TAUTSIEQUL HIMMAH; IKHTIAR MENGOKOHKAN BUDAYA ILMU SANTRI AKHIR PESANTREN PERSATUAN ISLAM CIBATU-GARUT
Oleh:
Bidang Publikasi dan Dokumentasi
Untuk memberikan pembekalan bagi santri akhir, Pesantren Persatuan Islam 81 Cibatu Garut telah menyelenggarakan program “pematangan” berupa daurah santri selama sepekan lamanya. Selain santri Rijaalul Ghad dan Ummahaatul Ghad dimatangkan kembali ingatan kognetif, afektif, dan psikomotoriknya, juga diberikan berbagai wawasan kekinian lainnya.
A. Dialog Pendidikan Islam
Dengan menghadirkan Dr. H. Adian Husaini, M.Si [Kaprodi doktoral Pendidikan Islam UIKA Bogor, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia] yang didampingi Mudier ‘Aam Pesantren, suguhan pembahasan lebih diarahkan kepada bagaimana santri harus merasa bangga dan mulia menjadi kader ummat.
Selain pentingnya membekali diri dengan skill yang mumpuni, juga pentingnya membangun kemandirian. Dalam pandangan Ustadz Adian, rumusan pendidikan Islam tidak lepas dari tiga hal penting yang wajib diperhatikan; 1) Tanamkan adab atau akhlaq mulia, 2) Utamakan ilmu-ilmu fardhu ‘ain [ilmu syar’i], dan 3) Pilihlah ilmu-ilmu fardhu kifaayah [ilmu dunia] yang tepat. Dengan ketiganya itu, apa yang menjadi tujuan dari pendidikan Islam akan tercapai. Selain itu, para santri-alumni pesantren akan lebih mudah menempatkan perannya, serta lebih elegan menjawab tantangan zamannya.
B. Mengokohkan Budaya Ilmu dan Amal Dakwah
Tidak kurang dari 12 materi utama yang diberikan dalam daurah tersebut; mulai dari menguatkan pemahaman visi-misi pesantren, menjadi guru hebat, pendidikan karakter da’i, khidmat perjuangan jam’iyyah, pematangan intelektual santri-alumni, sosialisasi fatwa hukum jam’iyyah, enterpreneurship da’i mandiri, dakwah era disrupsi, fiqih bahtera da’i, penyelarasan minat dan bakat santri. Tidak terkecuali materi problematika dan tantangan dakwah, serta ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dalam berbagai perspektifnya.
C. Mutiara Tautsiequl Himmah Mudier Pesantren
Pengokohan cita-cita [tautsiequl himmah], itulah kata kunci diselenggarakannya daurah santri akhir ini, di mana pesan intinya adalah “penyambutan kebahagiaan” bagi para santri yang telah menempuh jihad tarbiyah, dan bersiap diri menjadi kader ummat. Karenanya, tidak ada kalimat yang lebih tepat dihaturkan untuk mereka selain tahni’ah Nubuwwah yang pernah disampaikan kepada para shahabatnya:
مرحبا بوصية رسول الله صلى الله عليه و سلم
“Selamat buat semua, wahai para pemangku washiat Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.” (HR. Ibnu Majah dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anh)
Para peserta pun menyambutnya dengan gegap gempita penuh semangat: labbaika wa sa’daika, “Kami sambut dan kami siap melaksanakan!!!”. Sambut mereka riuh dengan iringan gema takbir.
Sebagai arahan untuk para santri, beberapa point penting yang wajib diperhatikan adalah:
1. Selalu Berbuat Baik kepada Orang Tua sebagai Guru Pertama dan Utama
Memuliakan kedua orang tua (birrul waalidain), merupakan modal dasar untuk bisa menghargai dan mematuhi arahan “orang tua” di luar rumahnya. Waalidain [kedua orang tua kandung; waalid dan waalidah] merupakan orang tua biologis, sedangkan abawain [abun dan ummun], bukan sekedar biologis, melainkan orang tua ideologis yang sangat mempengaruhi kompas kehidupannya. Guru, para sepuh, mentor, tokoh idola, bahkan perilaku lingkungan (behaviour) masuk dalam kategori yang kedua ini.
2. Menjaga Kesucian Ruh
Ketika hati saling berpaut karena iman, maka sampai kapan pun tidak akan mudah pudar.
Anak ideologis seperti kaum hawaariyun dan ashhaabun di masa para Nabi terdahulu, ataupun shahabat yang langsung diasuh Nabi akhir zaman, hingga berlanjut kepada generasi berikutnya. Satu sama lain, mereka saling mengikat berada dalam bingkai iman dan perjuangan. Demikian pula ummat Rasul yang hidup di saat ini [generasi shahaabat], ketika mereka ada dalam kebaikan maka ruh-ruh mereka bersatu padu dalam kebenaran. Itulah hakikat sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها إئتلف وما تناكر منها إختلف
“Ruh-ruh itu laksana pasukan tempur yang berbaris rapih; tidaklah ruh-ruh itu saling mengenal melainkan saling mengikat, dan tidaklah ruh-ruh itu saling mengingkari melainkan saling centang perenang.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
3. Memelihara Orientasi Hidup
Agar orientasi hidup da’i tetap terpelihara, tegak lurus di atas keistiqamahan perjuangan. Maka teguh pendirian, merupakan sikap utama yang wajib dipertahankan. Dalam berbagai tulisannya, Allaahu yarham Dr. Mohammad Natsir [tokoh Persatuan Islam, murid Tuan Ahmad Hassan] selalu mengakhiri goresan penanya dengan syair Syauqi Beik:
قف دون رأيك في الحياة مجاهدا، إن الحياة عقيدة وجهاد
“Tetap berdiri kokohlah dalam hidupmu untuk menjadi seorang mujahid, karena sesungguhnya hidup ini hanya bisa diperjuangkan dengan aqidah dan jihad.”
4. Dakwah dan Tarbiyah itu Amal Jihad yang Agung
Di antara ungkapan emas para ulama, petikan kata Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah cukup mewakili dalam menjawab apa peran kita sebagai anak perjuangan yang menjunjung tinggi ilmu? Dengan cakupan makna jihad yang luas, Ibnu Qayyim menyebutnya sebagai “puncak kedudukan tertinggi dalam ibadah dan qubbahnya”. Tidak terkecuali, di dalamnya memerangi kebodohan.
Dengan berpegang pada semangat: “Kalaulah ada jihad yang lebih hebat selain mengangkat senjata di medan laga, mengusir musuh di medan tempur; Itulah menuntut ilmu dan mengajarkannya”. Maka dalam konteks ini, pejihad sejati adalah mereka para pejuang ilmu yang tidak mengharapkan pujian, dan tidak membutuhkan sanjungan. Sekalipun demikian, memuliakan mereka adalah suatu kewajiban. Hadirnya mereka selalu dinantikan, dan ketiadaan mereka senantiasa dirindukan.
5. Wajib Memposisikan Diri
Di mana langit dijunjung, di situlah bumi dipijak. Itu artinya, di mana pun kita berada, di sanalah kita harus mampu menempatkan diri. Sebagai santri dan alumni, sudah tentu di hadapan kita sudah ada berbagai peluang dan sekaligus tantangan. Agar keduanya berubah menjadi harapan, maka menguatkan posisi diri dengan kematangan ilmu dan sikap menjadi keniscayaan. Adapun posisi diri yang dimaksudkan, di antaranya:
a. Senantiasa siap menjadi mu’allim dan muta’allim [orang yang mengajarkan ilmu, dan selalu siap menjadi pembelajar].
b. Senantiasa siap menjadi muaddib dan muhadzdzib [orang yang memberikan keteladanan, dan menunjukkan moral yang luhur].
c. Senantiasa siap menjadi munazhzhim dan mudarrib [orang yang mampu mengorganisir diri, dan mentor yang memotivasi].
d. Senantiasa siap menjadi mufattisy dan mutawassith [orang yang mampu mengawasi, dan menengahi dalam segala persoalan].
e. Senantiasa siap menjadi muayyid dan muakkid [orang yang mampu menjadi penopang, dan menguatkan prinsip].
6. Menyeimbangkan Idealita dengan Realita
Menyeimbangkan antara yang menjadi cita-cita ideal dengan kenyataan yang dihadapi, menjadi sikap yang prinsip yang wajib dimiliki kader pemimpin. Sekalipun kita berpegang bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, namun dalam kenyataannya kadang terjadi sebaliknya. Oleh karenanya, “manajemen kekecewaan” pun harus lebih dipersiapkan seiring dengan kesiapan “manajemen keberhasilan”.
Seorang pujangga besar bernama Abu Thayyib al-Mutanabbi’ mengisyaratkan dalam sya’irnya:
ما كل مايتمنى المرء يدركه … تجري الرياح بما لا تشتهي السفن
“Tidak semua angan-angan seseorang itu lantas ia dapatkan begitu saja … Terkadang angin laut berhembus membawa perahu tidak sesuai dengan harapan sang nelayan”.
7. Memperbanyak Bekal dan Pandai Merawat Bangunan Cita-cita
Sesuatu yang tidak kalah pentingnya, adalah merawat bangunan yang telah dicita-citakan. Apa yang pernah dipetik Al-Maqdisi atau Ad-Dailami dalam Al-Firdaus patut untuk diperhatikan substansinya sekalipun mutiara hikmah ini bukanlah hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Catatan Multaqa Ahlil Hadits dalam al-maktaba.org.).
Adapun materi hikmahnya adalah sebagai berikut: “Wahai Abu Dzar!!! Kokohkan bahteramu, karena lautan sangatlah dalam, perbanyaklah bekalmu karena perjalanan teramat jauh, ringankan punggungmu karena beban akan semakin berat, dan ikhlaskan amalmu karena Allah ‘azza wa jalla mengawasimu”.
Selain itu, nasihat emas Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang lain tidak boleh kita lewatkan:
متى يبلغ البنيان يوما تمامه؟ … وأنت تبني وغيرك يهدم
“Kapan sebuah bangunan bisa selesai mencapai kesempurnaannya? … Anda membangun, sementara selainmu merobohkannya.”
Walladziina jaahaduu fienaa lanahdiyannahum subulanaa
✍️ Disarikan dari goresan Sri Wulandari [santri akhir, dengan tambahan catatan editor] dari acara “Dialog Pendidikan Islam” bersama Dr. H. Adian Husaini, M.Si dan “Taujieh Mudier ‘Aam Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut” dalam penutupan “Tautsiequl Himmah Santri Akhir Mu’allimin Tahun 2021”.