Selasa, April 16MAU INSTITUTE
Shadow

FENOMENA MARAKNYA ALIRAN DAN GERAKAN SEMPALAN ISLAM KONTEMPORER (Telaah Pengantar Madrasah Ghazwul Fikri)

FENOMENA MARAKNYA ALIRAN DAN GERAKAN SEMPALAN ISLAM KONTEMPORER (Telaah Pengantar Madrasah Ghazwul Fikri)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Selayang Pandang Keagamaan dan Ideologi

Indonesia merupakan suatu negara yang sangat luas dengan ukuran sebesar 1.904.569 km2. Jumlah penduduknya terdiri dari +270 juta yang bertebaran di seluruh wilayah tanah air dengan +17.508 pulau dan +1.128 etnis/ suku yang menggunakan +750 bahasa daerah. Adapun dinamika keagamaan di dalamnya terdiri dari penduduk Muslim 87,21%, Kristen 6,96%, Katolik 2,91%, Hindu 1,69%, Budha 0,72% dan Konghuchu 0,05%. Selain itu ada ratusan keyakinan dan kepercayaan lokal yang berkembang hampir di seluruh pelosok. Seiring dengan terjadinya euforia kebebasan dan demokratisasi, pasca reformasi 1998 bermunculanlah aliran dan gerakan keagamaan yang beragam; ada yang baru sama sekali, ada yang bersifat reformulasi ataupun bangkitnya aliran dan gerakan lama yang pernah hidup sebelumnya. (Lihat: H. Muharam Marzuki, Ph.D dalam Strategi Pola Penanganan Aliran Bermasalah di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI: 2015).

Berikutnya ditemukan data yang cukup mencengangkan dan sekaligus memprihatinkan, di mana ajaran dan aliran yang sebelumnya mendapatkan pengawasan secara seksama, bahkan diwaspadai dan dilarang, nampaknya mendapatkan angin segar dan sangat berpeluang untuk lebih hidup kembali dan memiliki legalitas hukum. Hal ini dapat dibaca dalam petikan surat kabar di bawah ini; “Kementrian Agama menggelar dengar pendapat dengan kelompok minoritas pada Selasa (15/ 7) di Jakarta. Acara ini dihadiri sejumlah kelompok keyakinan di antaranya Pegiat Agama Maumalim atau Parmalim, Ahlul Bait Indonesia, Majlis Bahai Indonesia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Masyarakat Sunda Wiwitan, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Selain itu, hadir para aktivis toleransi keberagamaan di antaranya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Wahid Institut dan Gusdurian. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (enam tahun silam, pen.) mengungkapkan, “Negara memiliki kewajiban untuk melayani seluruh masyarakat, termasuk komunitas beragama. Terlepas dari perdebatan soal kebenaran keyakinan mereka, Negara berkepentingan untuk melayani mereka secara legal. Negara mesti memberi pengakuan secara legal atas keberadaan mereka”. Ujarnya di kawasan kompleks perumahan Widya Chandra III No. 9 Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan pada Selasa (15/ 7). (Harian Umum Republika, “Pemerintah Segera Legalisasi Kelompok Minoritas”, Kamis 17 Juli 2014: hlm. 27).

Di samping itu, bahaya merah komunisme yang berakar pada ajaran Marxisme, Stalinisme dan Leninisme kembali memperlihatkan geliatnya dengan memunculkan berbagai aktifitas; baik yang bersifat kumpulan ilmiah di kampus-kampus, gerakan sosial, gerakan seni dan budaya, yayasan kemanusiaan dan maraknya penerbitan buku yang membawakan ajaran mereka. (Lihat penelusuran Hadi Nur Ramadhan, dkk dalam Peta Gerakan Penerbitan Kaum Kiri-Komunisme di Indonesia, Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddâmah, Pusat Kajian Dewan Da’wah: 2015).

Di sisi lain, ada banyak aspek permasalahan masyarakat yang satu sama lain saling berkaitan, di antaranya:

1. Aspek Sosial-Budaya (maraknya sekularisme, materialisme dan nativisme)
2. Aspek Pendidikan (adanya pandangan yang dikotomik terhadap ilmu)
3. Aspek Da’wah dan Informasi (terjadinya fenomena rekayasa sosial, penggiringan opini dan perang media)
4. Aspek kejama’ahan dan ukhuwwah (belum optimalnya fungsi jam’iyyah sebagai kekuatan jama’ah yang mampu merakit, merekat dan meroketkan ummat)
5. Aspek Politik (adanya penurunan kualitas peranan politik Islam dan terjadinya rekayasa politik yang datang dari luar)
6. Aspek Ekonomi (minoritasnya penguasaan terhadap ekonomi kuat tidak sebanding dengan mayoritas ummat Islam)
7. Aspek Ilmu dan Teknologi (belum optimalnya Islamisasi ilmu yang mengakibatkan menggelembungnya gelombang rasionalisme, di mana ilmu dan teknologi seolah sebagai Tuhan). (Lihat: Khittah Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia: 2001).

