AHLUS SUNNAH WAL JAMAA’AH; NAQLI ATAU INTERPRETASI?
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Bermula dari perhelatan yang digelar Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia [YADIM] pimpinan Dato’ Haji Moh. Nakhoi bin Haji Ahmad [Malaysia] dengan Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia [YADMI] pimpinan Dr. dr. H. Tarmidzi Thaher [Indonesia] dalam “Seminar Tajdid Pemikiran Islam” yang mengangkat tema “Pengekalan Alam Melayu sebagai Rantau Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” yang bertempat di hotel Savoy Homann Bidakara Bandung tanggal 17-19 Oktober 2008. Nampaknya, kedua belah pihak sepakat akan pentingnya memelihara keseragaman dalam kebenaran yang dibina secara harmonis dengan pegangan serta nilai-nilai ahlus sunnah wal jamaa’ah di alam Melayu.
Hajatan ini menghadirkan para pemateri dari kedua belah pihak; Dari Malaysia, selain pimpinannya hadir pula Dato’ Haji Wan Zahidi Wan Teh [Mufti wilayah Persekutuan], Dr. Uthman el-Muhammady [Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia], Dr. Abdul Manam bin Muhammad al-Merbawi [Universitas Darul Iman], Dato’ Dr. Mahmood Zuhdi Abdul Majid [Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia]. Sedangkan dari pihak Indonesia, selain Direktur Center for Moderate Muslim, hadir pula Prof. Dr. Atho Muzhar [Ketua Litbang dan Diklat Departemen Agama], Prof. Dr. Nasaruddin Umar [Dirjen Bimas Islam Departemen Agama], Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan [Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta], Prof. Dr. Salman Harun [Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta], dan Prof. Dr. Moh. Baharum [Guru Besar Universitas Islam Malang].
Pada dasarnya, seminar berjalan dengan baik, di samping dapat menghadirkan orang-orang yang dianggap kompeten di bidangnya oleh penyelenggara, juga diselenggarakan di tempat yang cukup kondusif.
Namun demikian, halaqah ilmiyyah ini bukan berarti kosong dari keganjilan, ibarat pepatah mengatakan “tiada gading yang tak retak”. Kalaulah keganjilan-keganjilan itu dapat diantisipasi, tentu lebih sempurna hasilnya dan bisa memuaskan dahaga jiwa, sehingga “pengekalan alam melayu sebagai rantau ahlus sunnah wal jamaa’ah” benar-benar dapat terwujud seperti yang dicita-citakan semua.
Sepertinya, hati ini belum terasa lega kalau kegundahan tersebut belum diluapkan dan ditorehkan dalam susunan kata-kata sebagai upaya penegasan dan menyambung kembali beberapa pertanyaan yang sempat penulis sampaikan dalam forum tersebut, di mana penulis turut serta sebagai peserta aktif.
A. Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah
Tertuang dalam Ensiklopedi Islam [PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta] bahwa yang dimaksud Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah adalah istilah yang dinisbatkan pada aliran teologi Asy’ariyyah dan Maaturidiyyah. Definisi semacam ini dapat dijumpai pula dalam buku-buku yang menerangkan Ilmu Kalam atau Teologi Islam. (Lihat: Prof. Dr. Harun Nasution, 1986: hlm. 64).
Rupanya kesimpulan seperti ini, banyak dijadikan standar oleh para pengkaji Ilmu Kalam lainnya, termasuk para pembicara. Menurut hemat penulis, kesimpulan ini belum final untuk tidak mengatakan sepihak. Bukankah pandangan tersebut masih dalam kategori pendapat yang masih relatif dan sangat berpeluang untuk berubah dan dibantah.
Sekedar perbandingan, kalau kita mengkaji kembali sejarah munculnya penamaan ahlus sunnah, istilah ini sudah popular semenjak zaman Imam Ahmad bin Hanbal [780-855 M.], yaitu untuk menyebut permasalahan ushuuluddin dan i’tiqaadiyyah serta membedakannya dengan pengikut hawa nafsu [ahlul ahwaa] semisal Mu’tazilah, Raafidhah, Shuufiyyah dan Ahlul Kalaam (Lihat: ‘Abdul Karim al-‘Aql dalam Mafhuum Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, 1992: hlm. 62).
Lalu muncul lagi pada masa Imam Abul Hasan al-Asy’ari di Bashrah [873-935 M.], seiring perlawanannya terhadap faham rasionalisme Mu’tazilah yang dikumandangkan para khalifah ‘Abbasiyah sejak Al-Ma’mun [813-833 M.], Al-Mu’tashim [833-842 M.], dan Al-Watsiq [842-847 M.], kemudian diikuti oleh muridnya Imam Abu Manshur Al-Maturidi di Samarkand [w. 944 M.].
