FIQIH KEGUNDAHAN (Renungan Kutaib Terapi Hawa Nafsu)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara fungsi para Nabi selain membacakan ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla (tilaawah) dan mengajarkan kitab serta hikmah (ta’liim), adalah membimbing manusia agar mampu membersihkan jiwa (tazkiyah) dari kotoran-kotoran kejahilan dan nafsu angkara murka.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan makna tazkiyah dan tugas kerasulan tersebut, tak terkecuali Nabi akhir zaman Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di antara firmanNya yang dapat kita petik:
1. Kisah Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam yang mendo’akan anak cucunya
“Yaa Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha kuasa dan Maha bijaksana.” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 129).
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha perkasa dan Maha bijaksana.” (QS. Alu ‘Imraan/ 3: 62).
2. Jawaban Allah ‘azza wa jalla terhadap do’a Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antaramu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, mensucikanmu, mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 151).
3. Perkataan Nabiyullaah Musa ‘alaihis salaam kepada Fir’aun
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun): Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya”? (QS. An-Naazi’at/ 79: 18 – 19).
4. Tazkiyah berhubungan dengan harta yang dikeluarkan (infaq) di jalan Allah
“Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya” (QS. Al-Lail/ 92: 18).
5. Juga, ayat Allah yang menyebutkan bahwa “keberuntungan” bagi orang-orang yang mensucikan diri dan “kerugian” bagi orang-orang yang mengotori jiwa
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. As-Syams/ 91: 9 – 10).
Sa’ied Hawwa dalam kitabnya Al-Mustakhlash fie Tazkiyatil Anfus memberikan komentar: “Jelas, bahwa tazkiyah termasuk missi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa dan dapat menentukan selamat atau celakanya di sisi Allah. Tazkiyah itu memiliki dua makna; penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula makna secara istilah; dikatakan zakaatun nafs artinya penyucian jiwa dari segala penyakit dan cacat (tathahhur), merealisasikan berbagai kedudukan yang baik (tahaqquq) dan menjadikan asma’ serta sifat sebagai akhlaq (takhalluq).” (Sa’ied Hawwa, 2007: hlm. 2).
Keistimewaan lain dari tazkiyatun nafs adalah kebahagian seseorang sangat tergantung kepada upaya melakukan pembersihan jiwanya sendiri, karenanya Al-Qur’an menyebutkan dengan kalimat sumpah secara berturut-turut. Suatu keistimewaan yang tidak terjadi dalam perkara yang lain. (Lihat: Ahmad Farid, tp. thn: hlm. 11 -12).
Adapun sumpah-sumpah yang dimaksud (sebagaimana termaktub dalam QS. As-Syams/ 91: 1 – 10) itu adalah:
1. Demi matahari dan sinarnya di pagi hari.
2. Demi bulan apabila mengiringinya.
3. Demi siang apabila menampakkannya.
4. Demi malam apabila menutupinya.
5. Demi langit serta apa-apa yang dibinanya.
6. Demi bumi serta apa-apa yang dihamparkannya.
7. Demi jiwa serta penyempurnaannya.
8. Lalu Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya, mana yang buruk dan mana yang baik.
9. Sungguh telah mendapatkan kebahagiaan orang yang membersihkan jiwanya.
10. Dan merugilah orang yang mengotorinya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan komentar dalam kitabnya At-Tibyaan Fie Aqsaamil Qur’an sebagai berikut: “Sungguh mencakup sumpah ini, baik sumpah terhadap Pencipta dan sumpah terhadap makhluq. Allah pun bersumpah dengan langit dan Yang membangunnya, bersumpah dengan bumi dan Yang menghamparkannya. Juga bersumpah dengan jiwa dan Yang menyempurnakannya.” (Ibnu Qayyim, tp. thn: hlm. 14).
Masih menurutnya (Ibnu Qayyim): “Sungguh, Allah telah bersumpah dengan segala yang disebutkannya itu, karena semuanya itu menunjukkan kepada keesaanNya (wahdaaniyyah) dan kebahagiaan (al-falaah) bagi yang mensucikanNya, serta menunjukkan adanya kerugian (khasarat) bagi yang meremehkannya, sehingga seseorang tidak akan mengira sesungguhnya ia tengah mengendalikan dirinya dan membinasakannya dengan kemaksiatan tanpa ada rencana sebelumnya.” (Ibnu Qayyim, tp. thn: hlm. 15)
Sebagaimana isyarat Al-Qur’an, bahwa dalam diri manusia ada dua kecenderungan yang bertolak belakang; berbuat baik (taqwaa) dan berbuat buruk (fujuur). Keduanya merupakan ujian bagi manusia, di mana manusia akan memilih ke mana kecenderungannya akan diarahkan? Mampukah manusia menghilangkan potensi buruk yang ada pada jiwanya, atau memelihara secara sempurna potensi yang baik yang ada dalam dirinya?
Muhammad Manshur dalam Al-Mukhtasharul Mufied Fie Tarbiyatin Nafs memberikan jawaban: “Sebenarnya manusia tidak dituntut untuk melakukan hal ini, karena selain mustahil dilakukan, sifat buruk yang ada dalam jiwanya merupakan bagian dari ciptaan Allah. Namun yang terpenting bagi manusia adalah berusaha mencegah sifat buruk yang ada dalam dirinya agar tidak mendominasi jiwa, misalnya sifat marah yang tidak mungkin dihilangkan dari jiwa manusia. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu marah pun diperlukan. Oleh karena itu, manusia diminta untuk mengendalikan marah agar hal-hal yang buruk akibat marah seperti berbuat zhalim dapat dicegah.” (Muhammad Manshur, 2004: hlm. 1 – 2)
Sementara seorang Ahli Kejiwaan kita, Prof. Dr. Zakiah Daradjat menuturkan: “Bimbingan Allah dalam Al-Qur’an QS. As-Syams/ 91: 7 – 10 merupakan peringatan dan bimbingan Allah pada manusia, agar dia dapat mengendalikan jiwa yang menjadi motor penggerak dalam perbuatan dan perilaku pada umumnya. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan Allah yang memberi petunjuk dan arahan dalam kehidupannya, agar manusia itu dapat menjadi baik dan tidak ditimpa oleh bahaya dan kesengsaraan.” (Zakiah Daradjat, Psikoterapi Islami, 2002: hlm. 28)
Karena itulah, mengetahui kiat-kiat bagaimana terapi kejiwaan dan hawa nafsu, merupakan keniscayaan yang wajib diupayakan seorang Muslim. Menarik untuk dicermati, sebuah buku kecil (kutaib) yang ditulis Ummu Ihsan bersama Abu Ihsan Al-Atsary yang menuturkan: “Memang, setiap manusia pasti memiliki nafsu. Secara fithrah, Allah telah meletakkannya pada diri manusia. Dalam nafsu itu sendiri tersimpan potensi positif dan potensi negatif. Keduanya saling bergolak sementara hamba berada di tengah-tengah, siapa yang menang dalam pergolakan itu.kesitulah hamba itu akan condong. Perbudakan hawa nafsu adalah penyakit batin, ini memang sangat sulit diobati. Selain kesungguhan dari si penderita, ia juga harus tahu cara-cara pengobatannya; mengetuk pintu Ar-Rahman, bulatkan tekad untuk berubah, hiasi diri dengan seteguk keshabaran, mengetahui bahaya kelezatan sesaat, memahami betapa hinanya memperturutkan nafsu, meyakinkan diri bahwa menyelisihi hawa nafsu adalah kemenangan dan kemuliaan, serta terapi-terapi lainnya [pen.].” (Lihat selengkapnya: Terapi Hawa Nafsu, Risalah Ilmu: 2019)
Kepada Allah ‘azza wa jalla jualah semua kita berharap, semoga diberikan kemampuan untuk mengendalikan jiwa-jiwa itu. Allaahumma aati nafsii taqwaahaa wa zakkaahaa … Anta Khairun man zakkaahaa … Anta waliyyuhaa wa mauwlaahaa
_____
Penulis adalah: Ketua Prodi KPI-STAIPI Jakarta, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK-MUI Pusat dan Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah