BELAJAR MENDENGAR SARAN TAK SEMUDAH MEMBUNCAH KATA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai makhluk berakal, memperhatikan kembali apa yang kita katakan dari apa yang kita dengar. Apa yang kita jalankan dari apa yang pihak lain sarankan. Sungguh, mendengar (simaa’) dan berkata-kata (kalaam), merupakan dua aktivitas penting dalam kehidupan insan.
Karenanya, bagaimana kita bisa disebut manusia bijak? Jawabannya sangat tergantung pada sejauh mana seseorang mampu menangkap pesan dan kesan yang didapat dari rekaman hidup yang dijalaninya melalui indera penglihatan dan indera pendengarannya. Setelah keduanya masuk dalam olahan akal dan relung hatinya, lalu bergerak menuju mulut, dan keluarlah menjadi kata-kata yang membuncah, atau sekedar titah perintah.
Banyak narasi Al-Qur’an, bagaimana suatu perkataan atau pernyataan seharusnya diterapkan dengan tepat. Ada yang disebut perkataan yang baik (qaulan ma’ruufan), perkataan yang benar dan tegas (qaulan sadiidan), perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan), perkataan yang pantas (qaulan maiysuuran), perkataan yang membekas pada jiwa (qaulan baliighan), perkataan yang mulia (qaulan kariiman), perkataan yang penuh makna (qaulan tsaqiilan), sebaik-baiknya perkataan (ahsanu qaulan), dan perkataan yang mengandung dosa besar (qaulan ‘azhiiman).
Ketika setiap perkataan ditempatkan pada tempatnya, disesuaikan dengan kedudukannya, diselaraskan dengan suasana yang terjadi (sesuai dengan situasi dan kondisinya). Yang berkata-kata mengetahui dan menyadari siapa dirinya, dan sekalipus memahami siapa yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan apa yang diucapkannya menjadi tepat guna karena sesuai dengan sasaran, dan yang menangkapnya pun bisa menerima karena sesuai dengan harapan.
Perhatian orang-orang terdahulu yang shalih, sangat berpegang pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan kalau tidak mampu berkata baik, maka diam itu lebih baik. Falyaqul khairan auw liyashmut sebagaimana hadits Bukhari-Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh. Dan itu merupakan tanda keimanan seseorang kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari akhir.
Dalam hal ini, Syaikh Naazhim Muhammad Sulthan memberikan komentar dengan menukilkan paparan singkat Imam An-Nawawi rahimahullaah yang disebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullaah pernah menuturkan kata-kata emasnya: “Jika seseorang hendak berkata-kata, hendaklah berpikir terlebih dahulu. Jika merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika merasa ucapan tersebut ada madharatnya atau ragu, maka hendaknya ditahan (untuk tidak bicara).” (Lihat: Qawaaid wa Fawaaid minal Arba’iin an-Nawawiyyah, 1988: hlm. 137-138)
Di sinilah rahasianya, mengapa di zaman keemasan Daulat ‘Abbasiyyah misalnya, para khalifah banyak memiliki para penulis produktif, para penerjemah yang fashih, dan juru bicara yang handal. Semua itu tiada lain dalam rangka menunjukkan martabat dan kewibawaan agar tetap terjaga dan terpelihara. Mereka percaya, bahwa kata-kata yang baik dapat menunjukkan pada kebijakan, dan kebijakan dapat mengantarkan pada kejayaan.
Maka sangatlah dimengerti, dan bisa diterima akal sehat lantunan nashihat Abdullah Ibnul Muqaffa (106 – 142 H.), yakni seorang Zoroaster yang masuk Islam dan menjadi pujangga legendaris di dua zaman (masa ‘Umawi dan ‘Abbasi). Penulis Al-Adabus Shaghiir dan Al-Adabul Kabiir ini memberikan pancaran hikmahnya:
تعلم حسنَ الاستماعِ كما تتعلمُ حسنَ الكلامِ، ومن حسنِ الاستماع إمهالُ المتكلمِ حتى ينقضي حديثهُ، وقلة التلفت إلى الجوابِ، والإقبالُ بالوجهِ والنظر إلى المتكلمِ، والوعي لما يقولُ
“Belajarlah engkau mendengar pembicaran dengan baik, sebagaimana engkau belajar berkata-kata dengan baik. Di antara mendengar pembicaraan dengan baik, adalah membiarkannya berbicara sampai selesai, berilah sedikit komentar, tidak memalingkan muka, memandang kepada orang yang berbicara, dan memperhatikan apa yang diucapkannya.”
Dalam narasi yang berbeda, kita sering mendengar cerdik pandai berkata: “Pandai bercakap-cakap itu hebat, namun pandai mendengarkan itu jauh lebih hebat”. Ahli adab lainnya menuturkan sindirannya: “Di antara tanda orang bodoh adalah: senang menjawab sebelum mendengar, senang membantah sebelum paham, dan senang menghukumi (menilai, mengadili) sebelum benar-benar mengerti”.
Semoga, masih ada waktu untuk kita belajar; melembutkan qalbu, melapangkan dada, dan diberikan kemudahan untuk dapat mendengarkan saran kebaikan dari orang lain, di samping saling berbagi pandangan. Allaahumma aghninaa bil ‘ilmi wa zayyinna bil hilmi wa akrimnaa bit taqwaa wa jammilnaa bil ‘aafiyah
✍️ Ditulis bakda ‘isya malam Rabu (03/08/2021) selepas merenungkan lalu lintas diskusi WAG terkait banyak hal sehingga melahirkan judul tadabbur ini.***
Hatur nuhun ustaz