).
اللهم صل على محمد وعلى ال محمد … كما صليت على إبراهيم وعلى ال إبراهيم … وبارك على محمد وعلى ال محمد … كما باركت على إبراهيم وعلى ال إبراهيم … إنك حميد مجيد
Penggalan kisah tentang kekritisan Ibrahim sudah dikenal sejak muda belia (Lihat: QS. Al-Anbiyâ/ 21: 52-57), terutama ketika menepis logika-logika sesat dan gagal fikir pihak-pihak yang menuduh dirinya “pembuat gaduh”, telah mampu dia jawab dengan cerdas dan ilmiah sehingga membuat murka Raja Namrudz dan jajaran kabinetnya. Kekalahan “kekuatan logika” Namrudz itu, tidak berarti sikap arogannya berkurang. Dengan menyembunyikan rasa malu sang Raja pun mengeluarkan jurus barunya, yaitu “logika kekuatan” dengan cara menyeretnya ke arena pembakaran yang telah disiapkan, sekalipun api tidak mampu melumatnya sedikit pun.
Selain militan, Ibrahim tidak hanya dinilai sosok tegar yang berkobar-kobar, sosok kritis yang “berapi-rapi” semata, melainkan seorang sosok yang “berair-air”, yaitu figur seorang ayah yang dapat membawa kesejukkan, kelembutan, ketentraman, serta memberikan arahan yang sangat bijak dan terbuka sekalipun pada darah dagingnya sendiri.
Sungguh laki-laki yang shalih dan berkarakter ini, berhak mendapatkan pendamping yang sepadan pula dengan keshalihannya, dialah bunda Hajar. Dari keduanya itulah, sosok pemuda idaman Ismail lahir. Sinergi seperti ini, merupakan buah yang dipetik dari rangkaian ketulusan do’a seorang sosok ayah nan hebbat Ibrahim ‘alaihis salâm dalam permohonannya agar kiranya Allah jadikan mereka, keluarga dan keturunannya menjadi orang-orang yang berserah diri kepadaNya, serta hidup di bawah aturan dan naungan maghfirahNya. (Lihat: QS. Al-Baqarah/2: 128).
Maka Allah pun mengabulkan permohonan tersebut, berupa diutusnya seorang Rasul di kemudian hari yang dapat menjalankan “trifungsi kenabian”; yakni memaparkan ayat-ayatNya (tilâwah), mengikis nilai-nilai jahiliyyah dengan pensucian jiwa (tazkiyah) dan mengajarkan ummat manusia dengan bimbingan kitabullah dan hikmah (ta’lîm). (Lihat: QS. Al-Baqarah/2: 129, Alu ‘Imran/3: 164 dan Al-Jumu’ah/62: 2).
Apabila direnungkan dengan kedalaman i’tibâr; Seandainya bukan karena bunda Sarah mengikhlashkan budaknya sendiri menjadi istri dari suami yang sangat dicintainya, maka pemuda Ismail tidaklah lahir ke muka bumi. Demikian pula, seandainya bunda Hajar tidak patuh pada perintah suaminya Ibrahim ‘alaihis salâm, maka bunda Hajar pun tidak akan menuai panen pahala dari jutaan, bahkan milyaran manusia yang melaksanakan sai dari Shafa ke Marwah (juga sebaliknya) sebagai salahsatu rangkaian ibadah haji dan umrah hingga kini. Tentu, atas idzin dan qudrah Allah ‘azza wa jalla.
Saat itu (ketika nabiyullâh Ibrahim membawanya ke gurun sahara yang tandus), bunda Hajar hanya bisa bertanya kepada suaminya Ibrahim dengan tatapan penuh makna: “Apakah Allah yang memerintahkanmu meninggalkan kami di sini …?” Ibrahim pun hanya bisa mengangguk seraya berkata lirih: “Ya benar”. Maka jawaban seperti ibunda Ismail ‘alaihis salâm inilah yang terukir dengan tinta emas sejarah. “Jika demikian, maka Allah tidak akan meninggalkan kami begitu saja.” Ujarnya, penuh yakin.
Sekali lagi, ini bukanlah “drama picisan” atau sinetron bualan, melainkan episode hikayat manusia-manusia ikhlash “kelas super” tanpa direkayasa dan nyata adanya. Hikayat sebuah pengorbanan tiada tanding yang berasaskan kepatuhan paripurna kepada Allah ‘azza wa jalla dan keimanan tingkat tinggi yang sulit dicarikan saingan padanannya. Bahkan tidaklah cukup sampai di sana, di kala air mata Bunda belum sempat mengering datanglah ujian baru yang lebih menguras akal sehat, mengikis fikir dan menusuk qalbu berupa perintah agar keluarga bahagia tersebut harus mengorbankan buah hatinya dengan disembelih (Lihat: QS. As-Shaffât/ 37: 102). Kala tetesan air mata Ibrahim jatuh ke bumi, harus rela menyaksikan keteguhan iman anaknya Ismail ‘alaihis salâm, maka kala itu pula keagungan yang Maha berkehendak terjadi, di mana Allah ‘azza wa jalla menggantikannya dengan seekor domba yang sangat bagus. Dari sinilah ibadah agung berupa pengorbanan (udhhiyyah) ummat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bermula.
Agar kisah mulia tidak sekedar menjadi cerita, maka mengubah “drama” menjadi realita adalah sebuah keniscayaan. Berbahagialah kaum ayah yang memiliki karakteristik Ibrahim, berbahagialah para bunda yang mewarisi jiwa Sarah dan Hajar. Juga, berbahagialah para ananda yang tercermin dalam jiwanya kemuliaan akhlaq dan keteguhan iman Ismail. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam gugusan ayat indahnya:
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yûsuf/ 12: 111)
_____
Penulis adalah: Ketua Prodi KPI-STAI PERSIS Jakarta, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah