Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Dalam setiap kehidupan manusia tidak lepas dari “jalan cerita” masing-masing yang mungkin pernah dialaminya; Ada yang merasa kebahagian yang diraihnya seolah-olah tidak ada hubungan dengan orang lain, ada yang semula tidak turut serta berperas keringat tiba-tiba muncul jadi penguasa, ada yang sama sekali tidak ikut berjuang dalam waktu sekejap tampil menjadi pahlawan. Bahkan, ada pula yang dirinya merasa terusik ketika orang lain sukses atau bisa mengunggulinya sehingga harus berusaha keras untuk menyikut dan meminggirkannya. Adanya matahari kembar, merupakan sesuatu yang sangat tidak diinginkannya. Bukankah setiap taqdir itu ada masanya? Pepatah Arab mengingatkan:
يسخر الله لك كل شيىء بوقته
“Segala sesuatu akan ditetapkan Allah ‘azza wa jalla pada waktunya.”
Sifat seperti itu, tentu bukanlah perilaku yang baik dan termasuk kategori perangai tercela [madzmuumah] yang bisa melahirkan keburukan yang berlipat-lipat tanpa bisa diputus mata rantainya. Itulah bagian terkecil yang sering terjadi, di mana para ahli ilmu memasukkannya sebagai nafsu hewani [nafsul bahaaim] yang melekat pada jiwa manusia.
Bersikap lapang dada [insyiraahus shadr], selalu merawat keikhlasan, dan belajar lebih fokus untuk mengharapkan kemuliaan kepada Dzat yang Maha segalanya [ihtisaaban, ibtighaa-an wajhallaah], merupakan terapi paling ampuh dalam menjaga kebeningan jiwa. Memelihara keikhlasan diri itu memang tidak mudah, namun akan lebih salah lagi apabila kita membuat orang yang tadinya ikhlas menjadi tidak ikhlas.
Kunci dari segala kunci agar terhindar dari sikap dan sifat buruk tadi adalah tertujunya rasa harap [raja’] semata-mata hanya untuk Allah ‘azza wa jalla benar-benar harus menjadi target buruannya. Mengkhidmat jiwa raga sesama manusia terkadang sering menuai kecewa, namun mengkhidmatkan seluruh hidup ini kepada Dzat Maha pencipta, dijamin bahagia karena Allah ‘azza wa jalla tidak akan pernah mengecewakan hamba-hambaNya.
Untuk lebih mewujudkan sifat dan sikap karena Allah [lillaah], di jalan Allah [fillaah wa ‘alallaah], dan menuju Allah [ilallaah] dalam beramal dan berjuang, maka mengharap kerelaanNya wajib lebih diutamakan daripada mengharap kerelaan manusia yang lebih sering menunjukkan sifat diri “kacang lupa akan kulitnya”. Pandai-pandailah menghargai kebaikan orang lain, karena tidak ada “amalan receh” di dunia ini apabila sudah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Dalam hal ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan emas Imam As-Syafi’i rahimahullaah yang menuturkan nashihat berikut ini:
إنك لاتقدر أن ترضي الناس كلهم … فأصلح ما بينك وبين الله ثم لاتبال بالناس
“Engkau tidak akan pernah mampu menyenangkan semua orang … Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.”
Allaahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika
✍️ Tulisan ini digoreskan di atas colt elf “si buhun” dalam perjalanan Banjaran-Pangalengan (Ahad, 19/02/23 waktu Dhuha) seiring tugas Tabligh Akbar di komplek PPI 259 Al-Firdaus Pangalengan Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Masyaa Allah sangat bagus tulisannya ustadz, semoga selalu berkarya dengan tulisan tulisan yang menggugah kita untuk beramal .
Article ini mencerahkan sekali. Menambah pendalaman lmu agama dan juga petunjuk bgmn seorang Muslim bersikap dlm menghadapi berbagai kondisi yg sering terjadi dlm kehidupan sehari hari.
Jazzakallah. 🙏🙏
Alhamdulillah Ustad…sedikit tapi menentuh di qolbu. Malem Ahad Ustad isi kajian di masjid Al Istiqomah, sebelum Ahad paginya menuju pangalengan. Barakallah Ustad🙏🙏🙏