BAHAIYYAH; SINKRETISME GLOBAL YANG TAK BOLEH DIABAIKAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Tidak termasuk orang lebay, apabila seorang Muslim merasa aneh atau menilai ganjil (syadz) ketika mendengar atau menyaksikan pidato resmi saudaranya, terlebih atas nama institusi negara yang di dalamnya ada ucapan selamat menunaikan hari raya ajaran tertentu, yang bukan termasuk bagian dari agama-agama resmi yang ada. Jangankan untuk mengucapkan selamat terhadap suatu keyakinan yang belum jelas keabsahannya, terhadap agama yang nyata-nyata sudah diakui keberadaannya sekalipun, masih terjadi perdebatan teologis yang tidak bisa dianggap angin lalu. Demikian pula dengan isi pidato viral Menteri Agama Yaqut Chalil Qaumas terkait perayaan Nawruz kaum agama Bahaiyyah.
Karena menyangkut persoalan penting aqidah ummat, tidak ada salahnya apabila ummat diberikan pencerahan agar mengetahui apa dan bagaimana Bahaiyyah itu yang sebenarnya. Hal ini dilakukan, justeru untuk menghindarkan sikap apriori ummat terhadap kemurnian ajaran agamanya yang wajib dipelihara. Di samping ummat menjadi lebih cerdas, juga dapat terhindar dari penilaian “lebay murakkab” karena berdiam diri atas keganjilan yang disaksikannya.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa, sejak awal telah turut serta hadir di tengah-tengah lalu lintas pemikiran keagamaan yang terjadi. Lahirnya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/ PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, menjadi bukti kuat bahwa negara turut terlibat dalam menertibkan kawasan ideologi ini. Terlebih munculnya Fatwa MUI Tentang Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil (Munas II Tanggal 11-17 Rajab 1400 H./ 26 Mei – 1 Juni 1980) sebagai lembaga otoritatif keagamaan dalam masalah ini.
Sekalipun tidak ditemukan fatwa khusus dalam Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 terkait Bahaiyyah, namun berbagai indikasi syubhat ajaran disinggung dalam fatwa yang berbeda. Terlebih kesimpulan lembaga-lembaga riset dunia Islam terpercaya sekaliber Lembaga Fatwa Ulama Al-Azhar Mesir (1980), Majma’ Fiqih Internasional (1987), pandangan Syaikh Ibnu Baz rahimahullaah (Mufti Agung KSA), pandangan Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq (Pakar pengkajian pemikiran Islam). Semuanya, tidak meragukan akan kekufuran ajaran Bahaiyyah ini.
Untuk mengetahui lebih lanjut, sekilas paparan bahan diskusi Bidang Kajian dan Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia ini diharapkan dapat mengantarkan terhadap pemahaman ummat kita.
Apakah Bahaiyyah itu?
Ada beragam pandangan, terkait siapakah mereka. Namun, di sini cukup disajikan pandangan yang mewakili saja. Bahaiyyah atau Bahaisme, disebut juga Baabiyyah atau Babisme adalah
sebuah gerakan keagamaan yang muncul pada tahun 1260 H./ 1844 M. di bawah asuhan Rusia, Yahudi Internasional, dan Kolonialis Inggris dengan sasaran utamanya penghancuran aqidah Islam, memecah belah ummat dan memalingkan ummat dari persoalan-persoalan yang mendasar. (Lihat: Lembaga Penelitian & Pengkajian WAMY dalam Al-Mauwsuuaat al-Muyassarah fiel Adyaan wal Madzaahib al-Mu’aashirah: 1993)
Tokoh Kemunculan Bahaiyyah
Berawal dari tokoh Ahmad Zainuddin al-Ahsai (Syi’ah Iraq, 1157-1242 H.) dan Kazhim ar-Risyti (Syi’ah Iran, 1209-1259 H.), juga Mirza Ali Muhammad as-Syairazi (gelar Al-Baab, 1235-1266 H.) dan Husein Ali al-Mazandarani (gelar Al-Bahaa, wafat 1233-1309 H.). Dari aliran Syaikhiyyah menjadi Baabiyyah dan Bahaiyyah (disandarkan kepada Syaikh Ahmad al-Ahsai). Adapun gelar Al-Baab, artinya pintu. Maksudnya pintu yang menghubungkan manusia dengan imam yang hilang yang akan keluar pada akhir zaman (dalam keyakinan Syi’ah, itulah Al-Mahdi al-Muntazhar). (Lihat: Sayyid Muhibuddin al-Khatib dalam Al-Bahaaiyyah: tp. tahun).
Sedangkan Bahaa, artinya elok atau hebat. Maksudnya keelokan Allah dalam mengangkat dirinya sebagai Al-masiih di mana ia mengklaim bahwa Allah menjelma dalam dirinya, dialah tempat yang dipilih untuk menampakkan dirinya kepada makhluqNya. Ia merupakan jalan bagi munculnya nabi Musa dan Isa pada akhir zaman. (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah dalam Taarikh al-Madzaahib al-Islaamiyyah).
Para Pengikut dan Penyebar Bahaiyyah
Sebelum meninggal, Mirza Ali telah memilih dua orang pengikutnya; yaitu Yahya Ali Shubhul ‘Azal dan Mirza Husein Ali Bahaullah. Keduanya dibuang dari Persia oleh penguasa, yang pertama ke Cyprus dan yang kedua ke Adrianopel Turki. Tokoh lainnya, Qurratul ‘Ain Razin Taj (nama aslinya Fathimah; wanita penyair yang berambut emas dengan suara lembut dan merdu), Al-Mala Husain al-Basyarui dengan gelar Baabul Baab (orang yang pertama-tama memberi kabar gembira tentang munculnya Al-Mahdi al-Muntazhar, yaitu Mirza Ali Muhammad). Berikutnya, Al-Mala al-Barfarusyi dengan gelar Al-Quds (orang yang memandang adanya kesempatan menghancurkan tentara pemerintah pada masa peralihan Raja Muhammad Syah kepada Nashiruddin Syah). (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah dalam Taarikh al-Madzaahib al-Islaamiyyah dan Dr. Musthafa Mahmud dalam Haqiiqatul Bahaaiyyah).
Akar Pemikiran dan Sifat Ideologi
Akar pemikirannya, bersumber dari ajaran campuran (sinkretis); Budha, Brahma, Zoroaster, Mannu, Mazdaq, Kebathinan, Yahudi, Kristen, Atheis dan warisan-warisan Persia sebelum Islam. (Lihat: Lembaga Penelitian & Pengkajian WAMY dalam Al-Mauwsuuaat al-Muyassarah fiel Adyaan wal Madzaahib al-Mu’aashirah: 1993).
Untuk ajaran-ajaran yang berasal dari Persia Kuno, literatur lain dapat dibaca pada buku A.D. Elmarzdedeq dalam Parasit Aqidah; Sisa-sisa Peninggalan Agama Kultur. Adapun pandangan yang paling menonjol dari ajaran mereka bahwa tiga agama itu harus disatukan, sehingga tidak ada agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Yang ada hanyalah Diinullaah (agama Tuhan) atau mereka sebut juga “Agama Internasional”. (Lihat: H.M. Amin Djamaluddin dalam Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia : 2002).
Selain itu, sumber lain menyebutkan bahwa ajaran Bahaiyyah adalah campur aduk antara falsafah pantheisme (wujuudiyah), ajaran huluul dalam Tashawwuf, petikan-petikan dari Taurat, Tantrisme. Dan yang terbesar ialah istilah-istilah Islam yang diberi arti menurut paham bathiniyah. (Lihat: Dr. Abdussabur Marzuki dalam Sekte Bahai: 1984, hlm. 11)
Kitab dan Ajaran Sekte Bahaiyyah
Al-Baab berkata dalam Miftaahu Baabil Abwaab, hlm. 20 tentang kitab sucinya Al-Bayan: “Saya ini lebih baik dari Muhammad, sebagaimana qur’anku lebih baik dari Al-Qur’an Muhammad. Jika Muhammad mengatakan manusia tak kan mampu mendatangkan satu surat pun yang serupa dengan Al-Qur’an, maka aku katakan bahwa manusia tak kan mampu mendatangkan satu huruf pun yang serupa dengan huruf qur’anku.”
Al-Baab berkata lagi dalam pidatonya (Bahai Bab, hlm. 88): “Sesungguhnya Nabi kalian tidak meninggalkan setelah wafatnya selain Al-Qur’an, maka inilah kitabku al-Bayan, bacalah dan baca niscaya kalian akan mendapatinya lebih fashih ungkapannya dari pada Al-Qur’an, sedang hukum-hukum yang dikandungnya menghapus hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an.” (Lihat: Dr. Musthafa Mahmud dalam Haqiiqatul Bahaaiyyah).
Dalam sumber yang sama, Bahaaullah berkata dalam Lauh Ahmad, hlm. 154: “Sesungguhnya Ali Muhammad as-Syairazi adalah raja dari semua utusan Tuhan, sedangkan kitabnya al-Bayan, adalah kitab induk.” Al-Baab menegaskan: “Hendaklah kamu hapus segala yang pernah kamu tulis dan berpedomanlah dengan al-Bayan dan apa yang kamu karang dalam naungannya.”
Menurut Goldziher (orientalis Yahudi Honggaria), bahwa Bahaullah lebih hebat dari Al-Baab, karena Al-Baab sekedar menjadi Al-Qaaim, sedangkan Bahaaullah Al-Qayyuum, artinya yang tetap dan tinggal abadi. Oleh sebab itulah Al-Baab sekedar pemberi kabar gembira akan kemunculan Bahaaullah. Diberitakan bahwa sebelum matinya Bahaaullah (menderita gila di akhir hayatnya dan meninggal bulan Mei 1892 di Akka Palestina, dan putranya Abbas Effendi menggantikannya dengan diberi nama Abdul Baha atau Ghunun A’zham. Kini kuburannya dijadikan kiblat oleh orang-orang Bahai). Dirinya menaruh perhatian untuk menulis kitab Al-Aqdas yang diakui sebagai wahyu, mengajak ke agama baru (bukan Islam). Bahaaullah menganggap agamanya universal, semua agama dan ras bersatu di dalamnya. Di samping kitab Al-Alwaah oleh Shubhul ‘Azal Yahya Ali, tercatat pula ada kitab lainnya yaitu Al-Iqaan dan Majmuu’ah al-Alwaah al-Mubaarakah (Lihat: Sayyid Muhibuddin al-Khatib dalam Al-Bahaaiyyah: tp. tahun).
Selain pokok-pokok ajaran tersebut, mereka pun memiliki keyakinan sebagai berikut:
- Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syari’at telah kadaluarsa, persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis warna kulit dan agama.
- Mengubah peraturan rumah tangga dengan menolak ketentuan-ketentuan Islam, poligami tidak boleh dilakukan lebih dari dua istri, melarang talak kecuali terpaksa yang tidak memungkinkan antara kedua pasangan untuk bergaul lagi, isteri yang ditalak tidak perlu menjalani ‘iddah.
- Tidak ada shalat jama’ah, yang ada hanya shalat jenazah bersama-sama.
- Ka’bah bukanlah qiblat yang diakui mereka, melainkan qiblat mereka adalah tempat Bahaaullah tinggal, karena selama Tuhan menyatu dalam dirinya maka di situlah qiblat mereka.
- Secara umum, mereka mempropagandakan pluralisme dan liberalisme. (Lihat: Hartono Ahmad Jaiz dalam Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Ummat: 2008 dan Tim Ulin Nuha dalam Diraasatul Firaq: 2010).
Untuk lebih maksimalnya pengetahuan tentang ajaran mereka, ada beberapa kitab yang belum sempat dikaji, di antaranya: Al-Bahaaiyyah; Al-Fikru wal ‘Aqiidah (1987) oleh Shalih Abdullah Kamil, Hiwaarun Ma’al Bahaaiyyiin (1046 H.) oleh Dr. Muhammad Abduh Yamani, Al-Bahaaiyyah (1986), Al-Bahaaiyyuun Mudhallaluun (1986), dan Al-Qiyaamat wal Hayaat ba’dal Maut (1986) oleh Hasyim ‘Aqil ‘Azuuz.
Perkembangan Bahaiyyah dan Masuknya ke Indonesia
Diperkirakan pengikut Bahaiyyah di dunia berjumlah lebih dari 5 juta orang; Asia (3,6 juta), Afrika (1,8 juta) dan Amerika Latin (900 ribu). Hingga saat ini tercatat agama Bahaiyyah ada di 247 negara, anggotanya terdiri dari 2100 ras dan suku bangsa. Kedudukannya yang kuat tergambar perannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bahai Internasional Community (BIC) memiliki hak berkonsultasi dengan organisasi-organisasi PBB, bahkan memiliki kantor di PBB New York dan Jenewa, begitu pula di komisi-komisi regional serta kantor-kantor PBB lainnya di Addis Ababa, Bangkok, Nairobi, Roma, Santiago dan Wina. Tahun 1970 BIC resmi menjadi Badan Penasehat Dewan PBB di bidang sosial ekonomi. Tahun 2000, dalam acara millenium forum yang diselenggarakan PBB, perwakilan Bahai menjadi satu-satunya wakil non pemerintahan yang diberikan kesempatan untuk berpidato. (Lihat: Dr. Drs. IGM Nurdjana, S.H., M.Hum. dalam Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia: 2009).
Adapun masuknya ke Indonesia, pertama kali pada tahun 1878 melalui daerah Sulawesi yang dibawa oleh pedagang bernama Jamal Efendi (Persia) dan Musthafa Rumy (Turky). Keduanya berkunjung ke Batavia, Surabaya dan Bali. Pada tanggal 7 Oktober 1954 di Jakarta didirikan Madjelis Rohani Bahai Djakarta. (Lihat: Ahmad Riznanto dalam Mereka Menodai Islam: 2008).
Diberitakan pula, ketua Bahai Indonesia bahkan juga Asia Tenggara yang berusia 68 tahun (inisial KS tidak disebutkan, pen.) meninggal dunia di Bandung pada hari Senin tanggal 10 Februari 1997. Dia masuk Bahaiyyah pada tahun 1957 ketika menjabat sebagai Diplomat yang bertugas di Hongkong. Sumber yang hadir dalam upacara mayat tokoh Bahai ini menyebutkan bahwa mayat tersebut memiliki hubungan erat dengan seorang tokoh terkemuka yang dikenal sangat anti Islam di zamannya.
Walaupun perkembangannya di Indonesia tidak terlalu memperoleh tanggapan dari masyarakat luas, namun kenyataannya sejumlah orang tertarik menjadi pengikutnya. Sejak tanggal 15 Agustus 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden No. 264/ tahun 1962 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi, termasuk Bahai. Dalam surat itu dikatakan Bahai dilarang karena “tidak sesuai dengan keperibadian Indonesia” dan menghambat penyelesaian revolusi atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia. Meski demikian, di akhir tahun 1990an aliran ini mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya, hal ini menimbulkan keresahan dikarenakan dengan berpusat di Israel, diduga kelompok ini memiliki kaitan kuat dengan zionis Yahudi. (Lihat: Dr. Drs. IGM Nurdjana, S.H., M.Hum. dalam Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia: 2009).
Sementara di era berikutnya (dalam Hartono A. Jaiz: 2008), menurut Johan Efendi (mantan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama dan Sekretaris Negara masa Pemerintahan Gusdur), pertemuan dalam bentuk dialog, bahkan do’a bersama seringkali diadakan di Ciganjur tempo dulu, dan ini tidak dapat dilepaskan dari keluarnya Surat Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 2000 yang mencabut keputusan sebelumnya.
Merujuk pada Surat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dengan nomor MA/ 276/ 2014 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI Perihal Penjelasan Mengenai Keberadaan Bahai di Indonesia, diinformasikan bahwa Bahai adalah suatu agama dan bukan aliran dari suatu agama. Hasil survei yang dilakukan pihaknya pada bulan April 2014 di 11 kota, telah ditemukan jumlah umat mereka; Jakarta (100 orang), Bandung (50 orang), Palopo (80 orang), Medan (100 orang), Pati (23 orang), Bekasi (11 orang), Surabaya (98 orang), Malang (30 orang), dan Banyuwangi (220 orang).
Demikian yang bisa disajikan, semoga menjadi tambahan informasi yang bermanfaat, di mana Bahaiyyah, sekalipun mengaku agama tersendiri, namun hakikatnya merupakan sinkretisme global yang tak boleh kita abaikan. Walladziina jaahaduu fienaa lanahdiyannahum subulanaa
Penulis adalah: Anggota DH PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Anggota P3 & Anggota LDK MUI Pusat, Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah, dan Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta.