TAK BACA MAKA TAK KENAL DAN TAK KENAL MAKA TAK MINAT … Manna’ Khalil al-Qatthan, penulis Mabaahits fii ‘Uluumil Qur’aan dan Mahmud Basuni Faudah dalam At-Tafsiir wa Manaahijuhu memaparkan: “Ada 4 mufassir induk yang layak dijadikan rujukan sebagai tafsiir bil ma’tsuur; As-Suyuthi, At-Thabari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsir.” Itulah para mufassir klasik yang telah memberikan keteladan ilmiah kepada dunia. Karenanya, kalangan mutaakhkhirin menilainya sebagai tafsir yang lebih baik dan lebih selamat. Namun, tidak berarti tafsir-tafsir yang muncul kemudian tidak lebih baik, karena lahirnya kitab-kitab Tafsir sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi zamannya, di samping pemikiran sosok sang penafsir. Tak terkecuali lahirnya tafsir-tafsir kontemporer (mu’aashirin) yang semakin marak dengan beragam pendekatan (baik yang mendunia atau pun lokal). Termasuk Tafsir Al-Furqon, yang menurut telusur sejarawan muda Pepen Irpan Fauzan sudah digarap penerbitannya oleh Tuan A. Hassan sejak 1928.(TRQ Thea)