Rabu, Februari 12MAU INSTITUTE
Shadow

LIMA GOLONGAN PERAIH WISMA SURGA TERINDAH

LIMA GOLONGAN PERAIH WISMA SURGA TERINDAH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Ada banyak motivasi, berupa kabar gembira [targhieb] dan motivasi kabar ancaman [tarhieb], bagi mereka yang tengah menentukan nasib hidupnya kelak. Apakah di negeri akhir menjadi pemenang atau pecundang? Sekalipun surga itu belum dapat dilihat hari ini dengan mata kepala sendiri [maa laa ‘ainun ra’at], belum bisa didengar oleh telinga hari ini [wa laa udzunun sami’at], bahkan tidak bisa dirasakan oleh lintasan perasaan manusia saat ini sekalipun [wa laa khatara ‘alaa qalbin basyarin]. Semua itu menunjukkan betapa perkara ini merupakan sirrun min asraarillaah, yakni suatu rahasia di antara sekian rahasia-rahasia Allah ‘azza wa jalla.

Alangkah merugi, mereka yang beranggapan bahwa alam akhir itu sebagai khayalan atau ramalan masa depan. Mengapa masih banyak kalangan yang meragukan “alam nyata” di negeri akhir itu? Masalahnya, meminjam perkataan seorang ahli hadits Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [Fathul Baari/13: 614]: “Buah ketaatan belum dapat dinikmati langsung kelezatannya di dunia, berbeda dengan kedurhakaan yang kelezatannya dapat dinikmati langsung pelakunya sekarang juga”.

Sebagaimana dijelaskan Imam Ahmad, Imam At-Thabarani, dan Imam Al-Hakim, bahwa shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anh menuturkan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkait tiga golongan dimaksud. Hal ini ditegaskan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagai hadits shahih dalam Shahiihut Targhieb [no.946]. Dalam riwayat Imam Tirmidzi dari shahabat Nu’man bin Sa’ad dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhumaa berbeda redaksinya dengan menyebut empat golongan, dengan derajat hadits hasan. Sementara pada Musnad Ahmad [2/173] yang dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir, ada tambahan menebarkan salam [ifsyaaus salaam].

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: “Sesungguhnya di surga itu terdapat kamar-kamar yang teramat indah [ghuraf]; tampak mempesona bagian dalamnya dari luar, dan tampak menawan bagian luarnya dari dalam”. Seorang Arab baduwi [ada yang menyebutkan namanya Abu Malik al-Asy’ari] berdiri seraya bertanya: “Untuk siapakah semua itu?”. Rasul pun menjawab: “orang yang memelihara tutur kata, memberikan makan saudaranya, menjaga kesinambungan shaumnya, dan terjaga dari tidurnya untuk shalat malam di kala orang lain tidur pulas”.

Untuk mengambil faidah saat ini, kita dapat merenungkan kembali butiran kata mulia tersebut sebagai berikut:

Golongan pertama; Orang yang memelihara tutur kata [liman athaabal kalaam]. Dalam konteks zaman teknologi-informasi, di mana penggunaan aplikasi digital membutuhkan kebijakan dan kedewasaan dalam penggunaannya. Di samping dewasa dalam berlogika dan retorika, juga bijak dalam memilih diksi dan narasi.

Golongan kedua; Orang yang memberikan makan saudaranya [ath’amat tha’aam]. Melepaskan rasa lapar dan menghilangkan rasa haus saudaranya, menjadi bagian paling dominan dalam pertolongan pertama mengantisipasi kerawanan pangan. Terlebih sangat ironis; di satu pihak banyak yang masih terpapar kelaparan, di pihak lainnya justeru berlebih, bahkan menjadi sampah yang membusuk.

Golongan ketiga; Orang yang merutinkan shaum [adaamas shiyaam]. Para ulama menyatakan, maksudnya shaum sunnah seperti halnya ayyaamul baidh. Namun tentu saja, dalam perkara bulan mulia menyempurnakan shaum wajibnya.

Golongan keempat; Orang yang terjaga shalat malam ketika orang terlelap nyenyak [baata qaaiman wan naasu niyaam, shallaa lillaahi bil laili wan naasu niyaam]. Sama halnya dengan sebelumnya, shalat di kala malam merupakan waktu tepat dalam bermunajat. Demikian pula dengan qiyaamu ramadhan, yang tidak boleh kita abaikan.

Golongan kelima; Termasuk pula di dalamnya yang gemar menebar salam [ifsyaaus salaam], di mana di zaman komunikasi saat ini mulai banyak diabaikan tergerus dengan kalimat-kalimat lain yang jauh lebih popular dan dianggap lebih “nendang” dengan zaman.

Sungguh anugerah yang teramat berharga apabila fasilitas super indah tersebut diberikan kepada kita. Terlebih bagi siapa saja yang tengah “menggaskan” kekuatan penuhnya untuk menggapai finish bulan mulia sebagai puncak kebahagiaannya. Dalam bahasa Ibnul Jauzi rahimahullaah, “Jangan sampai kuda pacu lebih cerdas dari kita, ketika ia memacu tenaganya untuk mencapai batas akhir”. Kalaulah kita tidak mampu berbuat lebih baik lagi di masa-masa akhir, semoga kita tidak mencederai saat-saat terindah di waktu perpisahan ini. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin


✍️ Goresan jentik jemari ini, disampaikan pertama kali pada malam ke-21 Ramadhan 1443 H. di Masjid Wadhhah ‘Abdurrahman Al-Bahr Pusdiklat Dewan Da’wah Setiamekar Tambun Selatan Bekasi 17510 Jawa Barat


Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!