BERISLAM TINGKAT IMAN; RENUNGAN KESADARAN DIRI (Perkuliahan ‘Aqidah Pesantren Ahad di Politeknik Al-Islam Bandung Yayasan RSI-KSWI Jawa Barat)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Berangkat dari sebuah pertanyaan, berimankah kita? Tentu jawabannya tidak semudah pertanyaannya. Pertanyaan ini mengingatkan kita pada peristiwa masa lampau, di mana hal ini terjadi di kalangan orang-orang shalih terdahulu, baik kalangan shahabat, taabi’in, atau pun generasi sesudahnya.
Dikatakan oleh Ibnu Abi Najih: “Seseorang bertanya kepada Al-Hasan, apakah anda orang beriman? Kalau yang dimaksud beriman di situ adalah mengimani Allah ‘azza wa jalla, para malaikatNya, para rasulNya, kitab-kitabNya, adanya hari akhir, adanya sorga, adanya hari kebangkitan, dan adanya hari penghisaban, tentu aku seorang yang beriman.” Jawabnya demikian. “Namun jika yang ditanyakan itu seperti dalam bunyi ayat innamal mu’minuuna alladziina idzaa dzukirallaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat ‘alaihim aayaatuhu zaadathum iimaanan wa ‘alaa Rabbihim yatawakkaluun, aku pun tidak tahu, termasuk beriman atau tidak.” Jawabnya lagi.
Demikian pula pengalaman shahabat ‘Alqamah, ketika melakukan perjalanan bertemu dengan rombongan suatu kaum. Mereka ditanya: “Kalian dari mana?”, mereka pun menjawab: “Kami ini orang-orang beriman yang sebenarnya.” Jawab mereka. ‘Alqamah pun bergumam, “Aku tidak mengerti jawaban mereka, sampai akhirnya aku bertemu dengan shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud.” Lalu dikatakan padaku oleh ‘Abdullah bin Mas’ud: “Anda tidak tanyakan pada mereka, apakah mereka penghuni sorga?” Dalam riwayat atsar yang berbeda, Sufyan as-Tsauri pernah menuturkan: “Kalau seseorang mengklaim dirinya mukmin yang sebenarnya di sisi Allah berarti ia ahli sorga, karena kalau hanya bersaksi setengahnya berarti ia hanya mengimani setengah ayat [karena orang yang beriman dengan sebenar-benarnya layak mendapatkan balasan derajat yang paling tinggi, yakni sorga].” Demikian Imam Al-Baghawi memaparkan dalam kitabnya Ma’aalimut Tanziil ketika menjelaskan QS. Al-Anfal/ 8: 4. (Lihat: Sa’id Abdullah al-Hamid, Al-Alukah 2017)
Betapa ber-Iman itu memiliki derajat yang lebih tinggi dari sekedar ber-Islam, Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat teguran terkait ucapan orang Arab Baduwi yang terburu-buru mengatakan “Kami telah beriman.” Qul Lam tu’minuu wa laakin quuluu aslamnaa; “Katakanlah pada mereka: kalian belum beriman, melainkan katakanlah kami sudah berislam.” [QS. Al-Hujuraat/ 49: ayat 14]. Karenanya para ahli Tafsir terkemuka [baik kalangan salaf dan khalaf] memberikan ulasan, bahwa yang disebut ber-Iman itu wajib ada pembuktian dalam amalan. Siapa yang memproklamirkan diri dengan ucapan keimanan, namun belum mengamalkan, sungguh ia berdusta, karena dirinya belum membenarkan dengan perbuatan [lam yushaddiquu bi a’maalihim].
Lebih lanjut, untuk menakar keimanan. Sekalipun karakter iman itu sendiri terkadang bertambah dan berkurang [yaziidu wa yanqushu], di mana keduanya kita tidak dapat menilainya secara pasti. Namun demikian, tidak terlampau salah, apabila kita meminjam pandangan ahli ilmu dalam memetakannya.
Di antaranya dalam hal pembagian model orang beriman yang dijelaskan Imam Al-Jarjani. Menurutnya, ada lima model keimanan; Iemaanun mathbuu’un, iman yang telah terpatri, yakni imannya para Malaikat. Iemaanun ma’shuumun, iman yang terpelihara, yakni imannya para Nabi. Iemaanun maqbuulun, iman yang diterima, yakni imannya orang beriman yang sungguh-sungguh. Iemaanun mauwquufun, iman yang ditangguhkan, yakni imannya pelaku bid’ah. Dan terakhir, Iemaanun marduudun, iman yang tertolak, yakni imannya orang-orang munafiq. (Lihat: Al-Jarjaani, At-Ta’riifaat, hlm. 40)
Bagi ummat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, memiliki iman selevel Malaikat dan para Nabi adalah hal yang tidak mungkin. Sama halnya dengan memiliki iman selevel pelaku bid’ah [mubtadi’] dan munafiq pun sangat tidak diharapkan. Satu-satunya yang jadi harapan, diakui sebagai orang-orang yang berhak sejajar dengan pemilik imannya orang ber-Iman. Kalau tiga zaman yang utama diberi kedudukan sebagai sebaik-baiknya ummat [khairu ummah], sebaik-baiknya manusia [khairun naas], atau pun sebaik-baiknya abad [khairul quruun]. Maka ummat sesudahnya, layak disebut orang yang menakjubkan keimanannya di sisi Allah [a’jabakum iemaanan ‘indallaah]. Sekalipun mereka tidak berjumpa dengan Nabi dan para shahabatnya, mereka mengimani lembaran-lembaran ajarannya. (Lihat: As-Syaukani dalam Fathul Qadiir).
Untuk memenuhi kriteria ummat harapan, yang “ber-Islam tingkat Iman” ini, penting merenungkan konsensus ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah di segala zaman terkait definisi Iman yang paripurna. Iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya. Sahl At-Tusturiy menegaskan: “Iman adalah perkataan, perbuatan, niat dan mengikuti ajaran Nabi. Karena perkataan dan amalan tanpa didasari niat, maka itu termasuk kemunafikan. Jika perkataan, amalan, dan niat tanpa disertai tuntunan Nabi, maka itu perbuatan yang mengada-ada [bid’ah].” (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmuu’ Fatawaa, vol. 7, hlm. 171)
Ada banyak cabang Iman, di mana kesemuanya itu merupakan beragam kebaikan yang menunjukkan kesempurnaan dalam ber-Islam. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan dalam sabdanya: “Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yakni perkataan Laa ilaaha illallaah, dan yang paling ringan yakni menyingkirkan gangguan [duri, kotoran, penghalang, atau kesulitan lain] dari jalan. Dan malu itu pun, termasuk bagian dari iman.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh). Wallaahu a’lam bis shawwaab
Penulis adalah: Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota KP3 & LDK MUI Pusat, Kaprodi KPI STAIPI Jakarta, dan Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah