SEMBILAN MAQAM PARA PEMBURU ILMU DAN PENGKHIDMAT UMMAT
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Seiring perjalanan waktu, tanpa terasa kini Pesantren Persatuan Islam 81 Cibatu Garut telah meluluskan santrinya hingga angkatan ke-23. Sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan, setiap santri akhir mereka terlebih dahulu diwajibkan melaksanakan aktivitas akhir pembelajaran di pesantren berupa Program Latihan Khidmat Jam’iyyah (PLKJ) yang disebarkan langsung di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum mereka benar-benar dilepas, sebagai Pimpinan Pesantren, berkewajiban membekali terlebih dahulu hal-hal penting sebagai bekal pokok mereka. Sekaligus tentunya, menguatkan kembali jati diri para lulusan untuk tetap kokoh dalam perjuangan, dan memiliki tanggung jawab yang tinggi bahwa di tangan merekalah harapan ummat terpikulkan.
Sebagai butir-butir mutiara yang bisa disampaikan adalah “Sembilan Maqam Para Penuntut Ilmu dan Pengkhidmat Ummat” sebagai berikut:
- Menjadi khaliifatullaah fil ardh
Di samping manusia mendapatkan amanah untuk menghidup suburkan bumi dengan ilmu pengetahuan, juga manusia sepanjang hidupnya berkewajiban patuh dan taat kepada Penciptanya. Para ulama menyebutkan bahwa kekhalifahan manusia di muka bumi memiliki dua tugas inti; yang pertama disebut khilaafah kauniyyah, dan yang kedua disebut khilaafah syar’iyyah. Keduanya membutuhkan ilmu yang sepadan; Menghidupkan dan memakmurkan bumi dengan ilmu dunia, itulah ‘ilmul wasaail (ilmu perantara selama di dunia). Dan membangun kepatuhan dan ketaatan dengan ilmu syar’i, itulah ‘ilmul maqaashid (ilmu yang memiliki tujuan langsung dalam menghadap Rabb-nya). Maka, manusia dipercaya sebagai khaliifah mengandung makna; pemimpin, pengganti satu sama lain, dan pengelola. - Menjadi insaan ulul albaab
Dengan anugerah akal yang Pencipta berikan, ada satu tingkatan akal yang paling tinggi. Itulah yang disebut al-lubb, jamaknya adalah al-albaab. Para ulama menuturkan: sumiyal lubb bil lubbi liannahu ruuhul ‘aqli, dikatakan akal itu lubb karena dia ruhnya akal. Karenanya, intelektual harapan itu adalah mereka yang bukan sekadar ilmuwan yang menggerakkan akalnya dengan ilmu fikir, melainkan ilmu yang digelutinya dapat menjadi penopang sampainya yang dicari dan diketahui kepada yang Maha tahu (Maa tuushalul ma’luum ilal ‘aalim). Al-Qur’an menyebutnya ulul albaab. - Menjadi thaaifah muttafaqqihiina fid diin
Sebagaimana diisyaratkan wahyu, bahwa tidak dibenarkan dalam perjuangan menafikan ilmu, artinya pendidikan itu wajib adanya sekalipun dalam kecamuk perang. Karenanya, membentuk komunitas khusus dalam memahami ilmu agama secara mendalam (thaaifah mutafaqqihiina fid diin) merupakan keniscayaan sebagai fardhu kifaayah sama halnya dengan jihad di medan laga. - Menjadi ahlul khasyyah
Buah ilmu adalah amal, dan akarnya adalah khasyyatullaah. Artinya, ilmu yang terlahir dengan baik adalah ilmu yang menjulang tinggi ke langit yang didasari dengan rasa takut di hadapan Penciptanya. Semakin tinggi ilmu, semakin bertambah rasa takut kepadaNya. Mereka disebut ahlul khasyyah, karena imannya telah berhasil melindungi ilmunya. - Menjadi ahlul karaamah
Dari sekian kemuliaan yang diberikan kepada manusia, adalah anugerah akal. Tidaklah akal manusia bermanfaat, melainkan dipenuhi dengan ilmu pengetahuan. Siapa pun manusianya yang menggiatkan diri dengan ilmu, maka bisa dipastikan bahwa dirinya akan mendapatkan kemuliaan. Itulah yang menyebabkan seseorang disebut ahlul karaamah, ketika hidupnya berhasil dihiasi dengan banyaknya pengetahuan. - Menjadi pengemban washiyyatu Rasulillaah
Tidak semua manusia mendapatkan kedudukkan terhormat di mata Manusia agung Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melainkan generasi yang menyibukkan dirinya dengan ilmu dan ketaatan. Mereka dianggap oleh Sang Nabi sebagai manusia yang layak disebut “pengemban washiyat Rasulullaah”. Sudah menjadi budaya ilmu di kalangan para shahabat, taabi’in, dan taabi’ut taabi’in, serta yang mengikuti jejak langkahnya. Setiap mereka berhadapan dengan generasi muda penuntut ilmu, terlontar dari lisannya: “marhaban bi washiyyati Rasuulillaah”. Maknanya adalah “selamat datang para pengemban dan pelanjut washiyat Rasulullaah”. Kepada merekalah ummat berharap, kepada mereka pula ummat bertanya dan bermuara. Mereka adalah tumpuan, mereka pula penyampai pesan Rasul setelah ketiadaannya. - Menjadi ‘aalimun rabbaaniyun
Menjadi orang berilmu saja tidaklah cukup sebelum beramal, dan tidaklah dapat dikatakan beramal sungguh-sungguh apabila tidak menjadi insan rabbaniy. Tidak dikatakan seorang berilmu itu rabbaniy, melainkan ‘alim tersebut memenuhi diri dengan: ilmu, amal, keikhlasan, ketaqwaan, kebijakan, kelembutan, dan ketajaman mata hati (bashiirah) - Menjadi du’aat ilallaah
Menjadi ahli ilmu, idealnya menjadi du’aat ilallaah. Demikian pula sebaliknya, menjadi du’aat seyogianya menjadi ahli ilmu (al-‘ulamaa humud du’aat). Perkataan ini sungguh populer di kalangan para pemburu ilmu, dari zaman ke zaman. Betapa tidak, tak ada seruan di muka bumi ini yang lebih baik selain “menyeru di jalan da’wah”. Da’wah adalah amalan para Nabi dan Rasul, amalan Rasulullaah, amalan para shahabat, dan amalan generasi terbaik setelah mereka. Dengan da’wah inilah menyebabkan martabat mereka terangkat: dada mereka lapang, ilmu mereka bermanfaat, akhlaq mereka mulia, dan mereka menjadi generasi yang sangat sedikit kekeliruannya.Tidak ada yang lebih pandai agamanya (aqraa), lebih bertaqwa perilakunya (atqaa), paling rajin menyambung tali persaudaraan (aushiluhum lir rahimi), dan senantiasa menjalankan al-amru bil ma’ruuf wan-nahyu ‘anil munkar selain mereka. Karenanya, mereka itu pula yang paling berhak mendapatkan predikat khairu ummah. Adapun kaum yang terlahir setelah wafatnya Nabi akhir zaman, disebut-sebut sebagai a’jabuhum ‘indallaah iimaanan, yakni “orang-orang yang menakjubkan keimanannya di sisi Allah ‘azza wa jalla“. Selama misi da’wah dijalankan, maka generasi terdahulu atau pun sekarang berhak mendapatkan kemuliaan berupa penghargaan yang melebihi unta merah (humurun ni’am). Sebuah sebutan untuk menggambarkan hadiah yang sangat mahal. - Menjadi khaadimul ummah
Sudah menjadi sifat yang melekat, senyawa dalam jiwa para pemimpin hebbat; mulai dari kesiapan untuk menjadi teladan, kesiapan untuk selalu di garda depan, kesiapan untuk menderita, kesiapan untuk berkorban, bahkan kesiapan untuk kehilangan segala yang disukai dan dimilikinya. Semua itu tiada lain, menunjukkan bahwa hakikat kepemimpinan adalah sayyidul qaum khaadimuhum. Artinya adalah “menjadi pemimpin suatu kaum, berarti harus siap menjadi pelayan kaumnya”.
Semoga “sembilan maqam” ini, bisa memantik jalan fikir kita, dan berfungsi sebagai kurikulum dalam memandu jalan kehidupan perjuangan yang tidak akan rapuh dan lapuk karena panjangnya zaman. Satu hal yang mesti kita ingat, bahwa usia da’wah kita jauh lebih panjang dibandingkan usia kita sendiri. Allaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad
*) Disampaikan pada acara Pelepasan Santri PLKJ PPI 81 Cibatu Garut pada tanggal 14 February 2021 di Mesjid ‘Aisyah At-Tarkit Dewan Da’wah-Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut Jawa Barat