Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Karena sifatnya yang teramat istimewa, maka Allah ‘azza wa jalla merahasiakannya. Karena begitu sangat rahasianya, maka Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memburunya. Karena perburuannya begitu sangat berharga, maka Allah dan rasulNya menentukan waktu khususnya.
Itulah i’tikaf al-‘asyrul awaakhir, yang malam kemuliaan [lailatu qadar] atau malam yang lebih baik dari seribu bulan [khairun min alfi syahrin] ada di dalamnya. Turunnya para malaikat yang bertabur keberkahan, sudah pasti menjadi hiasan sepanjang malamnya. Maka sangatlah tepat, apabila anjuran untuk bisa menghidupkan malam-malam kemuliannya [ihyaa lailatil qadar] menjadi perkara amalan yang tidak boleh disia-siakan.
Apabila seseorang menunaikannya karena nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Apabila menunaikannya pada sepuluh hari dan sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, maka hukumnya sunnah. Dan apabila menunaikannya hanya waktu-waktu tertentu saja, itupun dibolehkan agama dan hukumnya mubah.
Saking perhatian kepada ummatnya, sang Rasul panutan pun memberikan beragam opsi sesuai kemampuan; mulai dari menunaikan sepuluh malam penuh, menunaikan hanya pada malam-malam ganjil, menunaikan pada tiga malam ganjil, bahkan menunaikan pada satu malam ganjil saja. Semua itu mengisyaratkan, agar ummatnya tidak mengabaikan dan menganggap remeh akan keistimewaannya.
Meminjam bahasa Imam Ibnul Jauzi rahimahullaah, karantina jiwa yang tinggal beberapa malam lagi, hendaknya dimaksimalkan seperti halnya kuda pacu yang tengah mengerahkan sepenuh tenaganya untuk mencapai garis finis dalam rangka memenangkan perlombaan. Demikian pula dengan Ramadhan yang sebentar lagi berakhir, maka memaksimalkan momentum kemuliaan yang ada merupakan keniscayaan. Tidak terkecuali saat malam ganjil yang ke-27 ini, di mana digambarkan shahabat Ubay bin Ka’ab radhiyallaahu ‘anh dalam riwayat Imam Muslim tentang keutamaannya.
Hari dan malam yang tersisa ini, diharapkan bisa menjadi peluang yang menentukan bagi kebaikan orang beriman jelang datangnya hari perpisahan tiba, terlebih bagi mereka yang tengah dilanda kegundahan. Indahnya munaajat dan kekhusuan beribadah sebagai taqarruban ilallaah, menjadi tanda ketulusan yang utama dari niat seseorang dan cinta sejati yang abadi sepanjang masa. Sekali lagi, ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki cinta sejati. Pepatah menuturkan:
المحبة لاتعرف عمقها إلا ساعة الفراق
“Cinta sejati itu tidak diketahui kedalamannya, kecuali dirasakan pada saat perpisahan tiba.”
Benar apa yang disampaikan seorang taabi’in asal Kufah bernama Masruq bin al-Ajda’ rahimahullaah [murid shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh] yang mengucapkan kata-kata emasnya:
من راقب الله في خطرات قلبه، عصمه الله في حركات جوارحه
“Siapa yang merapatkan diri kepada Allah di tengah kekhawatiran [cemas galau], maka Allah akan memelihara semua gerak jiwa raganya.” (Lihat: Shafwatus Shafwah 4: hlm. 129).
Ketika kelezatan iman masih bersemayam, rasa senang dan bahagia ketika berbuat baik masih dipertahankan, dan rasa menyesal karena tidak mampu melakukannya masih disikapi sebagai ancaman … Sudah tentu, harapannya adalah semoga semua itu menjadi modal tambahan dalam rangka memantaskan diri menggapai ridhaNya. Aamiin yaa Mujiibas saailiin
✍️ Tulisan ini digoreskan pada pukul 01.30 WIB dini hari (Selasa, 18/04/2023), saat berbarengan turunnya hujan besar menyelimuti dan menemani para jamaah yang tengah berburu “malam kemuliaan” di Masjid Wadhhah Abdurrahman al-Bahr Pusdiklat Dewan Da’wah Tambun Selatan Bekasi Jawa Barat.
Terus berkarya dengan tulisan tulisan yang menggugah kalbu ustadz.