Demikian pula pada masa berikutnya, pembelaan-pembelaan terhadap ahlus sunnah terus disemarakkan. Syaikhul Islaam IbnuTaimiyyah [1263-1328 M.] yang melakukan pembersihan ‘aqidah dan syari’ah dengan bantahan-bantahan yang merujuk kepada faham Imam Ahmad bin Hanbal, sehingga ia memberikan gelar panutannya dengan “Imaamus Sunnah”. Demikian pula dengan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab [1703-1791 M.] yang menghidupkan kembali Madrasah Ibnu Taimiyyah. Semuanya itu [dalam konteks ini], masih melakukan pembelaan terhadap Ahlus Sunnah. Maka, kembali lagi kepada acara seminar yang kita bicarakan, Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah yang mana yang dimaksud?
Kalau jawabannya merujuk kepada kaidah sepihak yang menjadi keputusan bahwa faham Asy’ariyyah dan Maaturidiyyah saja sebagai ahlus sunnah wal jamaa’ah seperti halnya dikemukakan Al-Hafizh Murtadha az-Zabidi (1205 H.) dalam Ithaaf Saadatil Muttaqiin [Syarah Ihya` ‘Uluumiddiin] yang mengatakan:
Idzaa uthliqa ahlus sunnah wal jamaa’ah fal muraadu bihim al ‘asyaairah wal maaturidiyyah; “Jika dikatakan secara muthlaq, ahlus sunnah wal jamaa’ah itu adalah Asy’ariyyah dan Maaturidiyyah”, maka tentu saja pendefinisian ahlus sunnah wal jamaa’ah menjadi tidak utuh dan sangat sepihak. Namun, apabila kalimat mulia itu dijelaskan secara komprehensif, tentu saja “Seminar Tajdid Pemikiran Islam” ini tidak perlu mewaspadai secara berlebihan terhadap faham yang sama-sama mengembalikan Al-Qur’an dan As-Sunnah as-Shahiihah [di luar Asy’ariyyuun dan Maaturidiyyuun] sebagai gerakan yang “dikesankan” mengerikan dan membahayakan, seperti halnya sebutan miring Wahhabi yang semakin liar. Munculnya kitab Fitnatul Wahhabiyyah oleh Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan [Turkey, 1978] pada masa Turki Utsmani, kerapkali menjadi sandaran. Bukankah istilah Wahhabi itu sendiri dimunculkan oleh orang-orang yang tidak senang terhadap ajaran Islam yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab? sebagaimana pernah diungkapkan Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul Muhsin at-Turky. Dalam bahasa Syaikh ‘Abdul Karim al-‘Aql, “hanya Islam, bukan Wahhabi”. (Lihat: Islaamiyyah Laa Wahhaabiyyah, Riyadh, 2004)
B. Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah; Naqli atau Interpretasi?
Membaca kembali hadits-hadits yang bertalian dengan perpecahan ummat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi 73 golongan, yang selamat hanya satu golongan, nampaknya perlu dicermati secara seksama, apakah tertulis secara mayoritas dalam matan haditsnya ahlus sunnah wal jamaa’ah atau al-Jamaa’ah saja? Koreksi semacam ini perlu dilakukan, agar tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa kelompok tertentu saja yang berhak disebut ahlus sunnah, ahlul jamaa’ah atau ahlus sunnah wal jamaa’ah. Kalaulah kita merujuk dalil-dalil naqli yang shahih sebagaimana dituliskan para ulama hadits dalam kitab-kitabnya, hampir semuanya menyebutkan dengan menggunakan istilah al-jamaa’ah, maa anaa ‘alaihi wa ashhaabiy, as-sawaadul a’zham, alladziina yuslihuuna ‘inda fasaadin naas dan yuhyuuna maa amaatan naas. (Lihat: Ahmad Salam, Maa Anaa ‘Alaihi wa Ashhaabihi, Beirut, 1995. Dan Diraasah Haulal Jamaa’ah wal Jamaa’aah, Cairo, 1994)
Dengan demikian, sebagai jalan tengah (meminjam istilah dalam prinsip ahlus sunnah wal jamaa’ah); nampaknya akan lebih selamat apabila memaknai ahlus sunnah wal jamaa’ah pendekatannya lebih kepada makna sifat, bukan nama kelompok semata. Kalau pun harus nama kelompok, maka substansinya adalah makna sifat yang terkandung dalam hadits-hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ahlus sunnah wal jamaa’ah adalah mereka yang mengikuti jejak Rasulullaah dan para shahabatnya yang diikuti generasi emas berikutnya, baik kalangan as-salafus shaalih maupun al-khalafus shaalih sebagai cerminan mayoritas ummat terbaik yang mengibarkan bendera kebenaran [zhaahiriina ‘alal haq] di tengah-tengah rusaknya manusia. Mereka adalah orang-orang yang menghidupkan sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia yang mematikannya. Kalau begitu, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah yang sudah berkembang ini, lebih bersifat naqli atau interpretasi? Selamat merenungkan!!!
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota KP3 & LDK MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta, dan Ketua Bidang Pemikiran & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah