Minggu, November 10MAU INSTITUTE
Shadow

KEHARAMAN KAWIN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

KEHARAMAN KAWIN BEDA AGAMA DALAM ISLAM
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

A. Pendahuluan

Menyoal kawin beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti, walau pun pada dasarnya ajaran Islam telah memberikan aturan yang jelas. Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya perkawinan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits dan atsar yang jelas pula. Ditambah lagi dengan adanya ijma’ para ulama di setiap zamannya.

B. LANDASAN HUKUM KEHARAMAN KAWIN BEDA AGAMA

Dalil keharaman kawin beda agama, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat sebagai berikut:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰاتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰاتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

“Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan idzinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 221)

Para ulama ahli Tafsir memberikan penjelasan ayat tersebut, sebagai berikut:

  1. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dikawinkan dengan lelaki musyrik mana saja (baik ahli kitab maupun bukan).” (Lihat: Jaami’ul Bayaan, 2/ 379).
  2. Imam Al-Qurthubi rahimahullaah berkata: “Jangan kalian kawinkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Umat telah bersepakat bahwa orang musyrik tidak boleh mengawini wanita mukminah, karena hal itu merendahkan Islam.” (Lihat: Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an, 1/ 48-49).
  3. Imam Al-Baghawi rahimahullaah berkata: “Tidak bolehnya wanita muslimah kawin dengan lelaki musyrik sudah merupakan ijma’, yakni kesepakatan ulama.” (Lihat: Ma’aalimut Tanziil, 1/ 225).

Dalil berikutnya adalah:

ياأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰاتُ مُهٰاجِرٰاتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰاتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tidaklah dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menegaskan: “Ayat inilah yang mengharamkan perkawinan perempuan muslimah dengan lelaki musyrik (non Muslim).” (Lihat: Tafsir Al-Qur’aanul ‘Azhiim, 4/ 414).

Sementara Imam Asy-Syaukani, juga sama-sama menegaskan: “Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dikawini) orang kafir.” (Lihat: Fathul Qadiir, 5/ 255)

Selain itu, ada dalil larangan kawin beda agama dari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits Jabir radhiyallaahu ‘anh:

نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا

“Kita boleh kawin dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan wanita kita.” Menurut Imam Ibnu Jarir (Lihat: Tafsir Ath-Thabari, 4/ 367), bahwa sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan, namun kebenaran isinya merupakan ijma’ ummat. Dan Imam Ibnu Katsir menukilkan pula dalam Tafsirnya (Lihat: Tafsir Al-Qur’aanul ‘Azhiim, 1/ 587).

Sebenarnya, terkait dengan ijma’ ulama ini, masih banyak lagi ditegaskan para ulama berikut: Ibnu Al-Jazzi, Ibnu Mundzir, Ibnu ‘Abdil Bar dan ulama senada lainnya yang menegaskan: “Laki-laki non-Muslim haram mengawini wanita Muslimah secara muthlaq. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam.” sebagaimana diurai Al-Ustadz Abu Ubaidah al-Atsari hafizhahullaah

C. PRO KONTRA AHLI ILMU

Pada kenyataannya diakui, bahwa masalah perُkawinan beda agama masih menyisakan debatable, di mana adanya pandangan seperti Syaikh Muhammad ‘Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang sering dinukil oleh mereka yang membolehkannya (Lihat: Tafsir Al-Manaar, 1947, hlm. 281) tidak sebanding dengan mayoritas ulama yang mengharamkannya di segala zaman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah misalnya, sebagaimana ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Maidah/ 5 ayat 5 yang menyatakan bahwa wanita ahlul kitaab yang dibolehkan mengawininya berbeda dengan wanita musyrik yang dilarang untuk dikawini. Terkait dengan hukum mengawini wanita musyrik telah digambarkan dalam surat Al-Baqarah/ 2 ayat 221. Namun, ketentuan ayat tersebut menurut Ibnu Taimiyyah telah dikhususkan oleh surat Al-Maidah yang turunnya lebih akhir. Untuk itu, mengawini wanita ahlul kitaab dibolehkan. Persoalannya adalah, ahlul kitaab manakah yang dimaksud? Meskipun kebolehan mengawini wanita ahlul kitaab telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, karenanya Ibnu Taimiyyah membatasi kebolehan mengawini wanita ahlul kitaab tersebut, yakni ahlul kitaab yang tidak menyekutukan Allah ‘azza wa jalla. (Uraian lengkap Lihat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ Fataawa [Penyusun: ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim], tentang Nikah, [Terj.: Abu Fahmi Huaidi & Syamsuri], An-Naba, Jakarta: Pustaka ‘Azzam, 2002, hlm. 160)

Dengan bersandar kepada tafsir-tafsir Mu’tabar, di mana yang dimaksud ahlul kitaab adalah pengikut Taurat-nya Nabiyullah Musa dan Injil-nya Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihimus salaam (muttabi’uuna Muusa wa ‘Isa). Karenanya ulama senior abad ini Prof. Dr. Shaalih Fauzan rahimahullaah menegaskan: “Laki-laki kafir tidak halal
mengawini wanita Muslimah, berdasarkan firmanNya: “Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik [dengan
wanita-wanita mukmin] sebelum mereka beriman.” sebagaimana ditunjukkan QS. Al-Baqarah/ 2: 221.

D. Pandangan Ahli

Sebagai anak bangsa yang beragama, maka sebagai ahli memandang perlu memperhatikan hal-hal penting berikut:

  1. Pentingnya menempatkan falsafah negara, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  2. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan BAB I Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Juga BAB I Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Demikian pula BAB I Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (Sumber: mkri.id)

Semua itu, menurut ahli sudah relevan dengan kepribadian bangsa yang beragama dan menjunjung konstitusi negara. Selain sesuai dengan pentingnya merawat Sumber Daya Manusia yang menjunjung tinggi akal sehat dan selamat, juga memenuhi hakikat jalan hidup dan jalan mati manusia (the way of life and the way of death) untuk menuju dua alam kebahagian hakiki (daarul hijratain wa baabus sa’aadatain).

  1. Pentingnya meletakkan qaidah-qaidah para ahli hukum Islam yang Mu’tabar, di antaranya: الأصل فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ

Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.” (Lihat: Imam As-Suyuthi, Al-Asybaah wan Nazhaair, hlm. 84).

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mencegah kerusakannya harus didahulukan daripada mendatangkan kebaikannya”.

Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkannya. Demikian pula, kalaulah bisa jadi ada pasangan beda agama yang dinilai sepihak berhasil mendatangkan mashlahat, sudah tentu mafsadat-nya akan jauh lebih banyak dirasakan orang banyak dan bisa melahirkan keresahan dan kegaduhan, dimana menjaga nilai-nilai agama (hifzhud diin) dan merawat nilai-nilai kelestarian keturunan (hifzhun nasl, hifzhun nasab) sebagai pilar maqaashidus syarii’ah akan terabaikan. “Bersatunya cinta dan cita bahagia yang hakiki, hanya bisa sinergi dalam ikatan iman dan senyawanya keyakinan”.

  1. Sebagai masyarakat Muslim dan bagian dari penduduk bangsa, menjadikan fatwa-fatwa ulama yang pernah ada merupakan keniscayaan yang wajib dipatuhi. Mendapatkan haknya sebagai manusia, wajib seimbang dengan menunaikan kewajibannya sebagai manusia. Dengan keseimbangan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang wajib ditunaikan, menunjukkan kepatuhan hamba kepada Rabb-nya, dan terhindar dari predikat manusia yang melakukan perlawanan dan pembangkangan terhadap Tuhan-nya. Dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia, tentu saja merujuk kembali kepada fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan sikap yang tepat dalam berkonstitusi.

Adapun fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimaksud adalah:

  1. MUI Jakarta (11 Agustus 1975): “Larangan bagi seorang laki-laki Muslim untuk menikahi seorang wanita bukan Muslim, sekalipun dari ahli kitab.”
  2. MUI Pusat (1 Juni 1980, periode Buya Hamka): “Melarang wanita muslimah untuk menikah dengan pria non-Muslim, dan pria Muslim tidak diidzinkan menikah dengan wanita bukan Islam.”
  3. MUI Jakarta (30 September 1986, KH. Ahmad Mursjidi): “Surat terbuka mendesak kaum Muslimin agar tidak melakukan perkawinan beda agama/ antar agama (bersama lampiran MUI Jakarta 1975 dan Fatwa MUI Tahun 1980).
  4. Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H./ 26-29 Juli 2005 M. setelah menimbang:

a. Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama.
b. Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, melainkan sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.
c. Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan.

Dan memperhatikan: Keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/ 1980 tentang perkawinan campuran.

Maka pendapat Sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005:
“Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.”

E. Kesimpulan

Setelah menorehkan uraian dari pembahasan sebelumnya, maka sebagai ahli menyimpulkan:

  1. Sebagai warga negara yang mematuhi ajaran agama; mematuhi dalil-dalil agama (wahyu) merupakan kepatuhan kepada sumber hukum (syarii’ah), menjalankannya sebagai keta’atan kepada pandangan hukum (fiqih), dan mendukungnya terhadap aturan dan pedoman yang berlaku merupakan kesetiaan terhadap undang-undang (qaanuun).
  2. Terwujudnya rumah tangga/ keluarga yang sakiinah, mawaddah, dan rahmah merupakan cita-cita yang wajib diperjuangkan dengan kesamaan dan kesenyawaan iman.
  3. Dengan mengedepankan pertimbangan kebenaran wahyu, akal yang sehat dan selamat, serta fithrah, juga berpegang kapada saddud dzarii’ah, yakni mencegah kemadharatan, sudah sepantasnya Yang mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pihak mana pun yang ingin mencabut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut. Walladziina jaahaduu fienaa lanahdiyannahum subulanaa

*) Makalah ini ditulis dalam rangka menunaikan tugas/ memberikan keterangan sebagai Ahli Pihak Terkait (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) dalam Sidang Mahkamah Konstitusi hari Rabu, tanggal 19 Oktober 2022

Print Friendly, PDF & Email

6 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!