Kamis, Oktober 10MAU INSTITUTE
Shadow

DU’ÂT RABBÂNI DI ERA DISRUPSI (Menanti Aksi Mengharap Gerak)

DU’ÂT RABBÂNI DI ERA DISRUPSI (Menanti Aksi Mengharap Gerak)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien


Waktu terus melaju, zaman semakin berubah. Perkembangan demi perkembangan semakin dapat dirasakan, betapa kemajuan ini bukanlah tanpa resiko, melainkan menuntut adanya konsekuensi yang harus segera dilakukan seiring dengan perubahan yang ada.

Sebuah zaman, kini sudah hadir di depan mata. Yakni sebuah era yang menjadikan ummat manusia bisa terlindas dan ditinggalkan, apabila kurang sigap menyikapinya. Kurang fokus, tidak perhatian, enggan melibatkan dalam kancah perubahan ini, bisa berakibat fatal karenanya. Itulah sebuah era yang para ahli abad ini menyebutnya dengan disrupsi (disruption era).

Guru besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah ini menyebutkan: “Disrupsi makin hari kian menguat, hal ini sejalan dengan berkembangnya teknologi saat ini. Disrupsi akan berlangsung terus menerus dan lama, ini masih panjang. Kalau disruption masih panjang, tetapi evolusinya akan berlangsung sangat cepat. Menurut Rhenald, bagi masyarakat yang merayakan perubahan, disrupsi adalah masa depan. Namun, bagi mereka yang sudah nyaman dengan keadaan sekarang dan takut dengan perubahan, mereka akan berpikir bahwa ini adalah awal kepunahan.” (Perhatikan buku: Disruption; Menghadapi Lawan-lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber)

Tak terkecuali dalam hal penyampaian pesan-pesan keagamaan, kian meledaknya revolusi teknologi 4.0 yang ditandai dengan semakin meroketnya dunia digital saat ini telah merubah semua cara pandang kehidupan yang serba cepat; Berpacu dengan waktu, berkompetisi dengan prestasi dan bersaing dengan zaman. Tidaklah terlampau salah bila kita katakan: “Kemajuan zaman tak bisa dilawan, namun peradabannya harus ditaklukkan.”

Sebagai suatu keyakinan, Islam itu merupakan kepercayaan yang absolut, bagaimana pun perubahan zamannya substansi ajarannya tidak boleh berubah. Adapun kebolehan berubahnya itu, terletak pada cara atau metode bagaimana menyampaikan ajaran tersebut pada ummat sejagat. Oleh karenanya, agar Islam dapat diterima di seluruh alam raya ini sebagai cerminan agama yang rahmatan lil ‘âlamîn, maka diperlukan metode yang tepat sesuai dengan zamannya. Setiap zaman ada peradabannya, dan setiap peradaban ada metode dan pedomannya (likulli zamânin hadhâratun wa likulli hadhâratin tharîqatun wa manhajun).

Agar ajaran agama tidak disimpangkan, maka di tengah-tengah belantara kemajuan ini diharapkan munculnya generasi zaman yang dapat mengikuti perkembangan demi perkembangan. Bukan sekedar generasi yang memahami ajaran agamanya semata, melainkan generasi yang mampu menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan membelanya, di samping mengamalkan sebagai kewajiban pribadinya.

Semakin menarik kuat ke belakang, kita akan merasakan betapa ajaran agama ini sangat genuine dan original (‘ashliy, thâbi’iy). Namun, ketika kita sajikan hari ini dengan segala perkembangan zaman yang sudah banyak mengalami perubahan, dirasakan ada sesuatu yang kurang. Untuk menjembatani dua kondisi yang berbeda ini memerlukan keadilan budaya intelektual yang seimbang dan selaras.

Sebagaimana harapan wahyu, kemunculan generasi rabbâni sebagai tipe ideal pemegang teguh ajaran agama, tidak lepas dari bimbingan pokok sumber ajaran agamanya itu, yakni kitâbullâh sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah. Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Âlu ‘Imrân/ 3: 79)

Siapakah sebenarnya generasi rabbâni itu? Dalam konteks sekarang, mereka bisa para pemimpin, para panglima, para cendikiawan, para tokoh ummat, kaum profesional; hakim, dokter dan lain-lain, para politisi, para birokrat, para ulama dan para penuntut ilmu. Tak terkecuali para penyampai pesan keagamaan yang tengah berjuang di jalan Allah (du’at ilallâh) dan yang sederajat masuk di dalamnya.

Yang jelas, generasi rabbani tidak hanya menjalin relasi baik dan harmonis dengan ummat semata, tetapi juga selalu meluangkan waktu untuk membangun hubungan dekat dan erat dengan Tuhannya sebagaimana dituturkan Al-Ashma’iy dan Al-Ismaily. Hatinya dihiasi penuh kelembutan hakiki dan mudah tersentuh. Menyemai ceria dan bahagia tanpa kepura-puraan dan drama pencitraan. Sudah pasti, tidak ada generasi mana pun yang paling rabbani melainkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Hal ini diisyaratkan Allah dalam ayatNya:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaan kamu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kamu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah/ 9: 128).

Sebagaimana pribadi panutan ini, generasi rabbâni tidak akan berani menyakiti hati ummat, menyilang dan menghadang kawan perjuangan, berkhianat dan bergunting dalam lipatan. Selalu berpegang pada landasan ilmu dan amal, mengedepankan berfikir jernih sebagai tanda kedalaman pemahamannya, senantiasa memupuk jiwa kelembutan, berlabuh di hati ummat dan sangat piawai dalam memetakan berbagai kebijakan.

Sungguh benar, apa yang dikatakan para shahabat dan para tabi’in yang mulia; yakni ‘Abdullah bin ‘Abbas, Sa’id bin Zubair radhiyallâhu ‘anhumâ, Qatâdah, Dhahhâq dan Hassan al-Bashri rahimahumullâh bahwa insan rabbâni pada hakikatnya adalah: mereka yang bergumul dengan beragam disiplin ilmu (al-‘ulamâ), mereka yang memiliki pemahaman mendalam dan mumpuni (al-fuqahâ), mereka yang memiliki jiwa-jiwa lembut (al-hulamâ), mereka yang sangat adil dan bijak dalam bersikap, serta bertindak (al-hukamâ). Sebagian menambahkan, mereka yang senantiasa memelihara iman dan taqwa (atqiyâ, ahlut taqwâ). (Lihat: Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ânil ‘Azhîm, 1/ 518).

Menarik untuk direnungkan, apa yang sering dilantunkan para ulama rabbâni:

لامجاهد بلاربانية ولا ربانية بغير علم وعمل وحكمة وإخلاص وصبر وتربية وبصيرة

“Tidak akan muncul jiwa kesungguhan seorang mujâhid tanpa hiasan rabbâni. Dan tidak akan muncul jiwa rabbâni tanpa dilengkapi ilmu, amal, bersikap bijak/ hikmah, berjiwa ikhlas, berjiwa shabar, menghidupkan pembinaan diri/ tarbiyah dan melatih ketajaman jiwa/ bashirah.”

_____

*) Disajikan oleh Al-Faqîr Fillâh dalam Kuliah Iftitah & Daurah Al-Qur’an di Pondok Tahfizh Wâdil Qur’ân Tangerang Selatan Banten, Liqâ’ Maftûh Ma’had ‘Aly Tahfizh Al-Qur’ân & Dirâsah Islâmiyah Al-Furqan Cibiuk Garut dan Pembekalan Mukhayyam Rijâlul Ghad PPI 81- Pemuda Persatuan Islam Cibatu Garut

Print Friendly, PDF & Email

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!