KEPEMIMPINAN YANG DIRINDUKAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Siapa yang tidak mengenal sosok sang pembebas dua negeri adidaya Romawi dan Persia? Seorang sosok berani dan ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis dan negeri-negeri lainnya ke pangkuan kaum Muslimin. Begitu juga dengan daya fikirnya yang tajam menembus relung zaman hingga terangkat martabat dirinya sebagai ahlul ijtihâd yang mumpuni dalam ilmu. Selain itu, mimpinya pun dibenarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai mimpi yang benar (ar-ru’yah as-shâdiqah). Namun di balik prestasinya yang sederet, semula tak ada yang menyangka kalau sosok brilian, cerdas, tangkas dan tegas itu memiliki jiwa yang sangat lembut.
Berawal dari penggalan kisahnya di masa shahabat ridhwânullâh ‘alaihim ajma’în, yakni Umar bin Khaththab bersama pendampingnya Ummu Kultsum. Laksana adegan yang dramatis, ketika keduanya memperlihatkan rasa pedulinya yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Tentu adegan ini bukan hanya terjadi pada mereka berdua, melainkan dipraktekkan pula oleh para shahabat lainnya. Karena memang generasi mereka adalah cerminan keteladanan generasi terbaik manusia (khairu ummah).
Khalid Muhammad Khalid menuturkan kisah peribadi sosok ini dalam kitabnya Khulafâur Rasûl, hlm. 143 sebagai berikut:
Suatu malam, Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anh blusukan sendirian sebagaimana hari-hari biasanya. Penduduk tengah lelap tertidur, Umar ingin memeriksa keadaan mereka; menelisik kebutuhan mereka tanpa mengganggu ketenangan penduduk yang lain.
Ketika tiba di ujung kota, ia melihat sebuah tenda yang terdengar dari tenda itu rintihan seorang wanita. Ia segera mendekat, tampak seorang lelaki sedang duduk di depan pintu tenda. Umar pun mengerti, lelaki itu suami dari wanita yang mengerang sakit karena melahirkan. Tak seorang pun yang menolong istrinya, karena memang mereka adalah penduduk Arab pedalaman yang tengah dalam perjalanan alias orang asing.
Umar segera pulang ke rumahnya dan menceritakan kepada istrinya. Hanya dengan mengatakan: “Apakah engkau ingin pahala yang Allah tawarkan padamu?”, istrinya pun menyambutnya dengan sigap. Keduanya pun bergegas menyiapkan kebutuhan yang diperlukan; Umar memikul panci di satu pundaknya dan tepung di pundak lainnya. Setibanya di tempat, Ummu Kultsum masuk ke dalam tenda untuk membantu persalinan, sementara Umar menunggu di luar sambil memasang batu untuk tungku memasak. Sedangkan suami dari wanita itu, hanya bisa menatap penuh senang dan terima kasih. Dalam hatinya bergumam: “Lelaki Arab yang baik hati itu lebih pantas menjadi khalifah dari pada Umar”.
Tiba-tiba terdengar tangisan bayi, ibunya telah melahirkan dengan selamat. Ummu Kultsum terdengar dari dalam memanggil: “Wahai Amirul Mukminîn, kabari temanmu itu bayinya laki-laki”. Lelaki Arab pedalaman itu terperanjat saking kaget dan mundur beberapa langkah dari Umar saking malu. Ia berusaha mengatakan dua kata ini “amîrul mukminîn”, namun kedua bibirnya tak mampu bergerak karena bingung campur gembira. Umar pun memahami salah tingkahnya lelaki itu, ia pun memberi isyarat agar lelaki itu tetap di tempat dan tidak sungkan lagi. Sambil menyodorkan panci ke Ummu Kultsum, agar si ibu bayi diberi makan hingga kenyang, lalu sisanya diberikan ke ayah bayi itu. “Makanlah dengan kenyang, karena semalaman engkau begadang dan lelah”. Umar dan Ummu Kultsum pun akhirnya meninggalkan mereka setelah beramanah terlebih dahulu: “Besok shubuh, datanglah ke Madinah, aku akan perintahkan pemberian uang dari Baitul Mal yang pantas untukmu, aku pun akan berikan hak bayimu.” Pungkasnya demikian.
Kisah ini dinukil kembali oleh Muhammad Khalid Tsabit dalam kitabnya Qashashul Auwliyâ Lil Wâizh wal Khâthib wal Mu’allim wal Murabbi wal Qâri al-‘Adl, terj. 2016: hlm. 316-318 agar menjadi kisah menggugah bagi siapapun yang menjadi pemimpin dan pengayom masyarakat.
Itulah gambaran kemuliaan shahabat sekaliber khalîfah, yakni pemimpin orang-orang beriman yang bukan sekedar memiliki ilmu dan kekuasaan, melainkan pemimpin penuh simpatik dan empatik terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Karenanya tidaklah heran, nama Umar kerapkali disebut oleh Rasûlullâh sebagai sosok yang “memperkasakan Islam dan memartabatkan kaum Muslimin”. Lebih dari itu, Umar adalah shahabat Nabi yang diberi ilham sebagaimana sabdanya:
لَقَدْ كَان فِيما قَبْلَكُمْ مِنَ الأُممِ نَاسٌ محدَّثونَ، فَإنْ يَكُ في أُمَّتي أَحَدٌ، فإنَّهُ عُمَرُ
“Sungguh ada pada ummat sebelum kalian manusia yang mendapatkan bisikan yang benar; Kalaulah ada seseorang di antara ummatku (yang seperti itu), dialah Umar.” (HR. Bukhâri dari shahabat Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh dan Muslim dari shahabat ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Dalam riwayat Ibnu Wahab dijelaskan bahwa muhaddatsûn artinya mulhamûn, yaitu orang yang diberi ilham).