Dengan demikian, semua ini menunjukkan bahwa problematika dan tantangan da’wah di tanah air, salah satunya adalah kemungkaran berfikir yang melahirkan banyak ragam aliran pemikiran dan ideologi yang mengancam prinsip-prinsip dasar keimanan dan ke-Islaman.

Seputar Pendekatan Penelitian

Membicarakan gerakan sempalan Islam kontemporer, memerlukan pembahasan yang luas dan referensi yang cukup, baik bersifat kepustakaan (library) atau kajian penelitian (research). Semua itu dilakukan, agar terhindarnya fitnah yang menyudutkan dari objek yang sedang dikaji. Demikian pula, berbagai pengkajian dan penelitian terhadap fenomena yang ada, di mana tantangan da’wah di Indonesia dihadapkan dari tahun ke tahun dengan tumbuh suburnya gerakan-gerakan yang menyempal (baca: sempalan) yang mengatas namakan Islam.
Dikatakan sempalan, karena keluar atau menyempal dari kemapanan pemahaman Islam yang mencakup rukun Iman dan rukun Islam yang telah disepakati mayoritas ulama (baca: Ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah). Atau dalam bahasa yang lebih praktis (mengambil istilah Prof. M. Ridwan Lubis dalam Memaknai Kembali Kebebasan Beragama), yaitu keluar dari kesepakatan (konsensus, ijma’) kaum Muslimin yang meliputi beberapa aspek, di antaranya:

1. Mengimani keesaan Allah.
2. Meyakini dan mematuhi keseluruhan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam sebagai penutup semua Nabi.
3. Meyakini rukun Iman yang enam.
4. Mematuhi rukun Islam yang lima.
5. Berkiblat ke Ka’bah.
6. Menerima ketentuan halal dan haram yang ditetapkan konsensus ummat Islam.
7. Mengikat persaudaraan sesama Muslim.

Hal ini ditegaskan kembali dalam Pedoman Identifikasi Aliran Sesat Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan di Jakarta, 25 Syawwal 1428 H./ 6 November 2007 M, yang dikatakan di dalamnya sebuah gerakan/ aliran itu dinilai sesat apabila terperangkap pada 10 poin sebagai berikut:

1. Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam.
2. Meyakini atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i.
3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al-Qur`an.
4. Mengingkari otentisitas dan kebenaran Al-Qur`an.
5. Menafsirkan Al-Qur‘an yang tidak berdasar kaidah-kaidah Tafsir.
6. Mengingkari hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan/ atau merendahkan Nabi dan Rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at.
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.

Mungkin, bagi sebagian kalangan pedoman di atas terasa sangat sepihak atau hanya mengedepankan satu pendekatan saja, yaitu pendekatan teologis yang berdasarkan pendekatan keimanan dan wahyu Tuhan dengan berbagai perangkat ilmu yang menjelaskannya. Adapun pendekatan-pendekatan lain (sosiologis, antropologis, historis, psikologis dan filologis) nampak terabaikan. (Lihat: Imam Suprayogo dalam Metodologi Sosial Agama).

Sebenarnya tidak demikian, pendekatan-pendekatan lainnya tetap dapat dilakukan dalam rangka tercapainya optimalisasi penelitian. Namun dalam konteks aliran sesat, maka pendekatan teologis inilah merupakan prioritas, dan ini diakui para peneliti sebagai pendekatan normatif idealistic. Oleh karenanya, sebagaimana banyak dijelaskan para ahli, bahwa teks-teks Kitabullah (Al-Qur‘an) dan Sunnah nabiNya merupakan pijakan utama dalam melakukan penilaian salah dan benar atau sesat dan tidak sesatnya sebuah gerakan, golongan ataupun aliran, sekalipun sebagian para peneliti menganggap bahwa maraknya gerakan sempalan Islam itu sebagai fenomena sosial bukan fenomena doktrin keagamaan. Tentu saja, anggapan ini memiliki kelemahan di mana pendekatan sosial tidak memasuki ranah sesat dan tidak sesat dalam keberagamaan. (Lihat: M. Yunan Yusuf dalam Makalah Strategi Da’wah Terhadap Aliran Sesat, hlm. 3).

