NESTAPA KARENA MURTAD (Sekedar Mengingatkan Sesama Saudara Seiman)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Akhir-akhir ini, berita pemurtadan kembali menghiasi jagat media, terutama media sosial yang seolah-olah lepas kendali. Mulai dari warta yang menggambarkan kabar sebenarnya, atau sekedar berita burung. Yang jelas, sulit dinafikan bahwa aktivitas tersebut memang benar-benar adanya. Sebagai sesama saudara seiman, tentunya saling mengingatkan menjadi kewajiban agar kewaspadaan menjadi perhatian bersama. Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa menjaga ketauhidan dan mengenal lebih jauh apa yang dimaksud dengan murtad, lalu dengan penuh kesadaran dapat mengetahui bagaimana meruginya menjadi orang yang murtad.
Fithrah Tauhîd yang Wajib Dijaga
Di antara anugerah terbesar yang Allah ‘azza wa jalla limpahkan untuk manusia adalah anugerah bertauhid sebagai fithrahNya. Dan yang lebih tidak mudah lagi adalah menjaga fithrah bertauhid itu sendiri setelah Allah mengokohkannya sejak alam rahim masing-masing manusia. Ketika ditegaskan kepadanya dengan pertanyaan: Alastu birabbikum; “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?”. Maka penghuni alam rahim tersebut menjawab: Balâ syahidnâ …; “Benar, (kami menyaksikan) Engkau adalah Tuhan kami”. (Lihat: QS. Al-A’râf/ 7: 172).
Sungguh berbahagia, bagi mereka yang berhasil memelihara dan menjaganya. Alangkah celaka bagi mereka yang gagal mempertahankan kesaksiannya. Di samping mendapatkan predikat “orang ingkar”, juga amal perbuatannya dinilai sia-sia. Allâh ‘azza wa jalla berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi, dia tidak mendapati sesuatu pun.” (QS. An-Nûr/ 24: 39)
Dalam bahasa lain, Al-Qur’an mengistilahkan dengan habâan mantsûran sebagaimana firmanNya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqân/ 25: 23)
Ruginya Jadi Orang Murtad
Murtad secara bahasa berasal dari kata irtadda (إرتد) yang artinya raja’a (رجع), artinya kembali. Apabila dikatakan irtadda ‘an dînihi, maka artinya adalah orang itu telah kafir setelah memeluk Islam. (Lihat: Ibrahim Musthafa, dkk., Mu’jamul Wasîth, 1/ 338)
Tentu saja, kembalinya seseorang menjadi kafir setelah ke-Islamannya, dilakukan dalam posisinya sebagai orang yang sehat akalnya (‘âqilun), dewasa (bâlighun) dan mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk (mumayyizun), serta tidak karena paksaan. Karenanya, shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau melakukan kekufuran, padahal hatinya sangat menolak. Maka orang yang semisal dirinya tidak dapat dikatakan murtad. Hal ini sesuai dengan jawaban Allah atas peristiwa “menyembunyikan keimanan” saat diintimidasi orang-orang Quraesy Makkah. Peristiwa inilah yang diabadikan dalam Al-Qur’an:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nahl/ 16: 106).
Adapun beberapa kerugian besar bagi orang-orang yang melakukan kemurtadan (riddah) adalah:
1. Terhapusnya amal ibadah yang telah dilakukannya. Allâh ‘azza wa jalla berfirman: “Siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/2: 217)
2. Hilangnya hak
seorang Muslim yang seharusnya dia mendapatkannya. Sabda Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam menuturkan: “Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan di kala saudaranya bersin.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan ada enam, termasuk di dalamnya “apabila diminta nasihat, maka berilah nasihat”. Namun dengan sebab kemurtadannya, semua itu menjadi gugur dengan sendirinya.
3. Terlarangnya menikahi Muslimah. Allâh ‘azza wa jalla berfirman: “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah/2: 221)
Dalam ayat lain ditegaskan: “Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah/60: 10)
Larangan tersebut, berlaku pula bagi para pelaku Murtad, di mana mereka telah merubah definisi dirinya sebagai Muslim. Kalaulah ada kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita ahlul kitâb, itu pun persyaratannya sangat ketat. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah al-muhshanât min ahlil kitâb, yakni para wanita ahlul kitab yang terjaga. Termasuk terpelihara ketauhidannya tentunya.
4. Terhalangnya menjadi wali nikah dalam pernikahan, sekalipun darah dagingnya sendiri. Demikian pula wali penggantinya, selama mereka murtad tidak dapat menjadi walinya. Allâh ‘azza wa jalla berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi wali bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah/9: 71)
Tentang larangan mengangkat wali dengan segala pengertiannya, dijelaskan pula dalam QS. Al-Mâ’idah/ 5: 51. Adapun perwalian nikah dan kesaksiannya yang adil (termasuk tidak murtad), selain QS. At-Thalâq/ 65: 2, ditegaskan pula hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân)
5. Tidak dapat saling mewarisi satu sama lain, baik bapak ke anaknya atau anak ke bapaknya. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim.” (HR. Muttafaqun ’alaih)
6. Hilangnya kewajiban Muslimin memulasara jenazah orang murtad; memandikan, mengkafani, menshalatkan, menguburkan di pemakaman kaum Muslimin, bahkan mendo’akan mereka (setelah segala upaya dilakukan agar mereka kembali).