Benar apa yang Imam Al-Qurthubi paparkan sesungguhnya para shahabat itu kumpulan manusia tauladan yang tiada bandingnya. Karenanya, beliau berkata:
أن الصحابي الجليل عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: من كان منكم متأسياً فليتأس بأصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوباً، وأعمقها علماً، وأقلها تكلفاً، وأقومها هدياً، وأحسنها حالاً، اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم، واتبعوهم في آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم
Sesungguhnya shahabat mulia ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anh pernah bertutur: “Siapa di antara kalian yang ingin meneladani manusia (selain Rasûlullâh) maka teladanilah para shahabat Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di antara ummat ini, paling mumpuni ilmunya, paling sedikit keganjilannya, paling bermurah hati dalam memberikan hadiah dan paling bagus sikap kesehariannya. Allah telah memilih mereka sebagai teman Rasûlullâh dan teman dalam menegakkan agamanya. Kenalilah mereka dan ikutilah jejak langkahnya”. Sesungguhnya mereka berjalan di atas petunjuk yang lurus (Al-Qurthuby dalam Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân).
Sebagai pelajaran bagi kita, kepemimpinan model sang khalifah ini, sungguh menunjukkan kepemimpinan yang saat ini disebut prophetic leadership, yaitu kepemimpinan yang mengambil nilai-nilai kenabian, di mana sifat-sifat Nabi dan karakternya ada di dalamnya; Karakter kejujuran dan keadilan (shiddîq), karakter amanat dan transparan (amânah), karakter kemampuan komunikasi (tablîgh) dan karakter cerdas yang berwawasan (fathânah). Kita dapat meneladani kisah-kisah Rasul dan menghubungkannya dengan konteks kepemimpinan berbasis karakter yang sampai saat ini banyak dibincangkan para pakar. Meminjam bahasanya Kuntowijoyo “pentingnya elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori transformasi sosial” (munculnya istilah Ilmu Sosial Profetik [ISP], merupakan pemikirannya yang disosialisasikan sejak tahun 1990an).
Untuk lebih menyegarkan kembali ingatan, Allâhu yarham Dr. Mohammad Natsir pernah menyampaikan khutbahnya yang mempesona sebagaimana dimuat Majalah Persatuan Islam Risalah No. 118 th. 1393 H./ 1973 yang menukilkan nashihat emas Imam Fakhruddin Ar-Râzi berikut ini:
الدنيا بستان زينت بخمسة أشياء: علم العلماء، وعدل الأمراء، وعبادة العباد، وأمانة التجار، ونصيحة المحترفين، فجاء إبليس بخمسة أعلام فأقامها إلى جانب هذه الخمسة؛ جاء الحسد فركزه فى جنب العلم، وجاء بالجور فركزه فى جنب الحكم، وجاء بالرياء فركزه فى جنب العبادة، وجاء بالخيانة فركزها فى جنب الأمانة، وجاء بالغش فركزه فى جنب النصيحة
“Dunia adalah taman yang dihiasi dengan lima macam hiasan: ilmu para ulama, keadilan para pemimpin, kesungguhan ahli ibadah, amanahnya para saudagar dan nashihat/ arahan para profesional. Maka datanglah iblis membawa lima bendera, kemudian ditegakkannya bendera itu pada setiap lima hiasan yang indah tadi; Dibawanya dengki lalu ditancapkannya di sisi ilmu, dibawanya kezhaliman lalu ditancapkannya di sisi keadilan, dibawanya riya’ lalu ditancapkannya di sisi ibadah, dibawanya khianat lalu ditancapkannya di sisi amanah dan dibawanya tipu daya lalu ditancapkannya di sisi nashihat/ arahan.”
Ungkapan itu ada kemiripan dengan mutiara hikmahnya Syaikh Utsman bin Hassan bin Ahmad Syakir Al-Khubari yang menuturkan:
قوام الدنيا بأربعة أشياء: علم العلماء, وعدل الأمراء, وسخاء الأغنياء, ودعاء الفقراء, فلولا علم العلماء لهلك الجاهلون, ولولا عدل الأمراء لأكل الناس بعضهم بعضاً, ولولا سخاء الأغنياء لهلك الفقراء, ولولا دعاء الفقراء لهلك الأغنياء
“Tegaknya dunia dengan empat hal: ilmu para ulama, keadilan para pemimpin, kedermawanan orang kaya dan doa orang-orang faqir. Maka sekiranya tidak ada ilmu para ulama sungguh akan rusak orang-orang bodoh, sekiranya tidak ada keadilan para pemimpin sungguh manusia akan saling memangsa satu sama lain dan sekiranya tidak ada doa orang-orang faqir sungguh akan rusak orang-orang kaya.”
Lalu rumpun mana yang paling penting di antara kelompok yang disebutkan tadi? Jawabannya, rumpun-rumpun termulia tadi sangatlah dibutuhkan dan dirindukan kehadirannya di tengah-tengah kita. Jangankan ulama yang mumpuni, pemimpin yang adil, ahli ibadah yang sangat shaleh, saudagar yang dermawan dan kaum profesional yang handal. Namun satu hal yang tak boleh terlewatkan untuk sama-sama diperhatikan, adalah “jeritan do’a” orang-orang faqir dan miskin yang penuh harap. Semoga Allah ‘azza wa jalla menurunkan rahmat dan barakahNya untuk kita semua … Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn
_____
*) Jentikan jemari ini Al-Faqir Fillâh goreskan pada waktu dhuha hari Kamis, 24 September 2020 di kediaman Komplek Pusdiklat Dewan Da’wah Setiamekar Tambun Selatan Bekasi Jawa Barat
Alhamdulillah