Kendati demikian, dalam menyikapi gerakan-gerakan sempalan Islam ini, pendekatan sejarah (historis) dapat memberikan kelengkapan informasi dan membantu dalam menajamkan analisa yang pertama, karena dianggap pendekatan yang pertama dirasakan doktriner, yaitu menilai secara langsung kepada salah dan benar. Sedangkan pendekatan sejarah, dirasakan tidak langsung karena adanya penggiringan berfikir ke arah yang lebih jernih dan terang dalam menentukan penilaian (seperti halnya mengetahui sejarah timbulnya perpecahan dan munculnya sekte-sekte dalam Islam). (Lihat: Dr. Maman Abdurrahman dalam Genealogi Madzhab-madzhab dalam Islam)

Demikian pula menganalisa kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya sebagai latar belakang mengapa sebuah aliran bisa muncul di tengah-tengah permukaan ummat Islam.
Kemunculannya itu, justeru merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi, bahkan mungkin diyakini sebagai antisipasi dari sebuah “kerusakan” yang dilihatnya. Di sinilah letak permasalahannya, di mana unsur perubahan yang terjadi dapat melahirkan gerakan-gerakan mapan baru yang berfikir sendiri-sendiri dengan mencarikan jawaban-jawaban dari persoalan tersebut dengan berbeda-beda pula jawabannya. Karenanya apabila seseorang akan melakukan penelitian dan pengkajian, yang lebih selamat adalah kembali kepada metode berfikir Islami. (Lihat: Abdul Halim Mahmud, Nahwa Buhûts al-Islâmi, Metode Riset Islami, hlm. 98 dan Ali Garisyah dalam Manhaj at-Tafkîr al-Islâmi, 1994).

Di antara contoh analisa, di era tahun 90-an Dr. Simuh (Yogyakarta) melakukan analisa gerakan-gerakan yang ada di tanah air, dengan istilah “gerakan protes”. Menurutnya, ada tiga rujukan yang dijadikan sandaran, yaitu tipe Khawârij, tipe Syi’ah dan tipe Shûfi. Adapun sekarang, Kemenag RI (era Menag Lukman Hakim Saifuddin, pen.) mengistilahkannya dengan “aliran bermasalah”. (Lihat: Simuh dalam Seminar Aliran Protes dalam Islam, Forum Komunikasi Dakwah Kampus UGM dan Kementerian Agama RI Ditjen Bimmas Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah dalam Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Kegamaan Bermasalah di Indonesia, tahun 2015).

Agar dalam pengkajian dan penelitiannya tidak menjadi rancu dan bias (syubuhât), tentu saja istilah “aliran sesat” atau “ajaran menyimpang” lebih tepat sasaran agar terhindar dari pelebaran makna dan interpretasinya. Sebagaimana digariskan dalam pedoman Majelis Ulama Indonesia, maka istilah Pedoman Identifikasi Aliran Sesat itu lebih jelas.

H.M. Amin Djamaluddin bersama Tim Hukum Dewan Da’wah di Mahkamah Konstitusi terkait Judicial Review UU No.1/ PNPS/ 1965 yang diajukan Komunitas Ahmadiyah

Fenomena Maraknya Aliran Sempalan di Masyarakat

Ada banyak ajaran dan aliran di masyarakat dengan gerakan yang berbeda-beda, di antaranya:

1. Munculnya gerakan yang hanya memfokuskan kepada perbaikan moral semata dan kurang peduli terhadap masalah yang lainnya, seperti yang dilakukan kelompok-kelompok Suluk Shûfi.

2. Munculnya gerakan yang mengkultuskan seseorang, sebagai harapan akan datangnya “ratu adil” (messias/mahdi) yang ditunggu-tunggu untuk merubah moral ummat secara radikal, seperti yang dilakukan Jama‘ah Ahmadiyah, Lembaga Kerasulan, Isa Bugis dan kelompok-kelompok semisal Ahmad Mossadeq dengan Al-Qiyâdah al-Islâmiyyah-nya dan komunitas Eden.

3. Munculnya gerakan-gerakan skeptis (frustasi) yang tidak memperdulikan masyarakat, mereka mengasingkan diri demi kesucian diri dan kelompoknya dengan cara ‘uzlah. Gerakan semacam ini, banyak dilakukan oleh kelompok yang menyatakan diri aliran Thariqat tertentu dan aliran kebatinan.

4. Munculnya gerakan-gerakan yang mengajarkan tenaga dalam dan kuasa batin serta pemanfaatan tenaga ghaib. Hal ini banyak ditemukan pada berbagai aliran beladiri dan praktek paranormal.

5. Munculnya gerakan-gerakan yang tergesa-gesa (musta‘jilah, pragmatisme) dalam mengangkat dirinya sebagai hakim yang berkuasa untuk segera melakukan perubahan tanpa melibatkan kelompok lain, bahkan menjadikannya sebagai lawan perjuangan, seperti yang dilakukan oleh kelompok yang mengajarkan pentingnya hijrah dan pengkafiran terhadap orang yang belum memasuki kelompoknya. Mereka menunjuk dirinya sebagai jama‘ah ideal yang mesti dijadikan panutan dengan membuat kriteria-kriteria tersendiri dengan mendompleng dan membajak ayat-ayat Al-Qur‘an dan Hadĩts Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tanpa melihat lebih lanjut penafsiran sebenarnya. Dengan penafsiran yang keliru itu, mendatangkan perilaku-perilaku ganjil (syadz) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum syari‘at ataupun hukum masyarakat; contohnya di sisi lain mereka memperketat ukhuwwah sesama mereka, di lain pihak mereka kafirkan saudaranya yang di luar kelompoknya (padahal orang yang mereka kafirkan, bisa jadi lebih shalih, lebih ‘alim, lebih ‘ârif, bahkan lebih besar dedikasinya terhadap perjuangan Islam). Kasus lain yang lagi trend adalah praktek kawin lari (tersembunyi) dengan alasan yang tidak syar‘i, serta kawin kontrak (mut‘ah) dengan alasan menghindari perzinahan. Semua ini jelas keluar dari ajaran Islam karena kemadharatan tidak dapat diantisipasi dengan kemadharatan lain yang lebih madharat.

6. Mengobral istilah ulil amri dan hadits-hadits jama’ah serta menafsirkannya dengan pengertian yang sempit. (Lihat buku: Menunda Bai’at Merugikan Diri sendiri dan Keluarga oleh Nurhasyim, Pondok Burengan Jawa Timur).

7. Menjamurnya imam-imam misterius dengan menawarkan khilâfah, bai’ah dan jamâ’ah yang sulit dipertanggung jawabkan. (Lihat Majalah Risalah, No. 1 tahun XXXI Dzulqa’dah 1413 H., hlm. 12-15).

8. Munculnya kaum pemuja akal (‘aqlâniyyah, rasionalisme) yang lebih mengedepankan akal ketimbang wahyu, bahkan meremehkan wahyu dan menuhankan akal yang kini telah melahirkan faham-faham turunannya; materialisme, sekulerisme, pluralisme, liberalisme dan lain-lain yang semakin mengindikasikan adanya perang pemikiran (ghazwul fikri).

9. Merajalelanya budaya saling mengkafirkan sesama muslim (takfîr) di antara individu dan golongan ummat Islam. (Bandingkan dengan kasus di Mesir dalam buku Yusuf al-Qaradhawi dengan judul Zhâhiratul Ghuluw fit Takfĩr dan ‘Abdurrahman al-Luwaihiq dalam Al-Ghuluw fid Dîn).

10. Semakin mapannya gerakan kebatinan dan thariqat-thariqat tertentu, sehingga membuka peluang merebaknya faham mistik dan animistik yang mengembalikan manusia kepada kejumudan dan perasaan dengan kemasan pelestarian nilai-nilai budaya. Hal ini dapat dirasakan dengan semakin maraknya faham-faham berhaluan nativisme yang mengajarkan pentingnya kembali ke ajaran asal nenek moyang (adat istiadat kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sunda wiwitan di Tatar Pasundan/Jawa Barat dan lain-lain).

11. Semakin masifnya gerakan salib-davidian yang menggencarkan kristenisasi dan yahudisasi di berbagai daerah dan pelosok tanah air berkedok lembaga sosial seperti halnya “Kristus berbagi kasih”, munculnya perkumpulan theosofi dan organisasi yahudi freemasonry dan rotary club. (Lihat: Ma’ali Abdul Hamid Hamudah, Al-Islâm wa al-Harakȃt al-Haddȃmah, terj. “Islam Digerogoti Aliran-aliran Destruktif”, tahun 1990).

12. Mengentalnya aroma revolusi syi’ah dan bangkitnya gerakan merah komunisme yang dapat mengancam kedaulatan negara. (Lihat: Abdul Chair Ramadhan, Syi’ah Menurut Sumber Syi’ah; Ancaman Nyata NKRI, tahun 2014 dan A.H. Nasution, Fuad Bawazier, Husein Umar, Yusril Ihza Mahendra, KH. Yusuf Hasyim, et. al., Mewaspadai Bangkitnya Komunisme, tahun 2000)

Menghadapi Harakah Haddâmah, Harakatul Irtidâd dan Ghazwul Fikri

Dengan banyaknya gerakan sempalan yang destruktif (harakah haddâmah), gerakan pemurtadan (harakatul irtidâd) dan perang pemikiran (ghazwul fikri), maka ada beberapa kiat yang dapat ditempuh sebagai cara antisipatif terhadap berbagai penyimpangan yang ada. Di antaranya sebagai berikut: Penyelenggaraan diklat atau Daurah tentang penguatan ‘aqidah ahlus sunnah wal jamâ’ah; Penerbitan dan publikasi buku tentang harakah haddâmah, harakatul irtidâd dan ghazwul fikri; Shilaturrahim para peneliti bidang terkait untuk terwujudnya shilatul ’ilmi; Penyelenggaraan Madrasah Antisipasi Ghazwul Fikri dengan menyelenggarakan kaderisasi intensif demi terwujudnya para peneliti spesialis; Halaqah Peradaban dengan menyelenggarakan beragam muhadharah rutin untuk aktivis mahasiswa, aktivis masjid dan organisasi kemasyarakatan; Lingkar Studi Peradaban Islam dengan menyelenggarakan studium general atau talkshow di lingkungan pendidikan menengah pertama dan menengah atas; Penyelenggaraan riset dan pembuatan peta da’wah dalam rangka mengetahui tantangan (tahadiyyât) dan problematika (musykilât) da’wah sesuai fakta dan data yang akurat; Menerbitkan Buletin Ghazwul Fikri News dengan merespon isu-isu pemikiran yang bisa dibaca dan diakses langsung oleh ummat, serta membuat kliping koran, majalah, media elektronik dan media lainnya untuk mengumpulkan fakta dan data aktual sebagai bahan penguasaan medan.

Program ini pernah dirintis sejak Dewan Da’wah didirikan oleh tokohnya Dr. Mohammad Natsir bersama tokoh-tokoh Islam lainnya dalam rangka pembinaan dan pengawalan aqidah ummat serta pencegahan dari berbagai penyimpangan (binȃ-an wa difȃ-an). Hal ini diakui oleh para tokoh da’wah dunia sekaliber Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyebutkan:
“Di Indonesia sejak pertiga abad yang lalu telah berdiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dengan pimpinan lelaki pejuang Dr. Mohammad Natsir yang tegar menghadang gerakan Kristenisasi besar-besaran yang bertujuan mengkristenkan Indonesia dalam waktu 50 tahun seperti tersebut dalam rencana mereka.” (Lihat: Yusuf al-Qaradhawi, Ummatunȃ Baina Qarnaini, terj. “Ummat Islam Menyongsong Abad ke-21”, 2001: hlm. 92).

Demikian pula kegigihannya dalam membendung gerak laju komunisme sebagaimana diakui Fathi Yakan. (Lihat: Al-Islȃmu; Fikratun wa Harakatun wa Inqilȃbun, tp. tahun: hlm. 57, Lihat pula bukunya yang lain Islam di Tengah Persekongkolan Abad 20, tahun 1990 dan Islam di Persimpangan Paham Modern, tahun 1990).

Berikutnya, sejak diamanahkannya oleh Allâhu yarhamh Dr. Mohammad Natsir (1980-an), penelitian dan pengkajian terkait aliran-aliran sempalan ini, secara khusus menjadi tugas pokok Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang dipimpin H.M. Amin Djamaluddin (seorang kader militan dari Pemuda Persatuan Islam Jatinegara yang pernah membuat kritik tajam terhadap Prof. Dr. Harun Nasution terkait pengajaran Filsafat, Ilmu Kalam dan Tashawwuf di koran Pelita yang dibaca Pak Natsir).

Pasca diadakannya “daurah khusus” yang menghadirkan para pakar aliran-aliran dari Timur Tengah dan dalam negeri, dengan jargon “Mengawal dan Membentengi ‘Aqidah Ummat dari Kemungkaran Berfikir”, maka pengkajian dan penelitian ini dilanjutkan oleh Bidang Ghazwul Fikri, Harakah Haddâmah dan Harakatul Irtidad Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah dibawah Musyrif KH. Abdul Wahid Alwy, MA. Untuk menggulirkan program-programnya, kini Tim bidang ini banyak bermitra dengan lembaga-lembaga lainnya (Komite Dakwah Khusus MUI Pusat, Komisi ‘Aqidah Dewan Hisbah Persatuan Islam, LDK Muhammadiyah, INSIST, ANNAS, Komite Nasional Anti Pemurtadan, dan lain-lain).
Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannahum subulanâ.
____

Penulis adalah: Ketua Prodi KPI-STAI PERSIS Jakarta, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Bidang Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!