Dengan tegas Allâh ‘azza wa jalla berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di quburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan rasûlNya, serta mereka mati dalam keadaan fasiq.” (QS. At-Taubah/ 9: 84)
Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albani menukil sebuah riwayat dalam Ahkâmul Janâiz bahwa Ibnul Khashâshiyah menceritakan: “Suatu ketika Rasûlullâh mendatangi pemakaman kaum Muslimin seraya mengatakan, “Mereka telah memperoleh kebaikan yang banyak”. Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau mendatangi pemakaman kaum musyrikin seraya mengatakan, “Mereka telah melewatkan kebaikan yang banyak”. Beliau mengatakannya tiga kali.” (HR. Abu Dâwud, An-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah)
Bahkan Allâh ‘azza wa jalla menegur keras nabiNya ketika beliau memohonkan ampunan untuk paman yang dicintainya Abu Thalib dalam firmanNya: “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah/ 9: 113)
7. Sembelihan mereka menjadi haram bagi kaum Muslimin seiring kemurtadannya. Kalaulah Allâh ‘azza wa jalla halalkan sembelihan ahlul kitâb sebagaimana firmanNya: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Mâ’idah/ 5: 5)
Pertanyaanya kembali ke semula, masihkah orang Yahudi atau Nashrani hari ini disebut ahlul kitâb sebagaimana yang dimaksud ayat ini? Di mana kitab Taurat dan Injil menjadi kitab sucinya seperti yang ditunjukkan para Mufassir, bahwa mereka pengikut Nabiyullâh Musa dan ‘Isa ‘alahimas salâm.
8. Tidak dibolehkannya mereka memasuki Tanah Haram seiring kemurtadannya, yakni Makkah dan Madinah yang dijaga kesucian dan kemuliannya, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَدْخُلُ مَكَّةَ مُشْرِكٌ بَعْدَ عَامِنَا هَذَا أَبَدًا
“Tidak boleh seorang musyrik memasuki kota Makkah setelah tahun ini selamanya.” (HR. Al-Bukhâri)
Itulah berbagai kerugian yang akan dialami, sebagai konsekuensi dari kemurtadannya. Bahkan secara hukum syari’ah, mahkamah berhak menegakkan hukumannya apabila sebuah negeri benar-benar berdaulat dengan hukum Allâh dan rasulNya. Sabda Nabi di bawah ini menjadi pijakan para ahli fiqih (termasuk madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), juga fuqaha lainnya dalam menetapkan sangsi hukum bagi mereka:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia.” (HR. al-Bukhâri)
Namun demikian, para fuqaha mengakui adanya perbedaan pendapat tentang batasan hukumannya. Di antaranya Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh memaparkan fakta bahwa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam menerima taubatnya sekelompok murtad dan menolak sebagian lainnya. Hal ini disebabkan karena dibalik kemurtadan seseorang itu bisa jadi ada persoalan lain yang tidak kalah penting, yaitu mencelekai umat Islam, bahkan merusak negara. Inilah mengapa Muqayis bin Hubabah dibunuh pada hari Penaklukkan Makkah karena ia mencelakai umat Islam dan merampas harta mereka, serta menolak bertaubat padahal peluang terbuka lebar. (Lihat: Ibnu Taimiyyah al-Harrâni, Ash-Shârimul Maslûl ‘alâ Syâtimir Rasûl, hlm. 368)
Prinsip teologis ini, tentu mendapatkan penentangan yang sangat dahsyat, terutama dari para pengagung Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948 yang banyak menyodorkan Pasal 18 berikut ini: “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya, menyembahnya dan mengamalkannya.”
Pasal ini kerapkali dijadikan alat yang ampuh oleh para penyebar “kebebasan beragama” dalam mengelabui ummat dengan membiaskan pengertian lâ ikrâha fid dîn; “tidak ada paksaan dalam beragama” seperti ditunjukkan QS. Al-Baqarah/ 2: 256. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para penyeru dakwah tauhid untuk mendudukkan makna yang sebenarnya agar Hak Azasi Manusia (HAM) tidak mengalahkan Kewajiban Azasi Manusia (KAM).
Pandangan Tokoh Ummat
Kekhawatiran akan semakin menjalarnya arus pemurtadan, sejak jauh-jauh hari sudah diingatkan para tokoh dunia. Di antaranya sekaliber Allâhu yarhamh Dr. Mohammad Natsir dan Syaikh Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi. Serangan missionaris yang bekerja sama dengan imperialis Barat, terutama di wilayah minoritas Muslim sudah menjadi bagian program mereka sebagaimana diumumkan dalam Muktamar “Colorado” pada tahun 1978 yang membahas tidak kurang dari 47 agenda seputar Islam dan kaum Muslimin berikut strategi untuk penyebaran Kristenisasi (harakatut tanshîr) di kalangan kaum Muslimin dengan dana yang sangat besar. Selain itu telah berdiri pula lembaga “Zwemmer” untuk mencetak para spesialis dalam hal memurtadkan kaum Muslimin. Selain itu, kedua tokoh ini pun selalu mengingatkan, di samping pentingnya mewaspadai Kristenisasi (tanshîriyyah), juga bahaya laten Komunisme (syuyûiyyah) wajib mendapatkan perhatian seksama. (Lihat: Qaradhawi, Ummatunâ Baina Qarnaini: 2001 dan Fathi Yakan, Al-Islâmu Fikratun wa Harakatun wa Inqilâbun: tp. tahun)
Di tengah-tengah tantangan yang ada, dengan sepenuh usaha memelihara, menjaga dan mengawal ummat dari penyimpangan dan pemurtadan semoga Allâh ‘azza wa jalla memberikan kemudahan jalan keluar dan bimbinganNya seraya berdo’a: “Ya Allah … aku berlindung kepadaMu dari ketersesatan dan penyesatan, dari ketergelinciran dan penggelinciran, dari berbuat zhalim dan penzhaliman, dari berbuat kebodohan dan pembodohan.”
_____
Penulis adalah: Ketua Prodi KPI-STAI PERSIS Jakarta, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah