MENJADI TULANG PUNGGUNG PERADABAN UNTUK UMMAT BERKEADABAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Mengapa harus tulang punggung? Itu pertanyaan pembuka tulisan ini. Punggung dalam bahasa Arab, dilafazhkan dengan kata “zhahrun”, yakni sesuatu yang tampak. Kalimat “tulang punggung”, kini sudah menjadi istilah baku yang digunakan untuk menyebut bentuk kekuatan yang diharapkan. Maka seseorang dikatakan tulang punggung keluarga misalnya, berarti orang tersebut menjadi tumpuan harapan bagi keluarganya. Dikatakan “tulang punggung peradaban”, mengandung makna tentang sesuatu yang harus nyata adanya, dan sesuatu itu mampu menjadi kekuatan yang dihadirkan dalam membentuk suatu peradaban.
Dalam hukum fiqih parenting, ada yang disebut “zhihaar”. Yaitu suatu ungkapan yang menyebabkan berlakunya thalaq bagi pasangan sebuah bahtera, ketika sang suami mengatakan pada isterinya: “anti kazhahri ummii”, engkau ini seperti punggung ibuku. Artinya, suami telah mempersamakan isterinya seperti ibunya sendiri. Ungkapan ini telah menjadi isyarat kesimpulan hukum, bahwa seseorang berniat menceraikan pasangannya.
Kembali ke “tulang punggung”, judul artikel ini ingin menegaskan bahwa kalimat tersebut memiliki makna yang sangat memiliki nilai dan konsekuensi ideologis yang mendalam, terlebih dihubungkan dengan peradaban.
Sedangkan makna “adab” dan “beradab”, beberapa Kamus menjelaskan, di antaranya Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata “adab” didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, dan akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya.
Kata “adab”, yang kini sangat kental menjadi bahasa Melayu dengan pengertian “sopan” (lawan dari kata “biadab”). Maka kata “beradab” berarti baik budi bahasa. Tuan Ahmad Hassan (Tokoh dan Guru Persatuan Islam) menyebutnya dengan “kesopanan tinggi”. Inilah asas peradaban dalam Islam, di mana akhlak, yang tulisan aslinya bahasa arab, yakni akhlaaq mengandung makna “budi pekerti” (istilah hadits Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam yang mulia: makaarimul akhlaaq, atau shaalihul akhlaaq).
Membincang perkara “adab” dan “peradaban”, mengingatkan kita pada seorang tokoh Muslim Kuala Lumpur turunan Arab-Indonesia (asli Bogor) Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang pada suatu seminar pendidikan Islam Internasional di Makkah (tahun 1977) ditanya oleh salah seorang anggota seminar tersebut; “Apa permasalahan terbesar yang sedang dihadapi oleh umat Islam saat ini?.” Beliau pun menjawab, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini mencakup dua hal; Pertama, masalah eksternal, yang berupa serbuan pemikiran-pemikiran yang merusak, hal ini dimaksudkan dengan gerakan westernisasi dari Barat. Kedua, masalah internal, yaitu hilangnya adab (loss of adab). Sebagaimana pernyataannya, ”the central crisis of Muslim today is loss of adab” sebagaimana banyak dipetik tokoh-tokoh INSISTS.
Berikutnya, kepada siapakah generasi hari ini harus bercermin? Adakah ummat berkeadaban yang layak jadi teladan? Jawabannya adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai khabar Rabbaniy menyebutkan bahwa fakta obyektif cerminan ummat berkeadaban sejati disebut sebaik-baiknya ummat (khairu ummat), sebaik-baiknya manusia (khairun naas), atau sebaik-baiknya zaman (khairul quruun).
Adapun karakteristik khairu ummat, dalam beberapa hadits disebutkan sebagai berikut; senantiasa mendahulukan nilai-nilai takwa (atqaa), selalu menebarkan tali persaudaraan (aushiluhum lir rahimi), dan menegakkan al-amru bil ma’ruuf wan nahyu ‘anil munkar. Demikian Ibnu Katsir menukilkan riwayat Ibnu Mardawaih. Dalam riwayat berbeda, Imam As-Syaukani dalam Fathul Qadiir menukilkan bahwa generasi yang tidak sezaman dengan Nabi, namun mereka beriman terhadap apa yang dibawa oleh Nabi. Mereka itulah yang disebut sebagai “orang yang paling menakjubkan keimanannya di sisi Allah” (a’jabun naas iimaanan ‘indallaah).
Untuk menuju ummat berkeadaban, adanya “timbang terima” estafeta perjuangan adalah sebuah keniscayaan. Lahirnya ummat berkeadaban, tidak dapat dilepaskan dari sejauhmana kita mampu mewujudkan “lumbung kader” tempat mersiapkan hasil didikan yang suatu saat kelak siap disebar dan dimanfaatkan sebagai warisan nilai perjuangan. Dengan memetakan mana yang bersifat peradaban desa (badawiy) dan mana yang bersifat peradaban kota (hadhariy), yang jelas “kota peradaban” yang sesungguhnya benar-benar dapat diwujudkan seperti halnya madiinah al-munawwarah negeri teladan yang digoreskan tinta emas sejarah sepanjang zaman.
Seperti masa-masa zaman keemasan Islam; baik Baghdad di Timur atau pun Andalusia di Barat tidak dapat dilepaskan dari berbagai indikator yang menjadi penyangganya; para pemimpin negara yang adil, para ulama yang hebat, para hartawan yang dermawan, juga para ponggawa yang berani. Semua itu menjadi anasir kuat bagi kokohnya bangunan mercusuar tersebut, terlebih apabila dilengkapi dengan kriteria Imam Fakhruddin ar-Razi terkait penuturannya bahwa hiasan dunia dibangun dengan lima perkara; di samping keadilan para pemimpin (‘adlul umaraa) dan mumpuninya ilmu para ulama (‘ilmul ‘ulamaa), beliau pun menambahkan dengan keshalehan dan kesungguhan ahli ibadah (‘ibaadatul ‘ubbaad), amanahnya para saudagar (amaanatut tujjaar), dan arahan para profesional (nashiihatul muhtarifiin), semakin lebih menyempurnakan semuanya.
Sebagai jawaban bagi generasi hari ini, untuk dapat mewujudkan kembali peradaban dan ummat berkeadaban itu, maka menghidupkan penyangga-penyangga berikut ini merupakan keniscayaan; melakukan kaderisasi pemimpin yang adil, menyiapkan kaaderisasi ulama yang mumpuni, menjalankan kaderisasi pelaku ekonomi yang handal dan amanah, menyiapkan kaderisasi pelaku birokrasi yang jujur, pemberdayaan kaderisasi kaum profesional, serta pembinaan masyarakat pilihan yang bermartabat.
Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa
*) Goresan ini disampaikan secara virtual pada hari Ahad, 04 April 2021 (malam Senin) sebagai materi Taujih Jelang Ramadhan 1442 H. bersama Ikatan Keluarga Besar Alumni PPI 81 Cibatu-Garut (IKBAL)